Selasa (1/10/2019), Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia memandu pelantikan 575 calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) terpilih untuk periode 2019-2024. Dari jumlah tersebut, sebanyak 286 orang atau 49,74 persen merupakan “wajah baru”. Sebanyak 298 orang atau 50,26 persen merupakan “wajah lama” (kompas.com, 4/9/2019). Setelah dilantik, mereka, entah itu wajah lama atau pun wajah baru, memiliki legalitas sebagai anggota DPR, yang berarti pula mereka sah menjadi wakil rakyat.
Sebagai wakil rakyat, seluruh anggota DPR adalah petugas “hak guna” kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, mereka sejatinya terus mengemban tugas kerakyatan dengan senantiasa merakyat. Dan, setiap mereka hendak mengambil keputusan yang fundamental mestilah berkonsultasi dengan rakyat sebagai pemegang “hak milik” kedaulatan.
Berdasar UUD 1945 Pasal 20A, anggota DPR diwajibkan melaksanakan tiga fungsinya, yaitu Legislasi, Anggaran dan Pengawasan. Dalam dan melalui tiga fungsi tersebut melekat pada anggota DPR kepentingan-kepentingan rakyat. Artinya, dengan ketiga fungsi tersebut mereka harus mampu dan mau menggali serta mengidentifikasi kebutuhan dasar rakyat. Kebutuhan yang menjadi hak-hak rakyat sebagai bangsa sekaligus sebagai warga negara.
Setelah berhasil tergali dan teridentifikasi, tentu hak-hak dasar rakyat tersebut harus diberikan jaminan dengan menghadirkan peraturan perundang-undangan. Peraturan yang mampu memayungi terhadap segala upaya pemenuhan, pengelolaan dan perlindungan kentingan rakyat yang berbeda-beda.
Kemudian, harus berlanjut dengan memberi pengawasan terhadap pelaksanaannya yang diselenggarakan oleh lembaga kekuasaan eksekutif. Fungsi yang memiliki tujuan agar tidak ada penyimpangan dalam realisasinya, dan memastikan bahwa segala kepentingan rakyat terperhatikan selamanya.
Soal kepercayaan
Itu semua adalah secercah mimpi sekaligus ekspektasi kita kepada wakil rakyat yang baru. Mimpi serta ekspektasi yang masih wajar meskipun di tengah sedang turunnya kepercayaan publik terhadap lembaga DPR. Penurunan kepercayaan publik yang menyesakkan banyak pihak karena berlangsung justru di penghujung masa khidmatnya. Penurunan kepercayaan yang salah satunya dipicu oleh kesan ketertutupan serta ketergesaan anggota DPR dalam mengesahkan revisi Undang-Undang KPK dan membahas sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang penuh kontroversi, yakni, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Sejumlah RUU tersebut diduga lahir dari hasil ‘perselingkuhan’ yang melibatkan libido-libido kekuasaan dan ideologi tertentu. Walhasil, RUU menjadi ‘jabang bayi legislasi’ yang sarat dengan transaksi titipan-titipan pasal antara berbagai kekuatan, termasuk kekuatan rent-seekers.
Celakanya lagi, titipan-titipan transaksional tersebut sangat potensial mendatangkan kemadaratan publik ketimbang menghadirkan kemaslahatan umum. Ini tentu menjadi tojaiah (bertolak belakang) dengan fitrah anggota DPR sebagai wakil rakyat yang identik dengan usaha-usaha menjembatani kepentingan rakyat, seperti kepentingan dalam meraih kebebasan berpendapat serta kebebasan dari kemelaratan.
Sebagaimana publik ketahui, UU KPK baru dan sejumlah RUU tersebut di atas terus mendapat penolakan dari kalangan mahasiswa melalui unjuk rasa besar-besaran dan masif di hampir seluruh Indonesia. Mereka bahkan menyampaikan “Mosi Tidak Percaya” kepada DPR, sekaligus mencap DPR sebagai “Dewan Pengkhianat Rakyat”. Tentu itu semua harus dipandang sebagai kritik membangun, bukan sebagai penghinaan yang menjatuhkan. Kritik terbuka yang dapat dijadikan cermin besar untuk melihat kembali kinerja DPR selama ini.
Dan, apa pun kontennya, kritik tersebut menjadi “pekerjaan rumah” yang serius bagi seluruh anggota DPR. Tentu dibutuhkan penyelesaian agar dapat segera memulihkan kembali kepercayaan publik bahwa DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat, bukan Dewan Pengkhianat Rakyat.
Janji Politik
Banyak jalan menuju Roma. Begitu pun banyak jalan menuju pemulihan kepercayaan publik kepada DPR. Dan, di antara jalan yang bisa ditempuh adalah bagaimana mereka berpegang pada sumpah jabatan anggota DPR yang disampaikannya ketika prosesi pelantikan. Yaitu: “Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan bersungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sumpah jabatan di atas merupakan bentuk dari janji politik. Suatu ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk mewujudkan kepentingan umum. Memang kata politik itu sendiri sepadan dengan kata publicum, yang artinya urusan umum. Selain itu, kata politik juga terkait dengan usaha-usaha warga negara untuk mengelola dan menciptakan kebaikan bersama.
Janji itu, apa pun, termasuk janji politik, adalah utang. Oleh karenanya, janji politik itu wajib ditunaikan sampai tuntas karena menjadi ‘dosa’ apabila abai. Dalam penunaiannya dibutuhkan usaha yang istiqomah atau konsisten. Yaitu, kemantapan dan keselarasan antara hati, pikiran dan perilaku dengan penegakan kehidupan demokrasi, selalu mementingkan kepentingan umum, dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Dengan istiqomah pada janji politik, anggota DPR akan memiliki imun dari segala godaan hasrat nonpolitik, yakni keinginan dan harapan hanya untuk merengkuh keuntungan sebesar-besarnya bagi pribadi, keluarga dan golongan.
Demikian juga, dengan istiqomah melaksanakan janji politik, anggota DPR akan benar-benar menjadi wakil rakyat, dan tidak akan mudah berpaling menjadi wakil golongan tertentu, terutama golongan kapitalisme. Wallahualam bissawab.
Asep Sahid Gatara, Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN SGD Bandung
Sumber, Pikiran Rakyat 2 Oktober 2019