UINSGD.AC.ID (Kampus II) — Puasa Ramadan adalah ibadah wajib bagi umat Islam. Jika tidak dikerjakan, maka wajib diganti dengan puasa qadha atau membayar fidyah. Sedangkan puasa Syawal hukumnya sunah, dengan pahala yang besar bagi yang melaksanakannya.
Muncul pertanyaan, bagaimana hukum menggabungkan niat puasa qadha Ramadan dan puasa sunah Syawal?
Dilansir dari Arina.id Puasa Syawal adalah sebuah amalan sunnah yang dianjurkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Dilaksanakan selama enam hari di bulan Syawal, puasa ini menyimpan banyak keutamaan bagi umat Islam yang menjalankannya.
Salah satu keutamaan utama puasa Syawal adalah pahalanya yang disetarakan dengan berpuasa selama satu tahun penuh. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
عن أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Artinya: “Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian menyempurnakannya dengan enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun.”
Menurut Syekh Dr. Ali Jumah, boleh hukumnya menggabungkan niat puasa qadha Ramadhan dan puasa sunah Syawal. Orang yang meniatkan puasa qadha digabungkan dengan puasa sunah, maka akan mendapat dua pahala, yakni atas puasa qadha Ramadhan dan sunah Syawal.
Pahala puasa qadha Ramadhan adalah menggantikan kewajiban yang tertinggal, sedangkan pahala puasa sunah Syawal adalah sebagai bentuk kesyukuran atas limpahan rahmat Allah SWT di bulan Ramadhan.
أما عن الجمع بين نية صوم هذه الأيام الستة أو بعضها مع أيام القضاء في شهر شوال، فيجوز للمسلم أن ينوي نية صوم النافلة مع نية صوم الفرض، فيحصل المسلم بذلك على الأجرين
Artinya: “Ada pun menggabungkan niat puasa sunah enam Syawal—seluruhnya atau sebagiannya— dengan puasa qadha Ramadhan yang dilaksanakan di Bulan Ramadhan, maka boleh hukumnya bagi setiap Muslim bahwa ia berniat puasa sunah berserta puasa fardu. Maka siapa yang mengamalkan demikian mendapatkan dua pahala.”
Selanjutnya, dalam kitab I’anatuth Thalibin, jilid II, halaman 336, Syekh Abu Bakar Syatha, menjelaskan bahwa hukum menggabungkan puasa sunnah dengan puasa qadha adalah diperbolehkan. Pendapat ini juga didukung oleh beberapa ulama lain seperti Syekh al-Kurdi dalam kitabnya Syekh al-Kurdi, Syekh Khatib al-Sayarbini, dan Syekh al-Jamal al-Ramli.
Lebih lanjut, ketika seseorang berpuasa pada hari yang dianjurkan untuk puasa sunnah, misalnya puasa Arafah, puasa Asyura, dan Syawal niat tersebut secara otomatis sudah terhitung sebagai puasa di hari itu. Bahkan jika orang tersebut berniat puasa sunnah tersebut bersamaan dengan niat puasa lainnya, maka pahala untuk keduanya tetap bisa didapatkan.
Pendapat ini diperkuat oleh Syekh al-Barizi dalam kitab al-I’ab. Ia berfatwa bahwa seseorang yang menjalankan puasa qadha Ramadhan atau puasa lainnya di hari yang dianjurkan untuk puasa sunnah [Syawal atau Arafah], maka pahala untuk kedua puasa tersebut bisa didapatkan, terlepas apakah orang tersebut menyertakan niat puasa sunnah tersebut atau tidak.
وفي الكردي ما نصه في الأسنى ونحوه الخطيب الشربيني والجمال و الرملي الصوم في الأيام المتأكد صومها منصرف إليها بل لو نوى به غيرها حصلت إلخ زاد في الإيعاب ومن ثم أفتى البارزي بأنه لو صام فيه قضاء أو نحوه حصلا نواه معه أو لا. وذكر غيره أن مثل ذلك ما لو اتفق في يوم راتبان كعرفة يوم الخميس. إه
Artinya: “Dan dalam kitabnya, Syekh Al-Kurdi disebutkan, seperti yang tertulis dalam Al-Asnal Mathalib dan diikuti oleh Al-Khatib Al-Syarbini, Al-Jamal, dan Al-Ramli, puasa pada hari-hari yang pasti disunnahkan [Syawal atau Arafah] untuk niat puasa tersebut. Bahkan, bahkan apabila seseorang berniat puasa beserta niat puasa lainnya, maka pahala keduanya berhasil didapatkan. Sementara itu dalam kitab Al-I’ab ditambahkan: ‘Dan karena itu, al-Barizi berfatwa bahwa jika dia berpuasa di hari itu untuk mengganti puasa yang tertinggal atau lainnya, maka puasanya sah, baik dia berniat dengan puasa tersebut atau tidak.’Dan ulama yang lain menyebutkan demikian pula apabila bertepatan bagi seseorang dalam satu hari dua puasa rutin, seperti puasa hari Arafah dan puasa hari Kamis”.
Lebih jauh lagi, dalam kitab al-Asybah wan Nazhair, Jilid I, halaman 21 terdapat penjelasan bahwa jika seseorang berpuasa pada hari yang dianjurkan puasa sunnah (seperti Arafah atau Syawal) dan juga berniat untuk mengganti puasa wajib yang tertinggal atau puasa lainnya, maka puasanya sah dan dia mendapatkan pahala keduanya. Ini berlaku jika dia tidak menentukan niat secara spesifik untuk salah satu puasa tersebut.
وَلَوْ صَامَ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ مِثْلًا قَضَاءً أَوْ نَذْرًا أَوْ كَفَّارَةً وَنَوَى مَعَهُ الصَّوْمَ عَنْ عَرَفَةَ، فَأَفْتَى الْبَارِزِيُّ بِالصِّحَّةِ وَالْحُصُولِ عَنْهُمَا. قَالَ: كَذَا إِنْ أَطْلَقَ. فَأَلْحَقَهُ بِمَسْأَلَةِ التَّحِيَّةِ
Artinya: “Jika seseorang berpuasa di hari Arafah, misalnya untuk mengganti puasa yang ditinggalkan, karena nazar, atau sebagai kafarat, dan dia berniat bersamaan dengan itu untuk berpuasa sunnah Arafah, maka Al-Barizi berfatwa bahwa puasanya sah dan dia mendapatkan pahala keduanya. Dia berkata, “Hal ini berlaku jika dia tidak menspesifikasikan niatnya.” Kemudian dia (Al-Barizi) menghubungkannya dengan masalah salam.”
Dengan demikian, berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa bisa menggabungkan niat qadha Ramadhan dengan puasa sunnah Syawal. Wallahu ‘alam.