Yuk Kenali 5 Tokoh Tafsir di Dunia Islam Asal Indonesia. Coba Tebak Ada Siapa Aja!

(UINSGD.AC.ID) — Dinamika perkembangan tafsir di Indonesia cukup variatif. Hal tersebut dapat terjadi karena tafsir merupakan hasil ide, gagasan, karya, dan kreasi manusia yang terus berkembang dari zaman ke zaman.

Penafsiran ayat Al-Qur’an dilakukan sebagai upaya memahami pesan Tuhan baik berupa nilai moral maupun nilai etika Islam untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ulama di Indonesia pun berlomba-lomba membuat karya tafsir. Hasil dari penafsirannya beragam, ada yang menggunakan bahasa nasional (Bahasa Indonesia) dan ada pula yang menggunakan bahasa daerah seperti Bahasa Melayu, Jawa, Sunda, dan lainnya.

Tak hanya bahasa, setiap karya tafsir mempunyai ciri khas corak penafsiran yang berbeda. Akan tetapi, di era modern ini banyak orang yang masih asing terhadap kitab tafsir.

Oleh karena itu, untuk menambah wawasan mengenai penafsiran Al-Qur’an, berikut cendekiawan muslim Indonesia di era modern beserta karya tafsirnya:



1. Shaleh Darat (Tafsir Faidh ar-Rahman)

Mempunyai nama lengkap Muhammad Shaleh bin Umar as-Samarani, atau yang kerap disapa Mbah Kiai Hj. Shaleh Darat. Ia merupakan seorang ulama yang hidup pada akhir abad ke-19.

Lahir di Kedung Jemplung Kec. Mayong Kab. Jepara pada tahun 1235 H/1820 M dan wafat pada hari Jumat, 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M serta dimakamkan di pemakaman umum Bergota Semarang.

Mendalami ilmu agama sejak kecil dibimbing oleh sang ayah yaitu Kiai Umar bin Tasmin. Shaleh Darat juga berguru dengan sejumlah Kiai yang ada di Pantai Utara Jawa, bahkan sampai menuntut ilmu ke Haramain. Dengan kemampuannya, beliau telah berjasa dalam penyebaran Islam di Pantai Utara Jawa. Shaleh Darat banyak berkiprah di masyarakat dengan berdakwah, baik secara lisan maupun lewat goresan tintanya.

Salah satu karya Shaleh Darat adalah tafsir Faidh ar-Rahman. Dalam penulisan tafsirnya Shaleh Darat menggunakan aksara pegon. Pegon merupakan teks berbahasa jawa yang ditulis dalam huruf atau aksara Arab (hijaiyah). Menggunakan Bahasa Jawa yang sehari-hari dipakai maka tafsir ini mudah dimengerti dan diterima oleh masyarakat khususnya Jawa. Corak penafsiran yang digunakan Shaleh Darat adalah corak fiqh dan tasawuf.



2. Nawawi al-Bantani (Tafsir Marah Labid)

Nawawi bin Umar bin ‘Arabi adalah nama asli dari Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Lahir di Desa Tanara, Tirtayasa, Serang, Banten pada tahun 1230 H/1813 M. Syekh Nawawi mulai belajar ke Mekkah sejak usia 15 tahun.

Setelah menghabiskan waktu puluhan tahun belajar di Mekkah Syekh Nawawi kembali ke Tanara, Banten. Keahliannya selama belajar di Mekkah, ia sebarkan kepada masyarakat Jawa di berbagai kalangan.

Dalam berdakwah pun banyak rintangan yang dialaminya, salah satunya Syekh Nawawi selalu diawasi dan diberikan hambatan besar oleh kolonial Belanda. Hal tersebut tentu saja membuat Syekh Nawawi merasa tidak nyaman berada di Indonesia. Tidak lama kemudian, Syekh Nawawi memutuskan untuk kembali belajar ke Mekkah.

Karya Syekh Nawawi di bidang tafsir adalah melahirkan Tafsir Marah Labid li Kasyfi Ma’na Qur’an Majid yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab. Tafsir ini menggunakan sistem penulisan yang lebih modern untuk menghiasi perkembangan tafsir di dunia Islam pada abad ke-19. Corak yang digunakan dalam tafsir Marah Labid adalah corak penafsiran fiqh dan tasawuf.



3. Buya Hamka (Tafsir al-Azhar)

Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Hamka dilahirkan di Tanah Sirah Desa Sungai Batang di Tepi Danau Maninjau Sumatra Barat pada tanggal 16 Februari 1908 M/14 Muharram 1326 H.

Ia dikenal sebagai tokoh Islam Indonesia, pemimpin, pujangga, pengarang, sejarawan, dan pendidik yang mempunyai jasa besar bagi perkembangan khazanah keilmuan khususnya dunia Islam yang ada di Indonesia.

Beberapa anugerah tingkat nasional dan internasional yang pernah diterima oleh Hamka yaitu anugerah kehormatan Ustadziyyah Fakhriyyah (Doctor Honoris Causa) dari Universitas al-Azhar (1958), dalam rangka penghormatan untuk perjuangannya terhadap syi’ar Islam dan dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974, dalam rangka pengabdiannya mengembangkan kesusasteraan, serta penghargaan lainnya.

Karyanya dalam bidang tafsir yaitu tafsir al-Azhar. Dinamakan al-Azhar karena serupa dengan nama masjid yang didirikan di tanah halamannya, Kebayoran Baru. Nama ini merupakan ide dari Syaikh Mahmud Syalthuth dengan harapan agar benih keilmuan dan pengaruh intelektual dapat tumbuh di Indonesia. Tafsir ini merupakan pencapaian dan sumbangan terbesar Hamka dalam membangun pemikiran dan peradaban ilmu yang bisa melahirkan sejarah penting untuk perkembangan tafsir di Nusantara.

Corak yang mendominasi tafsir al-Azhar adalah adab al-ijtimai. Keindahan Bahasa Melayu disajikan berdasarkan konteks sosial kemasyarakatan saat itu. Hal ini dilakukan agar mudah dibaca dan dipahami oleh masyarakat Indonesia.



4. Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah)

Lahir di Rappang Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944 dengan nama lengkap Muhammad Quraish Shihab. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Benih-benih kecintaannya kepada Al-Qur’an mulai tumbuh sejak dini.

Tahun 1958, ia berangkat ke Kairo Mesir untuk mengenyam pendidikan di sana. Ia menjadi orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doktor dalam ilmu Al-Qur’an di Universitas Al-Azhar.

Setelah kembali di Indonesia, dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan antara lain Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII tahun 1998, dan lainnya.

Salah satu karyanya yang sangat terkenal saat ini adalah tafsir al-Misbah. Latar belakang lahirnya tafsir ini adalah untuk membumikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Bagi Quraish Shihab Al-Qur’an tidak hanya bacaan belaka, akan tetapi bacaan tersebut hendaknya disertai dengan kesadaran akan keagungan, pemahaman, dan penghayatan yang dapat melahirkan sikap tazakkur dan tadabbur.

Karya tafsir ini menggunakan bahasa Indonesia yang lugas sehingga secara mudah dapat dipahami oleh masyarakat. Corak penafsiran yang digunakan dalam tafsir al-Misbah adalah lughawi dan adab al-ijtimai.



5. Moh E. Hasim (Tafsir Ayat Suci Lenyepaneun)

Mohammad Emon Hasim dilahirkan di Kampung Bangbayung Kidul, Desa Cieurih, Kecamatan Cipaku, Kawali, Ciamis Jawa Barat pada tanggal 15 Agustus 1916. Moh E. Hasim dikenal sebagai guru, penulis tafsir, dan sosok yang baik serta bijaksana.

Hasil dari masa belajarnya baik dari pendidikan formal dan informal Moh E. Hasim berhasil membuahkan beberapa karya, salah satunya yaitu Tafsir Ayat Suci Lenyepaneun.

Tafsir ini menggunakan Bahasa Sunda agar mudah dipahami dan diterima orang sunda. Latar belakang lahirnya tafsir ini adalah keinginannya untuk memelihara Bahasa Sunda, dorongan untuk mempelajari ilmu agama lebih dalam dan menyampaikan pesan Al-Qur’an yang didapat kepada masyarakat.

Menggunakan corak adab al-ijtimai dalam penafsirannya, Hasim memberi ilustrasi peristiwa di masyarakat yang relevan dengan ayat sehingga terasa lebih aktual dan populer pada masanya.

Demikian 5 tokoh tafsir di dunia Islam yang berasal dari Indonesia dan perlu untuk kita ketahui. Informasi ini dapat digunakan sebagai referensi untuk kita yang mempunyai keinginan mempelajari kitab tafsir. (Iqrimatunnaya/Kontributor)

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *