UINSGD.AC.ID (Humas) — Hari santri sudah kita peringati. Bersyukur, jika kita memiliki dan bisa mendawamkan “ritual” ini. Tidak sekadar moment yang bisa kita persepsikan sebagai cara kita menghormati “perjuangan” yang dilakukan oleh santri terdahulu tapi juga sebagai peristiwa tentang penanaman nilai-nilai juang “kesantrian” untuk generasi hari ini dan yang akan datang.
Santri. Secara khas, dilekatkan pada sosok pembelajar yang bertungkuslumus dalam ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Seorang santri adalah pembelajar ilmu-ilmu alat. Seorang santri adalah pembaca kitab-kitab kuning. Seorang santri adalah dia yang “ngobong” di pesantren dengan pakaian yang khas: sarungan.
Ada yang kita lupa. Santri pada masanya adalah kelompok yang juga ikut meletupkan dan menggelorakan perjuangan melawan penjajahan. Dulu, jaman saya masih SD, saya membaca kisah heroik mereka melalui buku “Pahlawan-pahlawan ti Pasantren” karangan Ki Ummat. Dalam buku ini, diperlihatkan bagaimana sepak terjang perjuangan golongan agama (santri) melawan setiap bentuk penindasan.
Dari kisah yang ditampilkan dalam “Pahlawan-pahlawan ti Pasantren”, melalui Ki Ahsan misalnya, kita dapat pelajaran bahwa seorang santri tidak melulu menekuni dan menyerahkan sebagian besar hidupnya untuk menekuni dan mendalami agama semata, tapi juga mesti melebarkan mata dengan memiliki ketajaman hati untuk empati dengan bersedia menengok dan mau melibatkan diri pada soal hidup yang paling nyata: berjuang.
Inilah karakter santri otentik yang mewujud pada sosok K.H. Hasyim Asyari, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, M. Natsir dan lain-lain.
Bisa kita pastikan, para santri dengan pesantrennya dalam lanskap sejarah Indonesia telah menjadi semacam tulang punggung NKRI. Peran dan keterlibatannya tidak melulu sebagai juru dakwah, penjaga moral, episentrum perkaderan, melainkan juga turut berpartisipasi dalam memberikan fondasi bagi lahirnya negara bangsa dan jangkar bagi Indonesia merdeka.
Dalam masa-masa perjuangan, kaum santri ikut berperan memainkan perlawanan dan pergerakan bahkan ikut berdarah-darah mengupayakan negeri ini merdeka. Kaum santrilah yang meletupkan “Resolusi Jihad” (K.H. Hasyim Asy’ari) dan bergerak ikut mengusir penjajah di atas landasan “berperang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah“.
Mungkin atas jejak-jejak kesejarahan itu pula, pemerintah memberikan apresiasi dengan mencanangkan Hari Santri Nasional yang dirayakan setiap tanggal 22 Oktober.
“Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan” adalah tema yang ditulis pada perayaan Hari Santri Nasional kali ini. Pada tema ini, terasa ada jejak sejarah yang harus terus dipelihara dan dihidupkan oleh setiap santri tapi juga ada masa depan yang mesti direngkuh dan dilibati. Disebutkan, jika masa depan sering penuh dengan ketidakpastian. Tapi santri, seperti album sejarah mengisahkan, tak pernah kehilangan asa dan harapan. Selalu ada pikiran dan tindakan positif yang bisa dilakukan. Insya Allah.
Radea Juli A. Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung