[www.uinsgd.ac.id] Fenomena kampanye politik sudah lumrah dan menjadi sebuah tradisi ‘demokrasi’ yang ramai terjadi di berbagai daerah. Terlebih jika musim pemilu menghampiri intensitas kerlap-kerlipnya gemerlap kampanye politik seakan tak mungkin lepas dari jangkauan setiap masyarakat di berbagai daerah. Berbagai kekuatan politik dengan bermacam-macam ideologi saling mencari muka untuk mendongkrak elektabilitas kekuatan politiknya.
Namun sayangnya tidak setiap kesempatan kampanye bisa dioptimalisasi oleh kekuatan-kekuatan politik tersebut, terbukti dengan masih populernya model kampanye politik yang konvensional dan cenderug pragmatis. Para pemain politik lebih cenderung berorientasi pada (popularitas) mereka daripada berorientasi terhadap sosialisasi visi dan misi serta ideologi mereka.
Di setiap sudut Kota hingga pinggiran daerah hampir bisa dipastikan bahwa masyarakat akan menjumpai wajah-wajah para pemain politik yang terpampang dalam spanduk, baligho, pamflet, kaos, dll. Semua itu dilakukan demi satu tujuan yaitu, mendapatkan simpati masa.
Sebenarnya model kampanye tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, model kampanye tersebut juga sering dijumpai di berbagai Negara lainnya. Namun dalam beberapa kasus di negara-negara maju, para pemain politiknya menggunakan model tersebut dalam konsep yang lebih tertata rapi dan terpusat. Meskipun model kampanye pragmatis ini terkesan kurang mendidik.
Secara psikis, masyarakat dipaksa untuk melihat simbol-simbol politik yang sama dan berulang-ulang, sehingga simbol-simbol tersebut dapat dengan cepat dikenali masyarakat. Betty Tresnawaty, Dosen Psikologi Komunikasi UIN SGD Berkomentar “Metode Komunikasi tersebut dikenal dengan istilah repetisi, dan disini tujuan mereka (para pemain politik) adalah untuk memperkenakan diri kepada masyarakat”. Selasa (19/2).
Ia juga mengatakan bahwa model kampanye seperti itu lebih cocok jika digunakan di pedesaan, karena karakteristik masyarakatnya yang lebih tertarik membaca simbol-simbol visual, berbanding terbalik dengan masyarakat diperkotaan yang cenderung lebih kosmopolis.
Selain itu, metode komunikasi seperti itu tidak berlaku bagi semua kalangan masyarakat, dikarenakan tingkat kecerdasan masyarakat yang bervariasi. Ditambah pula ada beberapa faktor lainnya yang turut mempengaruhi kepekaan masyarakat.
Alih-alih mendapatkan simpati masyarakat, justru model kampanye tersebut malah mendatangkan antipati, “Sebenernya saya kurang setuju dengan model kampanye seperti itu, karena selain pemborosan, mengganggu pemandangan juga.” Ujar Hakim Baihaqi, salah satu Mahasiswa UIN SGD Semester 2, Senin (18/2) .
Akan tetapi, pada kenyataannya model kampanye pragmatis ini masih menjadi salah satu alternatif paling populer dikalangan pemain politik. Indira Rahmawaty, Dosen Ilmu Politik UIN SGD turut membenarkan “Model ini masih populer karena biaya yang lebih murah daripada kampanye melalui iklan di tv, yang selain harganya mahal dan temponya juga sebentar.” Jumat (22/2).
Menurutnya efektifitasnya, suatu model kampanye dapat diukur berdasarkan orientasi dari kampanye tersebut. Dalam kasus ini para pemain politik cenderung berhasil dalam mengkampanyekan (popularitas) mereka. Tapi disisi lain, dianggap gagal jika dinilai dari perspektif orientasi produk (program) dan orientasi ideologi politik.
Tingkat kecerdasan masyarakat yang bertambah turut menurunkan tingkat relevansi model kampanye pragmatis ini, masyarakat hari ini sudah jenuh dengan wajah-wajah hampa dan slogan-slogan statis para pemain politik, mereka kini lebih tertarik dengan pemaparan visi dan misi serta ideologi para pemain politik.
Memang disatu sisi model kampanye seperti itu bisa menjadi ladang profit bagi sebagian pihak (percetakan misalnya). Namun disisi lain, model kampanye ini lebih banyak mengundang kontroversi dengan pemborosan biaya dan unsur-unsur vandalisme ruang publik. “Dengan adanya kampanye pragmatis ini, semakin menunjukkan bahwa politik dalam demokrasi itu mahal.” Tegasnya.
Ia juga meghimbau agar para pemain politik lebih mengedepankan model kampanye yang berorientasi ideologi, dan mengajak masyarakat agar tidak apatis serta lebih cerdas dalam memilih suara politiknya.***[SuakaOnline, ed. Dudi]