Iranian Corner Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung bekerjasama dengan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) menggelar Seminar Internasional bertajuk “Kebangkitan Perempuan untuk Menurunkan Index Ketimpangan Gender: Perbandingan Indonesia dengan Iran” yang digelar di gedung Rachmat Djatnika, Rabu (18/12/2019).
Seminar Internasional ini menghadirkan narasumber: Agha Mehrdad Rakhshandeh Yazdi Ph.D., Atase Kebudayaan Kedutaan Republik Islam Iran; Dr. Akmaliyah, M.Ag, Ketua PSGA; Dr. Dina Yulianti, M.Si., Direktur Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES).
Dr. Dodo Widarda, S.Ag., M.Hum, Direktur Iranian Corner FU, menjelaskan titik tolak pengambilan tema ini adalah peran sentral perempuan bagi kehidupan kedua bangsa untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar bagi kehidupan masyarakat. “Indonesia, sebagimana Iran, kini sedang berada dalam sebuah transformasi besar-besaran untuk menuju tatanan kehidupan yang lebih baik, mulia, beradab di tengah lingkung pergaulan bangsa-bangsa,” paparnya.
Menurutnya, di tengah proses transformasi itu gerakan perempuan memiliki peran yang sangat luar biasa untuk mengisi berbagai sektor kehidupan, baik domestik maupun publik. “Kini, di kedua negara, terbuka peluang bagi perempuan untuk mengisi sektor publik apapun, untuk jadi anggota parlemen, saintis, artis, olahragawati, pilot, dokter, dan lain-lain”, lanjutnya.
Bagi Agha Mehrdad Rakhshandeh Yazdi Ph.D., tema yang diangkat ini merupakan sebuah tema yang sangat penting. “Dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM), baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran sangat penting. Isu gender juga sekarang menjadi isu yang bersifat global, tidak menjadi milik satu masyarakat atau bangsa saja,” tegasnya.
Agha Mehrdad menegaskan dari world view Islam, agama ini menekankan kedudukan istimewa perempuan sebagai ibu rumah tangga. Tugas terpenting perempuan adalah mendidik anak. “Inilah yang membuat negara seperti Iran akan selalu diposisikan berada pada kedudukan yang lebih rendah dari negara-negara Barat, karena parameter serta cara pandang yang berbeda menyangkut peran perempuan. Di Barat, perempuan akan dinilai tinggi kedudukannya dari peran publik mereka di masyarakat,” tuturnya.
Mengenai revolusi Islam Iran sangat berperan besar dalam kemajuan peran perempuan di Iran. “Kontras antara kehidupan kaum wanita di Iran sebelum dan sesudah terjadinya revolusi tahun 1979, terutama pada peluang dan akses kaum wanita di sektor pendidikan dan pemerintahan. Setelah revolusi, walau tetap menjadikan keluarga nomor satu, banyak sekali perempuan Iran yang terjun ke dalam bidang pendidikan, bidang seni, kedokteran, ilmuwan, di kursi parlemen pemerintahan, bidang sinema, dan juga bidang olah raga dengan munculnya banyak atlet wanita berprestasi,” tandasnya.
Untuk konteks Indonesia, Dr. Akmaliyah, M.Ag. memberikan perbandingan. Komitmen Indonesia dalam upaya meningkatkan kesetaraan gender adalah melalui konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang diadopsi dalam sistem hukum nasional melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1984. “Maka konsekuensinya, pemerintah dan masyarakat Indonesia (komponen ormas perempuan, LSM, dll) bersama-sama harus berusaha merealisasikan konvensi tersebut sebaik mungkin, atau untuk menurunkan tingkat ketimpangan gender, di berbagai aspek, termasuk pendidikan, sesuai kultur bangsa Indonesia”, tuturnya.
Dr. Dina Yulianti, M.Si., menyampaikan prinsip utama yang dipegang oleh Republik Islam Iran. Tugas dan peran utama perempuan adalah membangun keluarga. “Hal ini merupakan pondasi sebuah masyarakat adalah prinsip yang akan menghindarkan kaum perempuan Iran terjebak dalam indikator-indikator semua kemajuan perempuan. Berdasarkan UUD Iran keluarga adalah unit dasar dalam masyarakat serta menjadi pusat pertumbuhan dan perkembagan manusia”, ujarnya.
Ihwal kewajiban pemerintah Islam untuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan ini. “Fakta di Iran, walaupun tugas utama perempuan adalah membangun keluarga, berdasarkan penelitian UNDP, indeks ketimpangan gendernya lebih rendah jika dibanding negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lain, seperti Indonesia, Bangladesh, serta Pakistan,” paparnya.
Dekan FU, Dr. Wahyudin Darmalaksana, M.Ag melalui telfon menyampaikam pihak fakultas sangat mengapresiasi ikhtiar Iranian Corner FU dalam menciptakan kultur akademik di lingkungan UIN SGD Bandung.
Baginya, isu gender diprediksi terus menghangat di dunia global untuk beberapa tahun ke depan. “Ini akibat masih adanya permasalahan gender di pelbagai negara, sehingga dibutuhkan peran serta akademisi global dalam pemecahan masalah tentang indeks ketimpangan gender, khususnya yang ada di Indonesia dan Iran,” pungkasnya.
Sumber, Klik Warta 19 Desember 2019