Zakat; Dari Pemberdayaan ke Pengentasan Kemiskinan

Perubahan budaya masyarakat tidak akan terjadi begitu cepat, juga proses transformasi dari masyarakat pra sejahtera ke masyarakat sejahtera memerlukan waktu yang panjang. Menurut Ibnu Khaldun dalam paparan Chapra (Adiwarman, 2007) masyarakat terbentuk dari lima komponen : pemerintah (khilafah) (political authority), Syari’ah, Ummat (people, society), kekayaan (the economy, wealth), pembangunan (development) dan hukum (justice). Kelima komponen itu bergerak dalam siklus kemajuan dan siklus kemunduran. Siklus kemajuan bergerak searah jarum jam dan siklus kemunduran adalah sebaliknya.

Dalam siklus kemunduran  menunjukkan masyarakat muslim mengalami krisis ekonomi yang mengakibatkan pembangunan stagnant, hukum tidak tegak dan kehidupan menjadi anarkis. Jika krisis ekonomi berkelanjutan, maka kekayaan akan menyusut dan berubah menjadi miskin. Akibatnya, pengangguran semakin tinggi, rendahnya kualitas SDM, dan kebodohan merajalela.

Dengan kondisi seperti di atas, maka proses transformasi melalui nilai-nilai Islam di  antaranya melalui pendayagunaan Zakat setidaknya diharapkan dapat merubah siklus kemunduran menjadi siklus kemajuan.

A.  Zakat dan Problem Kemiskinan

Zakat dalam konteks pengalihan kekayaan (transfer of wealth) dikembangkan konsepsinya  berhadapan dengan persoalan-persoalan empiris seperti kelaparan, kebodohan dan kemiskinan. Masalah kelaparan, kebodohan dan kemiskinan di Indonesia sangat menghawatirkan dan mengerikan. data kemiskinan menurut angka kemiskinan  versi BPS berjumlah 22,5 juta sebelum krisis ekonomi, kemudian jumlahnya membengkak menjadi 78, 9 juta. Sementara itu, di Jawa Barat jumlah  orang miskin 14,85 juta terdiri dari 1,19 juta tinggal di Kabupaten Bandung dan 284.000 tinggal di Kotamadya Bandung. Kriteria golongan miskin  berdasarkan ekuivalen nilai tukar beras adalah orang yang pengeluaran rumah tangganya sama dengan  atau di bawah 320 kg/orang/tahun untuk pedesaan, dan 480 kg/orang/tahun untuk perkotaan (Sayogyo).

Adanya kelompok miskin dan kaya disebabkan oleh besar dan kecilnya rizki yang diterima masing-masing. Secara vertikal manusia dapat berbeda dalam tingkat kemampuan teknis maupun kemampuan manajerial. Secara horisontal perbedaan ditentukan oleh kemampuan pada suatu bidang keahlian. Adanya perbedaan dalam kemampuan dan kesempatan dapat diduga sebagai sebab dari perbedaan rizki yang dapat diterima.

Islam memandang masalah kaya miskin perlu di atasi dengan prinsip-prinsip (M.Dawam Rahardjo) :

Pertama, hidup harus saling mengenal dan saling membantu Q.S. al-Hujurat, 13 :

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

 
Q.S. al-maidah,2 : dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

 
Kedua, sesama muslim adalah bersaudara  Q.S. al-Hujurat, 10 : Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.

Ketiga, umat Islam wajib memperhatikan orang miskin Q.S. al-ma’un 1-3: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?Itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

Keempat, Islam mendorong umat untuk beramal dan bersedekah q.S. Saba. 39: Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.

Kelima, setiap muslim wajib membayar zakat Q.S. at-taubah, 103: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikanmereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Atas dasar penjelasan di atas, maka peran zakat sangat penting dalam mengatasi problem kemiskinan. Agar efektif dalam pelaksanaannya, maka pandangan Yusuf Qardhawi patut dipertimbangan, bahwa urusan zakat sebaiknya jangan dikerjakan sendiri oleh muzakki, melainkan dipungut oleh amil/petugas zakat yang telah ditunjuk oleh lembaga atau negara.

Dengan prosedur tersebut di atas, zakat memiliki kesempatan terbuka bagi suatu program pemberantasan kemiskinan secara efektif. Karena zakat dalam sistem nilai Islam sangat akrab dengan konsep ihsan (kebaikan), ta’awwun (tolong-menolong), birr (kebaikan), amar ma’ruf nahyi munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran), dan ukhuwah (persaudaraan). Zakat terkait dengan tiga dimensi : pertama dimensi moral-psikologis, zakat diharapkan dapat mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya yang memiliki kecenderungan cinta harta. Kedua, dimensi sosial, zakat dikonsepsikan dapat menghapus taraf kemiskinan masyarakat. Ketiga, dimensi ekonomi, zakat difungsikan  untuk mencegah penumpukan harta pada sebagian kecil orang dan mempersempit kesenjangan  ekonomi dalam masyarakat, sesuai dengan Q.S. al-Hasyr: 7 :

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

Pada tataran pelaksanaannya, signifikansi sosial-ekonomi zakat belum memenuhi harapan  dan idealitas struktural mengatasi masalah kemiskinan. Namun, signifikansinya masih berputar di sekitar kasus-kasus tertentu dalam skala kecil saja, belum komprehensif. Oleh karena itu, jargon “zakat dapat mengatasi kemiskinan”  dapat direalisasikan jika memenuhi prinsip-prinsip nilai Islam dan sinergis dengan skill dalam manajemen kelembagaan.

B. Peran lembaga ZIS : dari pemberdayaan ke Pengentasan

Salah satu sifat yang melekat pada diri Rasulullah saw. adalah sifat fathanah (cerdas). Kecerdasan rasulullah sudah diakui dan diyakini oleh seluruh umat Islam. Kecerdasan Rasulullah telah membuktikan pencapaian da’wah Islam yang dimaknai sebagai keberhasilan global (rahmatan lil alamin). Kecerdasan Rasulullah patut diteladani dalam konteks sekarang. Kecerdasan dalam mengelola suatu lembaga ZIS mutlak diperlukan, dan kecerdasan yang diperlukan oleh amil untuk suatu  tugas pendayagunaan ZIS menjadi cerita menarik.

Kecerdasan sangat dibutuhkan oleh amil untuk mewujudkan ide-ide segar, ditopang oleh kreativitas dan inovasi. Kedua aspek tersebut diperlukan guna menemukan kekuatan positif. Upaya mendayagunakan dana ZIS merupakan langkah strategis dan menjadi garda depan dalam mengimplementasikan salah satu visi LAZ yaitu profesional. Profesional berarti kemampuan (competence) hasil dari akumulasi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), bisa melakukan (ability) yang dilengkapi dengan pengalaman (experience).

Kemampuan profesional dalam mendayagunakan dana zis, artinya bagaimana upaya mendayagunakan menjadi suatu kenyataan dalam bentuk amal shalih, “…barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (Q.S. al-kahfi:110), sehingga para amil bertindak sebagai orang-orang yang mampu membuat sesuatu menjadi kenyataan (they, who make thing happened). para amil mesti berangkat dari pemikiran outside in (dari luar ke dalam) dari pada pemikiran inside out (dari dalam ke luar). Jadi, langkah strategis yang dapat dilakukan adalah memulai untuk mengidentifikasi problem mendasar (problem root) umat Islam. Penemuan akar masalah paling tidak dapat dicapai melalui kemampuan diri semacam “radar” untuk melihat trend kebutuhan mendasar masyarakat, yang kemudian diartikulasikan menjadi suatu produk yang mampu memenuhi harapan dan menyelesaikan masalah. Dengan demikian, upaya mendayagunakan dana ZIS mesti melahirkan nilai (value) yang bermanfaat yaitu berdaya dan berguna.

Setelah akar masalah ditemukan, maka strategi pendayagunaan dibangun melalui kreativitas dan inovasi. Kemampuan untuk melahirkan kreativitas dan inovasi akan menghasilkan kinerja yang baik. Kinerja yang baik  akan menghasilkan produktivitas yang baik di mana ia merupakan tujuan dari PZU. Produktivitas yang baik dari lembaga ZIS akan menghasilkan citra yang baik atas LAZ. Citra yang baik akan menumbuhkembangkan dukungan stakeholder pada LAZ.

Pencitraan positif LAZ memotivasi dan mendorong kita untuk merubah pola pendayagunaan dana ZIS dari produk-produk non populis  sebagai andalan keunggulannya, menjadi  produk populis sebagai manifestasi kreativitas dan inovatif dalam bentuk pilot project seperti rogram yang sudah digulirkan yaitu program ar-Ruhama, bedah kampung, paket pendidikan dan kios cerdas. Hasilnya, produk populis dapat dijadikan sebagai daya tawar yang menarik. Karena itu dalam perkembangan ke depan keunggulan LAZ harus diorientasikan pada sistem manajemen yang profesional, SDM dan profil personalia yang handal, serta servis delivery-nya yang excellent. Dengan kata lain LAZ bukan hanya berarti menjalankan sistem pengumpulan, pendistribusian ZIS semata tetapi mulai meningkat pada sisi pendayagunaan dana yang tepat sasaran, sesuai kebutuhan dan berkelanjutan (sustainable)  yang benar-benar berlandaskan syari`ah dan profesional.

Konsep pemberdayaan dana ZIS di LAZ di masa mendatang sekaligus langkah-langkah konkrit perlu segera dilakukan. Secara konseptual,  pendayagunaan terdiri dari dua kata yaitu: kata “daya”  berarti  power, energy, dan capacity. Daya mengisyaratkan kekuatan atau tenaga untuk menggerakkan. Sementara daya guna berarti daya kerja yang mendatangkan hasil yang sebanyak-banyaknya yang bermanfaat (using, efficiency, usefulness). Dengan demikian program pendayagunaan berarti program yang diberikan (peruntukan) untuk dimanfaatkan secara produktif dan untuk kesejahteraan masyarakat.

Untuk mewujudkan program pendayagunaan dana ZIS maka langkah Pertama, Menjadikan LAZ sebagai amil zakat yang memiliki kekuatan penggerak untuk menyelamatkan ibadah umat dan penggerak untuk meningkatkan kesadaran berzakat (pasal 4). Kedua, Menjadikan LAZ sebagai fasilitator dan ujung tombak penggerak ekonomi sektor real dengan menumbuhkan dan mengembangkan usaha kecil masyarakat bawah melalui perannya sebagai sumber permodalan yang mudah, sehingga ia dapat dijadikan sebagai tempat bagi proses akumulasi modal dari kalangan masyarakat bawah. Di sini jargon small but professional penting dijadikan sebagai dasar pijakan. Ketiga, Membangun jaringan (networking) baik secara horizontal –dengan sesama LAZ dan lembaga-lembaga perekonomian lain– maupun secara vertikal dengan menjalin hubungan kemitraan (partnership) dengan lembaga-lembaga yang besar dan mapan, sebagai alternatif bagi pembinaan permodalan, manajemen dan SDM sekaligus berdasarkan prinsip kerjasama saling menguntungkan.

Prosedur pendayagunaan dilaksanakan untuk meningkatkan ekonomi kerakyatan, kesehatan, bencana alam dan bantuan yang langsung baik konsumtif maupun produktif. Di sinilah siklus pendayagunaan zis dapat diupayakan  sebagai berikut : pertama, Bantuan langsung (BL) yang terdiri dari : bantuan bersifat konsumtif yaitu diberikan bantuan kepada mustahik yang habis dipakai. Bantuan bersifat produktif yaitu bantuan yang diberikan kepada mustahik yang dapat habis dan tidak mempunyai kewajiban untuk mengembalikannya. Bantuan tersebut diharapkan dapat merubah posisi mustahik menjadi muzakki dan untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Kedua, bantuan tidak langsung (BTL) yaitu bantuan diberikan kepada mustahik dengan kewajiban mengembalikan atau sebagai dana abadi milik LAZ yang ada pada mustahik. Bantuan tersebut untuk pemberdayaan ekonomi lemah bersifat utang atau penyertaan. Kemudian bantuan diberikan kelompok investasi (penyertaan) yang bersifat murni.

Agar proses dan prosedur pendayagunaan di atas kiranya dapat direalisasikan maka tidaklah memadai dengan kekuatan akhlak (the power of akhlak) yaitu sidiq dan amanah saja. Namun, dibutuhkan kecerdasan (fathanah), yang dilengkapi faktor penunjang lainnya seperti kecerdasan berkomunikasi (tabligh) untuk mengefektifkan pendayagunaan ZIS dan mengartikulasikan dukungan semua pihak sebagai kekuatan untuk mencapai keberhasilan proses tersebut.[]

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter