Absennya Fikih Lingkungan

Tulisan Inna Savova, seorang blogger asal Bulgaria, yang berjudul “Bandung, the City of Pigs”, belakangan ini telah menjadi perbincangan hangat terutama di beberapa media social dan juga Harian Umum Pikiran Rakyat yang pada minggu kemarin tidak ketinggalan mengulasnya. Sebagian komentar, ada yang memberikan apresiasi positif, tapi tidak sedikit pula orang yang mengkritik tulisan tersebut. 

Reaksi negatif lebih banyak ditujukan kepada diksi yang digunakan penulis, terutama judul artikel yang jika diterjemahkan menjadi “Bandung, Kota Para Babi” atau “Bandung, Kota yang Sangat Kotor.” Kalimat pembukanya pun cukup menohok: “”Bandung, kota tempat orang berpikir bahwa daging babi itu dianggap terlalu kotor untuk dimakan, tetapi orang-orangnya hidup dalam lingkungan yang lebih kotor dari babi itu sendiri.” Banyak orang yang menganggap judul dan kalimat tersebut terlalu kasar dan menghina karena menggunakan nama binatang yang diasosiasikan dengan sesuatu yang kotor dan diharamkan untuk dikonsumsi umat Islam.

Namun ada juga orang yang mengapresiasi tulisan dan mengajak warga Bandung untuk melakukan introspeksi Ajakan intropseksi didasarkan kenyataan bahwa sebagian masyarakat Bandung, memang belum memiliki tradisi yang kuat dalam memelihara lingkungan, terutama dalam membuang sampah dan menjaga kebersihan. Pikiran Rakyat edisi 6 Februari 2014 misalnya memberitakan bahwa sekitar 200 ton sampah tiap hari berserakan di kota Bandung. Lemahnya tradisi tersebut, tentu saja sangat umum di berbagai lapisan masyarakat, bukan hanya di Kota Bandung saja.

Doktrin Agama
Terlepas dari penggunaan diksi yang digunakan Savova, sebagai bahan introspeksi, terdapat beberapa pertanyaan yang penting untuk diajukan di sini. Mengapa sulit sekali menanamkan budaya bersih dan menjaga lingkungan di kalangan masyarakat yang dikenal religious? Bukankah menjaga kebersihan diri dan lingkungan  merupakan bagian dari doktrin ajaran Islam?

Di dalam Alqur’an misalnya, ditegaskan bahwa “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Al-Rum [30] ayat 41). Di tempat lain disebutkan “Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang suka mensucikan diri” (Al-Baqarah [2] ayat 222).

Dua doktrin ini, di samping banyak doktrin yang lainnya, jika ditaati, mestinya membentuk tradisi positif bagi umat Islam untuk selalu menjaga lingkungan, menjaga kebersihan dan tidak membuang sampah sembarangan. Akan tetapi, mempraktekkan doktrin tersebut, ternyata tidak semudah mengucapkan atau menghapalkannya. Mengapa?

Sebagian sarjana berpendapat bahwa Islam adalah agama hukum. Oleh karenanya, hukum Islam, sering juga disebut syari’ah atau fikih, secara ilmu dan amal, mampu bertahan dan berkembang dengan pesat. Jika ayat suci Alqur’an menyebutkan suatu hukum secara global, maka hampir selalu ada hadits yang menjelaskan rinciannya. Juga jika hadits masih bersifat umum, maka banyak ulama Fikih yang menjelaskannya.

Walhasil, setelah 15 abad kehadiran Islam, tradisi hukum Islam selalu terawat dan dipraktekkan dengan semangat oleh sebagian besar umat Islam, tak terkecuali di Indonesia. Belajar dan melaksanakan hukum Islam, bagi umat Islam, menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar lagi.

Satu hal yang mungkin menjadi penyebab lemahnya kesadaran umat Islam dalam menjaga kebersihan lingkungan adalah karena para ulama Fikih terdahulu, seperti al-Ghazali atau al-Syathibi, tidak memasukkan “perlunya memelihara lingkungan” sebagai tujuan dari hukum Islam (maqashid al-Syari’ah). Menurut mereka, tujuan hukum Islam hanya ada lima, yaitu: menjaga agama ((hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-‘aql), menjaga harta (hifdz al-mal), dan menjaga keturunan (hifdz al-nasl).

Menjaga lingkungan, bisa jadi tidak dimasukkan, karena pada waktu itu kerusakan lingkungan belum menjadi isu yang hangat dibicarakan. Sayangnya, banyak orang yang memahami secara simpel bahwa tujuan hukum Islam itu lebih mementingkan kesalehan pribadi, dibandingkan kesalehan sosial. Akibatnya, permasalahan alam dan lingkungan sekitar seperti diabaikan di dalam hukum Islam.

Mencermati fakta seperti itu, para ulama Fikih kontemporer menawarkan gagasan segar tentang perlunya menjaga dan memelihara lingkungan. Almarhum Ali Yafie misalnya, pernah mengusulkan supaya hifdz al-Bi’ah (menjaga lingkungan) ditambahkan menjadi tujuan hukum Islam yang keenam. Sementara itu, Yusuf Qardhawi (2001) menyebutkan bahwa memelihara lingkungan (ri’ayah al-bi’ah) itu sebenarnya merupakan syari’at yang jika diperaktekkan oleh seorang muslim maka berarti dia telah mewujudkan semua tujuan hukum Islam yang disebutkan di atas. Bagi ulama Mesir ini, memelihara lingkungan berarti sekaligus memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara harta, dan memelihara keturunan.

Jika, usulan-usulan tersebut diterima, dan para ustadz selalu mengkhotbahkan tema Fikih lingkungan di berbagai tempat, tentu membangun kesadaran masyarakat akan lebih mudah. Setiap orang, nantinya, akan merasa bersalah jika membuang sampah sembarangan, seperti perasaannya tidak puasa di bulan Ramadhan. Di rumah, orang tua akan sangat merasa risau jika anaknya tidak mau menjaga kebersihan lingkungan, bukan hanya karena belum terampil melaksanakan shalat.

Lebih jauhnya lagi, ketaatan seorang muslim, tidak lagi dilihat dari aspek ibadah ritual semata, melainkan juga dari komitmennya untuk menjaga lingkungan. Hingga, jika kelak Inna Savova menulis lagi tentang kota Bandung atau kota lainnya di Indonesia, dia akan memilih “the City of Cleanness” sebagai judul, bukan “The City of Pigs,” karena taman, jalan, trotoar, lembaga pendidikan, rumah sakit, serta ruang publik lainnya sudah sangat bersih dan nyaman.[]

Ayi Yunus Rusyana, Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 14 Februari 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter