Yuk Kenali Sosok Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan

Makam ulama dan penyebar Islam di wilayah Tasikmalaya, Syeikh Abdul Muhyi / foto Ayotasik.com

Salah Satu Tokoh Sentral Pengembangan Pesantren di Tatar Sunda Abad ke-17

UINSGD.AC.ID (Humas) — Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan merupakan salah satu tokoh sentral pengembangan Pesantren di wilayah Tatar Sunda, khususnya Cirebon, Kuningan, Garut, dan Sukapura (Tasikmalaya). Berbekal keilmuan yang mumpuni dan jejaring yang luas, serta jalur nasab, ia memilih jalur pendidikan dan budaya (kultural) untuk mengembangkan individu dan masyarakat muslim dibanding jalan konfrontatif (pertarungan politik atau perang).

Kontribusinya cukup signifikan bagi pengembangan pendidikan dan masyarakat Muslim, terutama dalam konteks “Intensifikasi keilmuan Islam”, sebagai tindak lanjut dari “konversi Islam”. Sekalipun demikian, ia tidak mengabaikan sama sekali aspek politis, namun ia memanfaatkan faktor kedekatan dengan para penguasa lokal untuk menguatkan penyebaran dan pengaruh pendidikannya.

Hasilnya adalah penyebaran Islam yang cukup cepat dan signifikan di wilayah-wilayah yang ia tempati (singgahi) dan tersebarnya berbagai pesantren yang dikembangkan oleh keluarga, para keturunan, dan para muridnya.

Geneologi Silsilah

Cahaya di Masjidil Haram, Kisah Karomah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan / Foto Laduni.id

Syeikh Abdul Muhyi terlahir di Kotapraja Mataram Islam pada tahun 1650 M dari keluarga “priyayi”(menak) yang cukup religius. Ayahnya seorang “Penghulu” (Sunda: Lebe) di Kerajaan Sumedang Larang yang juga mengabdi di Mataram sebagai Penghulu atau “Pegawai Keagamaan”. Terkait dengan posisi Penghulu ini, kita menemukan banyak “pemakaman” (atau petilasan) yang diberinama “makam Penghulu Gusti” pada beberapa daerah. Pada saatnya, posisi ini mempunyai kedudukan prestisius, sebagai pegawai kerajaan.

Saat Abdul Muhyi lahir, Kesultanan Mataram dipimpin oleh Sultan Amangkurat 1. Ia merupakan salah satu putra Sultan Agung dan berkuasa pada 1646-1677. Sultan Amangkurat dikenal dengan kontroversi dan kekejamannya terhadap para oposisi, khususnya pembunuhan massal terhadap 6.000 kyai/ulama (guru ngaji) yang dianggapnya bersekongkol menggulingkan kedudukannya. Dengan demikian, Abdul Muhyi lahir dan menghabiskan masa kecil, ketika suasana politik di Kota Raja Mataram dan wilayah yang dikuasainya sedang “tidak baik-baik”. Banyak intrik politik, konflik, bahkan pemberontakan yang terjadi.

Sang ayah dari Abdul Muhyi adalah Sembah Lebe Wartakusumah. Ia merupakan salah bangsawan Sunda keturunan Raja Sunda-Galuh yang mengabdi sebagai Penghulu [Lebe] di Sumedang sebagai utusan dari Mataram). Sang ayah ini, kelak, dihubungkan dengan salah satu tokoh yang berada di Kampung Dukuh (Garut Selatan), yakni Syeikh Abdul Jalil. Disebutkan bahwa setelah beres mengabdi ke kerajaan Sumedang Larang dan Mataram Islam, ia memilih untuk “berkhalwat” di Kampung Dukuh (Garut Selatan) sebagai pembimbing dan pengembang masyarakat Muslim di wilayah ini.

Sedangkan Ibunya adalah Raden Ajeng Tangenjiah (salah satu keturunan bangsawan Mataram Islam yang berjalur nasab kepada Syeikh Ainul Yakin (atau Sunan Giri I). Oleh karena itu, ia memiliki “terah” keulamaan dan kebangsawanan sekaligus. Sekalipun demikian, perihal nasabnya tersebut masih memerlukan bukti dukungan lebih lanjut.

—-

Masa Pendidikan

Masa kecil hingga remajanya, ia habiskan di Kota Praja Mataram dan Pesantren Ampel Denta. Sesekali, ia dibawa oleh sang ayah ke wilayah Tatar Sunda, khususnya Sumedang, tempat asal sang ayah. Ia mondok di Pesantren Ampel Denta, yang sat itu merupakan salah satu pesantren terkemuka pada jamannya, sebagai peninggalan dari Sunan Ampel.

Karena Mataram masa Amungkurat 1 tidak dalam kondisi baik-baik saja karena banyak konflik politik, maka orang tuanya lebih banyak menitipkan Abdul Muhyi di lingkungan pesantren Ampel Denta. Sebagai keturunan Sunan Giri, ia tidak sempat menyaksikan kejayaan Pesantren Giri Kedaton, karena Giri Kedaton sudah hancur lebur oleh Mataram pada tahun 1638 disebabkan konflik (dan klaim kekuasaan penerus Demak Bintor) antara Sunan Giri Kedaton III dengan Mataram.

Karenanya, ia tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan bangsawan serta mendapatkan pendidikan yang kuat untuk mendaras berbagai disiplin keislaman, baik aqidah. Syari’ah, akhlak, maupun sufisme. Ia pun belajar keperwiraan, tatakelola (administrasi) pemerintahan, selain juga perdagangan dan skill lainnya.

Ketika sudah cukup bekal ilmu dan usia, pada usia 19 Tahun (1669), ia berniat untuk menunaikan haji dan memperdalam keilmuan Islam ke Mekkah (sebagai salah satu pusat keilmuan Islam. Saat itu, Mataram di bawah Amangkurat 1 sedang menghadapi konflik-konflik internal pasca meninggalnya Sultan Agung (w. 1646) yang klimaksnya berujung pada pemberontakan Raden Mas Alit dan Trunojoyo (berpangsung 1670-1674). Pada masanya pula terjadi “pembantaian” terhadap 6.000 pemuka agama Islam yang dianggap tidak mendukung kepemimpinannya. Jumlah ini menunjukkan bahwa jumlah agamawan, baik struktural maupun kultural, sudah cukup banyak.

Epos Ajaran Kemanunggalan Islam di Nusantara (3): Syekh Abdul Muhyi, Martabat Tujuh, dan Penegasan Wujudiyah / Foto Alif.id

Setahun sebelum pemberontakan Trunojoyo, Abdul Muhyi muda mulai melakukan perjalanannya menuju Mekah. Dari Jawa, ia singgah dahulu di Aceh yang saat itu sudah dikenal sebagai salah satu pusat keilmuan Islam di Nusantara. Di sinilah, ia menyengaja untuk menemui salah satu ulama terkemuka Aceh Darussalam, yakni Syeikh Abdul Rauf al-Sinkili (1615-1693) atau dikenal juga dengan Teungku Syiah Kuala [atau The Grand Syeikh in Kuala]. Beberapa tahun, Abdul Muhyi “nyantri”untuk belajar ilmu-ilmu keislaman kepada Syeikh Abdul Rauf al-Sinkili, terutama fikih, tafsir, dan tarekat Syathariyah. terkait dengan tarekat, sang Syeikh dikenal sebagai salah satu mursyid dan penyebar Tarekat Syathariyah di wilayah jawi (Nusantara) dan sekitarnya. Selain tarekat, syeikh Abdul Rauf dikenal juga sebagai ahli tafsir dan ahl fikih, yakni penulis tafsir Tarjuman al-Mustafid (berbahasa Melayu) dan beberapa kitab dalam bidang tauhid dan fiqh.

Setelah sekian lama berguru di Aceh, Abdul Muhyi melanjutkan perjalanan ke Mekkah. Pada perjalanan ini, awalnya ia ditemani oleh sang guru (Syeikh Abdul Rauf al-Sinkili) untuk ziyarah ke Irak, khususnya ke pusat tarekat Qadiriyah dan makam Wali Qutub Syeikh Abdul Qadir al-Jilani. Karena itu, diasumsikan keduanya memiliki sanad tarekat Qadiriyah.

Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan ke Mekkah. Ketika sang guru kembali ke Aceh, Abdul Muhyi memilih untuk tinggal di Haramayn (Mekkah dan Madinah) untuk belajar pada masyâyikh.

Di Haramayn, Syeikh Abdul Muhyi belajar kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani (1615-1690), yang merupakan murid dari Syeikh Ahmad al-Qusyasyi (1583-1661). Pada masanya masing-masing, keduanya merupakan pimpinan dari tarekat Syathariyah. Selain menjadi mursyid tarekat, Syeikh Ibbrahim al-Kurani juga dikenal sebagai ulama yang prolifik dalam bidang teologi (tauhid), fiqh, dan lainnya.

Selain kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani, ia pun berguru pada Syeikh Hasan al-Hajam. Disebutkan pula bahwa di sini, Abdul Muhyi sempat bertemu dengan Syeikh Yusuf al-Maqassari (1626-1699) untuk pertama kalinya.

Di tempat ini, disebutkan pula bahwa pada tahun 1678, ia mengambil ijazah kemursyidan pada tarekat Syathariyah. Kemungkinan, ia mengambil sanad kemursyidan Tarekat Syathariyah kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani. Namun, ada juga yang menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Rauf Singkel-lah yang mengukuhkan Syeikh Abdul Muhyi sebagai salah satu mursyid Syathariyah, karena sang guru merupakah Khalifah Tarekat Syathariyah sebagai murid dari Syeikh Ahmad Qusyasyi. Dengan demikian, saat kembali ke Nusantara, Syeikh Abdul Muhyi sudah menjadi salah satu mursyid dalam tarekat Syathariyah.

——

Pengembangan Pendidikan Islam (Pesantren) di Tatar Sunda

Setelah hampir 9 tahun meninggalkan Nusantara, maka pada tahun 1679, ia kembali ke Nusantara melalui jalur lautan. Ia singgah dulu di kerajaan Aceh Darussalam untuk menemui gurunya, yakni Syeikh Abdul Rauf al-Sinkili. Di Aceh ini, ia menerima kembali beberapa nasihat dari sang guru. Salah satunya di antaranya terkait kemursyidannya dalam Tarekat Syaththariyah dan karakteristik tempat “mukim” untuk pengembangan keilmuan, riyadhah, dan dakwah. Setelah itu, ia kemudian mengunjungi Pesantren Ampel Denta, almamater awalnya. Kunjungan inipun merupakan bentuk permohonan izin kepada para guru di Aceh dan Ampel Denta untuk “mukim” di tanah air.

Sekembalinya dari pesantren tersebut, ia menikah dengan Raden Ayu Bekta, salah satu putri Sembah Dalem Sacaparana (Menak Sukapura). Pertalian keluarga ini memberikan manfaat tersendiri terkait karir, kontribusi, dan pengaruhnya pada saat ia mengembangkan pendidikan Islam di Sukapura. Setelah menikah, ia bersama istri, ayah dan ibunya, berpindah ke Tatar Sunda untuk menjadi pendidik dan penyebar Agama Islam.

Header Mozaik Syekh Abdul Muhyi / Foto tirto.id/Mojo

 

Perintisan Pesantren di Kuningan

Semula daerah Darma Kuningan dipilih sebagai tempat awal pengabdiannya selama 8 tahun. Ia memilih kuningan karena dekat dengan Kesultanan Cirebon dan pernah menjadi “wilayah” yang diamanatkan oleh Sunan Ampel (1401-1481) kepada Syarif Hidayatullah. Selebihnya, wilayah ini pun telah cukup banyak komunitas muslim, terlebih setelah berdirinya Kesultanan Cirebon dan Kerajaan Talaga Manggung.

Ketika Syeikh Abdul Muhyi tiba di Kuningan, daerah ini sedang dalam pengaruh dan kontrol Cirebon. Sedangkan Cirebon berada pada kontrol Kesultanan Mataram dengan ditahannya Pangeran Girilaya dan keluarganya di Mataram. Klimaksnya, tahun 1679, Cirebon menghadapi konflik internal yang menyebabkan perpecahan antara Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Panembahan. Perpecahan ini tidak lepas dari intervensi eksternal, yakni Mataram dan VOC.

Nampaknya, Syeikh Abdul Muhyi menghindari konflik politik-kekuasaan ini. Sehingga aktivitasnya hanya berpusat pada aktivitas mengajar, berdakwah, dan mengembangkan masyarakat. Setelah 8 tahun (1678-1685) melakukan aktivitas dakwah di Kuningan, ia telah berhasil melakukan kaderisasi kyai/ulama dan pesantren. Hal ini dibuktikan dengan tersebarnya tarekat Syathariyah, yang beberapa murid dan “mursyid”nya mengambil jalur silsilah (sanad talqin) melalui Syeikh Abdul Muhyi. Selebihnya, beberapa tinggalan dari para murid Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan di wilayah Kuningan dan sekitarnya. Misalnya, KH Hasan Maolani (1779-1874) disinyalir merupakan jebolan dari pesantren Kedung Kuningan yang didirikan oleh murid Syeikh Abdul Muhyi.

Perintisan Pesantren Di Garut Selatan

Setelah merasa cukup untuk mengembangan Islam di Kuningan, akhirnya Syeikh Abdul Muhyi berupaya mencari tempat baru untuk “Wilayah Dakwahnya”. Kemudian ia dan keluarganya berpindah ke daerah Pameumpeuk dan Batuwangi di Garut Selatan. Lokasi pesantren yang berada di daerah Garut Selatan memiliki keistimewaan tersendiri dalam upaya perintisan dan pendidikan agama. Dikelilingi oleh alam yang memesona dan didukung oleh masyarakat yang taat beragama, pesantren ini menjadi tempat yang sangat istimewa untuk menimba ilmu dan mengeksplorasi potensi diri secara mendalam.

Disinyalir, sang ayah (Lebe Wartakusumah) telah lebih dahulu tinggal di Garut, tepatnya di Kampung Dukuh Garut, dan berhasil membentuk komunitas muslim yang cukup religius dan solid di sana.

Pada kedua wilayah di Garut ini, Syeikh Abdul Muhyi cukup berhati-hati dalam menyebarkan Islam, karena wilayah ini masih banyak yang berkeyakinan Sunda Wiwitan. Beberapa wilayah di Garut Selatan ini merupakan “kantong-kantong” ex- Kekuasaan Padjadjaran, terutama di sekitar wilayah Leuweung Sancang. Oleh karena itu, pada masanya”, wilayah selatan di Garut ini seringkali disebut sebagai tempatnya para jawara (ksatria), baik dari golongan putih maupun “golongan hitam.”

Pendirian Pesantren di Sukapura

Tidak lama ia berada di Garut, ia kemudian berpindah lagi Sukapura (Tasikmalaya). Terdapat beberapa pertimbangan perpindahannya ke Sukapura ini. Pertama, wilayah ini merupakan daerah asal dari sang istri (Raden Ayu Bekta) yang merupakan keturunan bangsawan Sukapura. Kedua, ditemukannya tempat yang sesuai dengan “karakterisrik tempat tinggal ideal” yang disampaikan oleh Syeikh Abdul Rauf al-Sinkili. Ketiga, wilayah Sukapura merupakan daerah yang relatif aman karena agak jauh dari daerah-daerah konflik (perang), seperti Mataram, Cirebon, Sumedang Larang, Sukabumi, Banten. Sekalipun demikian, daerah Sukapura tetap terimbas oleh konflik yang ada di daerah-daerah tersebut dengan skala yang relatif kecil. Saat itu, daerah Garut dan Sukapura tersebut merupakan bagian wilayah kekuasaan dari Mataram dalam bentuk kota-kota Kadipaten.

Di daerah Sukapura inilah, ia kemudian menetap secara permanen hingga akhir hayatnya untuk mengajar, berdakwah, dan mengembangkan masyarakat. Semula ia bermukim di Lebaksiuh (Sukapura) selama empat tahun. Namun, kemudian ia pindah ke wilayah yang kini dikenal dengan Pamijahan.

Daerah ini dikenal dengan Pamijahan karena di daerah ini banyak yang berprofesi sebagai “mijahkeun lauk” (pembudidayaan ikan tawar). Pemaknaan pertama ini lebih pada dimensi sosio-ekonomis. Tapi ada juga yang memberi makna simbolik terhadap nama pamijahan, yakni “Tempat penyemaian kader-kader atau murid-murid”, yang mengisyaratkan bahwa tempat ini menjadi pusat pendidikan (islam). Pemaknaan kedua ini berada pada dimensi pendidikan.

Pada saatnya tempat ini dikenal juga dengan sebutan daerah “Karang”. Hal ini karena wilayah ini memiliki banyak daerah karang atau gunung kapur. Tidak jauh dari wilayah ini, terdapat laut selatan yang memiliki banyak karang. Oleh karena itu, ia sering disebut juga sebagai “Haji Karang”, tempat pendidikannya pun dikenal sebagai “Pesantren Karang”.

Di sini, Syeikh Abdul Muhyi mengembangkan pendidikan Islam, yang ia adopsi dari sistem pendidikan sebelumnya, terutama pesantren Ampel Denta, Pesantren Giri, dan Dayah Syeikh Abdul Rauf al-Sinkili. Tentunya, pengertian pesantren di sini masih dalam bentuknya yang sederhana, yakni ada kyai, santri, tempat belajar, dan tempat ibadah. Sangat mungkin tempat belajar tersebut bersatu dengan tempat ibadah atau tempat tinggal sang kyai.

Lokasi makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan pada tahun 1910, Silsilah Syekh Abdul Muhyi sampai ke Rasulullah SAW. / Foto Facebook Dedynejad Pakeha / Viewjabar

 

Pada tahun 1681, ketika sudah menetap di daerah Karang (Sukapura) ini, ia sempat bertemu dan belajar kembali dengan Syeikh Yusuf Maqassari. Syeikh Yusuf al-Maqassari dan pasukannya terdesak oleh pasukan VOC Belanda dari Banten yang sedang sedang berperang dengan VOC. Syeikh Yusuf terus dikejar-kejar pasukan VOC dari mulai Banten, Sukabumi, Cianjur, Garut, hingga Tasikmalaya (atau Karang). Selama pertemuan ini, Syeikh Abdul Muhyi menguatkan kembali sanad dan keilmuan Tarekat Syathariyah-nya. Setahun setelah itu, VOC dapat mengalahkan Banten pada 1682, serta Syeikh Yusuf pun dapat tertangkap dan diasingkan ke Capetown, Afrika Selatan, pada tahum 1684.

Syeikh Abdul Muhyi terus mengembangkan pendidikan dan dakwahnya di wilayah ini dan sekitarnya. Selama kurang lebih hampir setengah abad atau 50 tahun (1680-1730), Syeikh Abdul Muhyi mengabdikan dirinya untuk pengembangan pendidikan dan dakwah Islam di wilayah Barat Jawa, khususnya Sukapura dan sekitarnya.

Sebagai ulama kharismatik, putra bangsawan, dan menantu Dalem Sukapura (Dalem Sacaparana, atau kini dikenal dengan Dalem Bengkok) ia memiliki posisi terhormat di dalam pemerintahan Mataram dan Sukapura, terutama dalam otoritas keagamaan. Tidaklah aneh jika kemudian ia dikenal sebagai salah satu Waliyullah dalam “deret” ulama kharismatik di Jawa, yakni Walisongo. Salah satu apresiasi pemerintahan Mataram dan Sukapura terhadapnya adalah menjadikan daerah Karang (Pamijahan) sebagai “daerah perdikan” (daerah semi-otonom dan bebas pajak, atau dikenal dengan tanah bengkok). Selebihnya, Syeikh Abdul Muhyi diangkat menjadi mufti Sukapura, dan dinikahkan dengan salah satu putri bangsawan Sukapura (Syeik Dalem Sacaparana).

Pada masa tua, ia masih tetap aktif dalam kegiatan dakwah dan pendidikan Islam di wilayah Sukapura dan sekitarnya. Bahkan, salah satu kegiatan dakwahnya adalah dengan melakukan kanduri (selamatan) untuk masyarakat di sekitar pesantrennya. Padahal, pada masa itu, usianya sudah tidak lagi muda, namun semangatnya dalam memberikan ilmu dan hikmah kepada masyarakat tidak pernah padam. Antar masyarakat pun ia sangat dikenal secara baik, sehingga banyak masyarakat yang bersimpati dan taat kepada beliau.

Selain itu, Syeikh Abdul Muhyi juga dikenal sebagai seorang pejuang keadilan sosial. Ia memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, memerangi kesewenang-wenangan penguasa, dan melawan segala bentuk ketidakadilan. Semangat keadilan ini tercermin dalam cara ia mendidik dan membimbing para santrinya. Ia mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, dan kerja keras kepada para santri agar kelak menjadi sosok yang bertanggung jawab dan bermanfaat bagi masyarakat.

Selain itu, kontribusi Syeikh Abdul Muhyi juga terlihat dari banyaknya pesantren yang didirikan oleh murid-muridnya di berbagai wilayah. Pesantren-pesantren tersebut menjadi lembaga pendidikan dan penyebaran ajaran Islam yang turut mencetak generasi-generasi muslim yang taat dan berakhlak mulia. Dengan demikian, warisan ilmu dan nilai-nilai yang ia ajarkan terus berlanjut dan memberi dampak positif bagi masyarakat di berbagai daerah.

Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan merupakan contoh teladan dalam mengabdi kepada agama dan masyarakat. Jejak perjalanan hidupnya yang penuh dengan pengabdian, ilmu, dan keadilan menjadikannya sebagai tokoh yang dihormati dan diingat oleh banyak orang hingga kini. Dengan segala kontribusinya, beliau meninggalkan warisan berharga bagi dunia pendidikan Islam di wilayah Nusantara.

Seluruh pencapaian dan pengabdian Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan tidak hanya memberi pengaruh pada zamannya, tetapi juga meninggalkan jejak yang terus dikenang dan diinspirasi oleh generasi-generasi selanjutnya. Dalam kesehariannya, masyarakat masih mengingat kisah-kisah kebijaksanaan dan kebaikan hati beliau, serta nilai-nilai luhur yang ia tanamkan. Semangatnya dalam mengembangkan pendidikan Islam dan memperjuangkan keadilan sosial tetap menjadi sumber inspirasi bagi banyak kalangan.

Tinggalan

Selain berkiprah sebagai guru agama, mufti, dan pemimpin tarekat, Syeikh Abdul Muhyi juga menulis karya keislaman, khususnya tasawuf. Salah satunya adalah Kitab Bayân al-Qahhâr. Ia juga dikenal dengan adaptasi atau reformulasi ajaran “Martabat Tujuh”nya, yang merupakan hasil pemikiran Ibn ‘Arabi dan al-Jilli. Hasil adaptasi ini relatif diterima di kalangan ulama Nusantara, tidak seperti nasib dari ajaran “Martabat Tujuh” dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani yang mengundang polemih (bahkan takfiri dari kalangan fuqaha, seperti Nuruddin al-Raniri).

Syeikh Abdul Muhyi meninggal pada tahun 1730 kala usia 80 tahun. Ia dimakamkan di Pamijahan, Tasikmalaya. Ia meninggalkan banyak keturunan yang menjadi ulama di Tatar Pasundan dan wilayah Nusantara lainnya. Ia pun meninggalkan komplek pendidikan Islam (pesantren), karya, mesjid, gua safar wadi (salah satu tempat khalwat dan pembelajaran untuk para santri senior).

Ansor Pangandaran Ziarah ke Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan / Foto NU Online Jabar

 

Cukup banyak murid yang belajar dari beliau. Salah satunya adalah Syeikh Haji Muhyiddin dan Syeikh Sayyid Faqih Ibrahim (?), yang merupakan dua orang putra Syeikh Abdul Muhyi. Sang putra pertama disebut-sebut sebagai penerus kepemimpinan Tarekat Syathariyah. Ia-lah yang menyalin dan menerjemahkan karya Syeikh Abdul Muhyi tentang Martabat Tujuh.

Sang putra kedua merupakan salah satu tokoh ulama yang memimpin Pesantren di wilayah kerajaan Talaga Manggung. Pesantren ini didirikan oleh Aya Kikis (atau Sunan Wanaperih), yang merupakan penguasa Kerajaan Talaga Manggung (penerus dari Ratu Suryalarang, cicit dari Prabu Sribaduga Maharaja Pajajaran). Pada masa cicit Arya Kisis, Syeikh Sayyid Faqih Ibrahim telah berhasil mengembangkan pesantrennya, termasuk menyebarkan tarekat Syattariyah di Wilayah Majalengka, Kuningan, Ciamis, dan Sumedang.

Selain putra-putranya, terdapat beberapa muridnya yang cukup menonjol. Di antaranya adalah Syeikh KH Khatib Muwahhid yang membuka pesantren di wilayah Pamijahan dan meneruskan Tarekat Syattariyah. Dari pesantren ini, banyak murid-murid yang telah mendirikan pesantren kecil dan menengah di sekitar Sukapura, Garut, dan Ciamis.

Hingga kini, di sekitar Tasikmalaya terdapat banyak pesantren yang memiliki jalur nasab kepada Syeikh Abdul Muhyi. Hal ini menunjukkan bukti kontribusi Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan terhadap pengembangan pesantren di wilayah Jawa bagian barat, khususnya wilayah Sukapura, Garut, Ciamis, Majalengka, dan Kuningan.

Di luar Tasikmalaya pun terdapat beberapa pesantren yang nasabnya terhubung ke Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Misalnya, Pesantren Gunung Puyuh (Sukabumi), Pesantren Mahmud (Bandung), dan Pesantren Gentur (Cianjur) merupakan beberapa contoh pesantren eksisting yang merupakan warisan dari kontribusi Syeikh Abdul Muhyi. Tentunya untuk penjelasan mendalam mengenai hal-hal di atas perlu kajian lebih lanjut.

Referensi:
1. Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Perjalanan Babat Alas Sang Mursyid (tirto.id);
2. Abdul Muhyi – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas;
3. Riwayat Singkat Syekh Abdul Muhyi Pamijahan | NU Online Jabar

Dadan Rusmana, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *