Ziarah, Rihlah Ruhaniyah

Ilustrasi ziarah makam/ foto merdeka

UINSGD.AC.ID (Humas) — Dapat berziarah ke makam Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu cucu Rasulullâh, merupakan salah satu anugerah dari Allah swt. Sekalipun, menurut kisahnya, yang disemayamkan di tempat ini hanyalah kepala Abu Abdillah (salah satu sebutan beliau).

Semoga perjalanan spiritual ini dalam meningkatkan kecintaan pada sosok agungnya, yakni Nabi Muhammad saw, sang kakek beliau, sayyidatuna Fatimah, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan dan semua ahl al-Bayt.

Sayyidina Husein wafat di Karbala pada 10 Muharram 61 H atau 10 Oktober 680 M. Jika kita baca kisah hari-hari menjelang gugurnya beliau di Karbala, maka kita akan menemukan penggalan-penggalan kisah heroik dari para pendukung beliau, serpihan kisah pengkhianatan dari sebagian orang yang awal mendukungnya, dan kedzaliman dari penguasa pada zamannya.

Namun, yang jelas, kisahnya menyisakan duka mendalam bagi umat Islam, yakni gugurnya secara tragis salah satu cucu kesayangan Rasulullah saw, yakni Sayyidna Husein. Menelisik kisahnya secara detail dan mendalam, tidak sedikit, orang membacanya dengan penuh emosi, bahkan derai air mata, campur aduk antara kecintaan, kesedihan, dan kemarahan.

Hari di mana beliau gugur kemudian dikenal dengan hari Assyura, hari kesepuluh bulan Muharram. Hari Assyura ini diperingati oleh sebagian umat Islam dengan cara berbeda, baik di kalangan Sunni maupun Syi’ah. Namun, yang paling menonjol “ritual” memperingati hari Asyyura ini banyak dilakukan oleh orang Syi’ah, karena seringkali diwarnai ekspressi “ekstrem” dalam meng-glorifikasi peristiwa Karbala ini.

Hanya saja terkait dengan ziarah ke makam Imam Husein dilakukan oleh kaum muslim lintas madzhab. Mereka datang berziarah, bukan hanya karena fanatisme madzhab, tetapi lebih pada upaya mengekspresikan kecintaan kepada salah satu dzurriyah Rasul atau ahlul bait. Para pencinta ahl al-bait, khusunya Imam Husein, tidak datang dari kelompok tertentu, tapi mayoritas umat Islam pastinya mencintainya. Oleh karena itu, Ahl al-bait adalah milik bersama, sekalipun cara mengekspresikan kecintaannya dengan cara yang variatif.

Selebihnya, sesekali tidak sedikit pelancong asing (non-muslim) yang juga datang untuk sekedar melihat maqam beliau. Dalam narasinya, setelah melalui beberapa kota dari Karbala hingga Dar al-Nashriyyah (Mesir), kepala beliau diselamatkan oleh para pendeta Koptik Mesir (dengan tebusan), sebelum dipulasara oleh kaum muslim dengan semestinya. Karenanya, wajar bila semua umat agama berziarah pula ke makamnya, karena kebaikan dan kesholehan beliau.

Maqamnya berada di komplek pasar tua Khan Khalili, berdampingan dengan salah satu kantor Syeikh al-Azhar dan berseberangan dengan masjid (jami) al-Azhar.

Allâhumma shalli ‘alâ sayyidinâ muhammad wa ‘alâ âihi washahbihi ajma’în.

Dadan Rusmana, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *