UINSGD.AC.ID (Kampus I) — Sampai saat ini, Kantor Urusan Agama (KUA) masih disederhanakan sebagai kantor urusan umat Islam saja, dengan keberadaan kantornya di sudut Masjid Agung sebuah kecamatan (walaupun belakangan ini sejumlah KUA sudah berkantor pada bangunan mandiri). Keadaan itu, terlalu sederhana dan menyederhanakan eksistensi KUA sebagai milik negara.
Sebutan kantor urusan agama sudah barang tentu menyandang atribut besar dan luas, termasuk menyangkut urusan lintas keyakinan dan agama. Seharusnya, KUA menjadi tempat interaksi banyak orang dengan lintas keyakinan atau agama.
KUA harus bertransformasi menjadi lembaga layanan publik di bidang perkawinan yang mampu menyediakan layanan yang berkualitas dan merata kepada semua warga, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau politik, untuk urusan yang berhubungan.
Salah satu konsep pengembangan institusi publik adalah teori eksternalitas positif, yaitu bahwa lembaga layanan publik yang efektif dapat menghasilkan manfaat tambahan yang dinikmati oleh masyarakat secara keseluruhan. Layanan publik oleh KUA yang diefektifkan akan dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan.
Saat ini penting untuk ditekankan bahwa sebagai institusi urusan agama, KUA harus menjadi lembaga publik yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan agama warga negara secara keseluruhan. KUA harus bertindak sebagai perantara atau wakil negara bagi kepentingan publik secara keseluruhan yang menyangkut urusan aktivitas warga negara yang keabsahannya berbasis pada agama, di antaranya perkawinan semua agama.
Sudah barang tentu, mengubah KUA menjadi tempat perkawinan semua agama harus dipayungi dengan hukum yang jelas dan kuat. Sebab, selama ini perkawinan untuk penduduk yang beragama selain Islam dilaksanakan di kantor catatan sipil untuk proses administrasinya. Semua ini memerlukan proses regulasi publik yang tidak sederhana, memerlukan pikiran dan tenaga sedikit ekstra. Namun, pengembangan dan perluasan KUA sangat penting untuk memastikan bahwa masyarakat mendapatkan akses yang setara dan layanan yang berkualitas dalam aspek perkawinan.
Dengan mengkonsolidasikan layanan perkawinan di satu institusi (KUA), pemerintah dapat mengalokasikan sumber daya dengan lebih efisien. Hal ini dapat mengurangi anggaran biaya administratif dan operasional yang terkait dengan penyelenggaraan administrasi perkawinan yang tersebar di institusi yang beragam.
Memisahkan tempat administrasi perkawinan berdasarkan agama dapat mempertajam fragmentasi masyarakat berdasarkan latar belakang agama. Hal ini dapat mengurangi rasa solidaritas dan integrasi warga negara, serta memperkuat ketidaksetaraan. Selain itu, membuat tempat administrasi perkawinan yang berbeda-beda berdasarkan agama dapat meningkatkan kompleksitas administratif dan birokrasi.
Lebih dari sekadar hal di atas, dengan menjadikan KUA tempat perkawinan untuk semua agama kita dapat mempromosikan kerukunan sosial dan harmoni antaragama. Sehingga, KUA akan menjadi “menara” yang membantu menerangi masyarakat untuk melihat perbedaan agama sebagai sumber kekayaan bangsa, bukan sebagai sumber konflik atau perpecahan.
Rosihon Anwar, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung.