“Wisdom” Kekuasaan

Hingar bingar 2014 sebagai tahun politik dapat dijadikan pula sebagai momentum merenungkan kembali the ultimate goal dari kekuasaan itu sendiri, yaitu mewujudkan wisdom atau kebijaksanaan bagi umat manusia. Sebuah ungkapan mendalam tentang hal ini disampaikan dalam sebuah formula dasar jurisprudensi Islam (baca: Ushul Fiqih). Ungkapan itu berbunyi tasharruful-imam `alar-ra`iyyah manuthun bil-mashlahah. Formula ini kurang lebih menjelaskan bahwa kekuasaan berbanding lurus dengan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi manusia/rakyat.

Bila diperhatikan secara seksama, kata dalam bahasa Arab yang menunjukkan kekuasaan beserta rangkaiannya semuanya mengindikasikan wisdom kekuasaan itu sendiri. Siyasah/politik didefiniskan oleh kamus Lisanul-Arab dengan “mengatur atau memimpin sesuatu untuk mencapai kemaslahatan”. Sulthah/kekuasaan atau sulthan/penguasa oleh kamus yang sama diartikan sebagai penerang atau hujah Allah di muka bumi. Khilafah atau khalifah mempunyai arti—di antaranya—menggantikan peran-peran nabi dalam menegakkan aturan di bumi. Al-Hukumah (pemerintahan) atau hakim (yang memerintah) mempunyai arti memutuskan, mengadili, menetapkan, menghukum, dan mengendalikan. Imamah-imam/ri’asah-ra’is/kepemimpinan berarti berada di depan dan di atas menjadi teladan atau menjadi rujukan kebaikan. Imarah (pemerintahan) atau amir (yang memerintah) mempunyai arti memutuskan dan memerintahkan, tentunya sesuatu yang positif. Al-Qiyadah (kepemimpinan) atau qa’id (pemimpin) mempunyai arti menuntun dan mengendalikan. Kata ra’in (pemimpin) memiliki makna bahwa seorang pemimpin laksana seorang penggembala yang mendampingi, mengawasi, dan memperhatikan gembalaannya setiap saat.

Logika kemaslahatan sebagai wisdom kekuasaan dapat dipahami manakala kita melihat bahwa agama memandang penting menjaga dan melestarikan kebutuhan-kebutuhan dasar yang karenanya tatanan sosial, budaya, dan ekonomi dapat terus berjalan dengan baik. Untuk alasan kemaslahatan inilah kenapa sebuah kepemimpinan politik mendapat justifikasi dari agama. Alur berpikirnya demikian: Mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman bagi orang sebanyak-banyaknya hukumnya wajib, tetapi hal itu tidak akan terwujud tanpa ada sebuah kekuasaan politik, maka menegakkan kepemimpinan atau mengangkat seorang pemimpin politik hukumnya wajib. Atau dengan alur berpikir lain: Menjamin kebebasan menjalankan keyakinan agama merupakan sebuah keniscayaan. Hal itu bisa terealisir jika ada kekuasaan, maka memilih pemimpin politik merupakan sebuah keniscayaan.

Dalam beberapa literatur ketatanegaraan berbahasa Arab juga dijumpai logika kemaslahatan kenapa kepemimpinan politik perlu ditegakkan. Kitab Tahdzib ar-Riyasah  wa Tartib as-Siyasah yang ditulis al-Qala`i, umpamanya, menjelaskan bahwa kemaslahatan yang dimaksud adalah demi tetap tegaknya tonggak agama dan dunia, mengelola keragaman, berpihak kepada orang-orang lemah, dan menciptakan keamanan. Atau, lebih simpel Al-Mawardi—pemikir politik Islam—menggambarkan bahwa kemaslahatan yang dimaksud adalah harasatud-din (memelihara agama) dan siyasatud-dunya (mengelola dunia). Dari sini dapat ditangkap bahwa agama dan politik tidak seharusnya dipertentangkan, tetapi dipadukan dan dijalankan secara beriringan.

Hubungan antara kekuasaan dengan kemaslahatan tak luput pula dari perbincangan Filsafat Yunani. Konsep “Negara Utupia” yang digagas Plato, misalnya, pada dasarnya adalah konsep kekuasaan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan rakyat seperti makanan dan pakaian. Filosof Yunani lainnya, Aristoteles, mengaitkan politik dengan etika. Dalam bukunya, Nicomachean Ethich, ia menegaskan bahwa kebaikan berkait dengan perorangan dan negara. Jelas pula bahwa pencapaian negara yang baik adalah sesuatu yang paling agung dan sempurna. Kebaikan patut dicintai hatta seandainya ia tidak berrelasi dengan sesuatu. Kebaikan semakin indah dan suci ketika berrelasi dengan manusia, apalagi ketika berrelasi secara sempurna dengan penguasa (Ali Abdul Mu`ti, 1998).

Karena tujuan-tujuan mulia ini pulalah agama menyematkan kalung pujian kepada politik dan kekuasaan, serta memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada pemegang kekuasaan yang dapat mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Sebaliknya, agama mencela habis-habisan pemegang kekuasaan yang menelantarkan rakyatnya dan tidak dapat mewujudkan tujuan-tujuan mulia tersebut. Sebuah hadis Nabi bertutur, “Manusia paling dekat dengan Allah dan paling dicintai oleh-Nya adalah pemimpin yang adil. Manusia paling jauh dengan Allah, paling dibenci oleh-Nya, dan paling pedih siksaannya adalah pemimpin yang zalim.”

Mewujudkan tujuan-tujuan mulia kekuasaan tidaklah mudah. Itu sebabnya, dibutuhkan pemimpin kuat yang memenuhi kriteria-kriteria unggul dan prima. Dalam Alquran, pemimpin yang demikian diistilahkan dengan al-qawiyyil-amin (kuat dan dapat dipercaya).  Siapa dia? Al-Mawardi menjelaskan ia adalah pemimpin yang lembut, paham persoalan hukum, berani, menjauhkan diri dari hal-hal yang harus dijauhi, memperhatikan kehormatan diri, adil, jujur, pandai menyimpan rahasia, memenuhi janji, mengetahui malapetaka yang akan menimpa, dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Bagi Plato, pemimpin yang ideal harus memiliki sifat-sifat fitrah, di antaranya harus memiliki tendensi terhadap filsafat, mencintai ilmu pengetahuan, menyayangi sahabat, dan keras terhadap musuh. Menurutnya, pemimpin yang memiliki daya pikir yang mendalam dan jauh ke depanlah yang cakap memegang kekuasaan politik (Ali Abdul Mu`ti, 1998).

Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara ideal) dalam konsepsi Alquran, atau Negara Utopia dalam konsepsi Plato, atau Negara Utama dalam kosepsi al-Farabi adalah gambaran sebuah kekuasaan yang dapat merealisasikan wisdom kekuasaan. Sebenarnya, Alquran telah merujuk beberapa model negara ideal tersebut, di antaranya adalah Kerajaan Saba’. Dalam konteks kerajaan tersebut, Alquran memberikan gambaran kesejahteraan dengan simbol dua kebun atau surga (jannah). Kebun adalah simbol kekayaan sandang-pangan dan ketentraman bagi pemiliknya. Surga adalah gambaran serba menentramkan dan menyenangkan. Siapa pun mendambakan memiliki kebun dan berada dalam surga dunia. Tahun politik ini semoga menghasilkan para pemimpin yang dapat menjadikan negara ideal dan yang diimpikan Plato di atas menjadi kenyataan. []

Rosihon Anwar, Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 24 April 2014.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *