Ziarah Ramadan dan Umrah

Ramadhan telah mafhum menjadi bulan penuh rahmat, berkah dan magfirah. Secara leksikal, kata ramadhan berasal dari kata ramadha dan ramadhiyu, masing-masing bermakna panas dan hujan yang terlihat di akhir musim panas. Selanjutnya ramadhan dimaknai sebagai bulan yang membakar dosa-dosa yang dimiliki orang-orang yang berpuasa, serta melalui ramadhan mampu menyapu dan membersihkan debu dan kotoran yang ada pada diri manusia tersebut.

Shaum di bulan ramadhan memiliki banyak keistimewaan untuk dapat kita ziarahi. Mengapa penulis memilih kata menziarahi ramadhan, karena secara bahasa berziarah sama dengan berumrah, sama dengan mendatangi tempat yang telah dimakmurkan. Dan ramadhan adalah bukan sekedar bagian dari bulan dalam sistem penanggalan Islam, lebih dari itu ramadhan menjadi teristimewa, didalamnya ada bulan seribu bulan, segala perbuatan dinilai sebagai ibadah, dan sebagainya, puncaknya shaum di bulan ramadhan menjadi ibadah yang sangat personal, karena hanya Allah-lah yang akan membalas ganjarannya.

Seperti halnya umrah yang kerap kali kita laksanakan, adalah menziarahi tempat-tempat yang telah dikunjungi Rasulallah. Tempat khususnya; raudhah di Masjid Nabawi, Multazam dan Hijr Ismail di Masjidil Haram. Dan bukan hanya mengunjungi tempat-tempat tersebut, namun memaknai dan meneladani perilaku yang telah Rasulallah contohkan dalam ibadah tersebut, dan disitulah akan diuji sejauh mana komitmen penghambaan kita kepada Allah Swt atau ibadah kita yang lebih banyak dengan sikap riya, sombong, takabur serta penyakit hati lainnya.

Shaum pada bulan ramadhan juga kita akan “mengunjungi” ibadah-ibadah yang telah dilaksanakan Rasul. Bagaimana kita diajarkan untuk mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka, melaksanakan shalat tarawih, berlomba-lomba untuk bersedekah dan ibadah lainnya. Namun itu semua akan menjadi artifisial, kurang maknanya, tidak valuable, jika kita hanya melakukan ibadah-ibadah tersebut tanpa pemaknaan atas nilai-nilai shaum itu sendiri, jika kita tidak mampu mengenyahkan sifat kikir kita, ketidakpedulian kita, dan superioritas kita selaku hamba yang diberi banyak kelebihan oleh Allah Swt.

Adalah pada tempatnya melalui shaum di bulan ramadhan, kita bukan saja hadir dengan menahan haus dan dahaga, atau menghitung-hitung amalan yang telah dilakukan, bahkan terlalu berlebihan dalam menyiapkan segala sesuatu untuk kebahagian di idul fitri, tapi kita lupa bahwa ramadhan juga harus kita ziarahi, kita merasakan, meni’mati relung-relung ibadah dengan sangat personal. Kepedulian kita kepada sesama, merasakan dan empati dengan kondisi yang tidak dimiliki orang seperti kita. Dan akhirnya kita akan sampai kefitrahan di akhir ramadhan. Wallahu ‘alam.  []

Dindin Jamaluddin, Pembimbing Umrah dan Haji Plus Qiblat Tour serta Dosen Fak Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung.
 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *