Santri Generasi Pewaris Para Nabi

Kebiasaan para santri saat usai mengaji kitab. Foto Pesantren Tebuireng/ Kopiireng)

UINSGD.AC.ID (Humas) — Bagi para jemaah haji dan umrah yang tidak gagal fokus dengan berbelanja, dapat menjumpai majelis ilmu di tanah suci. Majelis tersebut difasilitasi oleh takmir masjidil haram. Pada majelis-majelis tersebut, dilakukan kajian berbagai ilmu tentang Islam mulai dari tilawah Al-Qur an hingga kajian usuluddin, fiqih, sejarah, pendidikan dan dakwah Islam.

Dalam sejarah ditemukan ternyata tradisi ini ada sejak zaman Rasulullah Saw yang membentuk sejenis madrasah para sahabat yang kebanyakan masih junior ditinggal wafat syahid oleh para orang tuanya. Komunitas ini bernama ahlussuffah, sehari-hari berada di serambi timur masjid Nabawi yang ditinggikan. Para sahabat ahlussufah ini belajar sekaligus berkhidmat kepada Rasulullah Saw. Kurang lebih ada 300 ahlussufah yang diantaranya Abu Hurairah, Salman Al-Farisi, Anas bin Malik, Abu Dzar Al-Ghifari dan lain-lain.

Pendidikan Islam model ahlussufah ini masuk ke berbagai belahan dunia, dibawa oleh para jemaah haji dan umrah termasuk ke Nusantara. Surau atau masjid kecil selain difungsikan untuk ibadah ritual shalat lima waktu juga dijadikan tempat belajar agama yang pada perkembangannya bertransformasi menjadi pesantren. Kini pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tempat belajar para murid atau populer disebut santri.

Kata santri sendiri berasal dari kata india ‘shastri’ yang berarti ‘orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci. Pada perkembangannya santri memiliki banyak definisi namun hakikatnya sama yaitu orang yang belajar ilmu agama Islam pada guru disuatu tempat yang tetap dengan cara bertatap wajah (tawajuh). Dengan cara ini, santri mendapatkan sandaran (sanad) ilmu secara langsung tidak memakai perantara media apapun sebagaimana sekarang hadir pesantren virtual.

Selain ilmu yang diharapkan, para santri biasanya memiliki keyakinan mendapat keberkahan dengan khidmat kepada guru atau kyai sebagaimana ahlussufah berkhidmat kepada Rasulullah Saw. Adapun keberkahan yang dimaksud yaitu upaya mendapat poin kebaikan yang lebih dengan harapan mendapat do’a guru atau kyai agar menjadi bagian dari orang-orang yang soleh dan pantas menjadi pewaris Nabi.

Dalam suatu Riwayat, Imam At-Tirmidzi dari Qais ibn Kaṡir ia berkata: Seseorang dari Madinah mendatangi Abu Darda` di Damaskus, Abu Darda` bertanya; “Apa yang membuatmu datang kemari wahai saudaraku?” Orang itu menjawab: “Satu hadis yang telah sampai kepadaku bahwa anda menceritakannya dari Rasulullah saw.”

Abu Darda` bertanya: “Bukankah kau datang karena keperluan lain?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Abu Darda` bertanya: “Bukankah kau datang untuk berniaga?” Orang itu menjawab: “Tidak, aku datang hanya untuk mencari hadis tersebut.”

Abu Darda` berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang-siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menuntunnya menuju surga dan para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena senang kepada pencari ilmu, sesungguhnya orang berilmu itu akan dimintakan ampunan oleh (makhluk) yang berada di langit dan di bumi hingga ikan di air, keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang, sesungguhnya ulama adalah pewaris pada nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Riyad: Baitul Afkar ad-Dauliyah, t.t.). Wallahu a’lam

Rohmanur Aziz, Pembimbing Tours & Travel Mumtaz Bandung dan Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (Islamic Community Development) FDK UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *