Umrah Ladang Kebaikan

Dalam simpulan para ulama, Ibadah umrah adalah perjalan ketaatan untuk bertamu dan bertemu dengan Allah. Disimpulkan demikian, karena ada sejumlah tangga dan aturan tertentu yang harus dipatuhi. Ada yang dirukunkan, diwajibkan, disunnahkan dan ada yang difadilahkan. Dalam sejumlah aturan perjalan itu, terdapat nilai, filosofi, dan ragam kebaikan. Diantara ragam kebaikan yang akan didapatkan oleh jamaah umrah adalah spirit perubahan dan spirit menjadi. Dalam spirit ini, ada dinamika, kedalaman analisa, kejernihan pemikiran, rasa syukur, inovasi dan ada penghargaan terhadap proses. Melalui spirit ini, yang muncul bukan kegandrungan pada gembyar lahir tetapi keheningan suasana batin.

Filosofi dan nilai kebaikan dalam ibadah umrah menjadi signifikan dimiiki di tengah masyarakat Indonesia hari ini berada dalam kepungan media sosial yang berimplikasi pada munculnya fenomena mediokritas. Sebuah fenomena yang berakar pada apa yang disebut Frank Furedi (2004) sebagaimana dikutif Yudi Latif (201:85) sebagai “the cult of philitism”, yakni pemujaan berlebihan terhadap kedangkalan ragam kepentingan material yang praksis. Dalam fenomena ini, lazimnya masyarakat; sangat betah tingal di zona nyaman, dangkal analisa, miskin kreativitas dan inovasi, namun kaya keluhan dan hasrat-hasrat instan.

Betah tinggal di zona nyaman sesungguhnya amat berbahaya, zona ini akan menarik seluruh potensi diri untuk pasif, tidak perlu aktif, dan kreatif dalam menghadapi tantangan. Suatu zona yang mengkondisikan diri aman, nyaman, rileks dengan apa yang telah diraih, padahal sesungguhnya sebuah zona jebakan. Diantara jebakannya; hilangnya pertumbuhan kebaikan, hilangnya kekebalan dalam menghadapi masalah dan kesulitan, hilangnya pola pikir yang positif, dan hilangnya “spirit menjadi”.

Berikutnya, dangkalnya analisa. Dalam metafor kritikus media, masyarakat kita ibarat sumbu pendek, dimana tanpa kapilaritas yang memadai sangat mudah terbakar. Sumbu pendek kemudian menjadi istilah populer yang menggambarkan mentalitas pribadi yang mudah tersulut isu dan termakan hasutan tanpa mencari tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Dalam mentalitas ini yang sering diutamakan adalah logika kekuatan bukan kekuatan logika. Kedalaman analisa seringkali dihindari namun kedangkalan justeru disuarakan.

Yang tak kalah berbahaya, adalah fenomena miskinnya kreativitas dan inovasi. Kreatifitas dan inovasi sesungguhnya merupakan rumus keberhasilan hidup. Dengan kreativitas dan inovasi, selain ada dinamika positif juga akan terbangun “spirit menjadi”. Menjadi lebih baik, menjadi lebih bermanfaat, menjadi lebih mudah, mejadi lebih bermakna, menjadi lebih bahagia, adalah sederet dinamika lainnya yang lahir dari torehan jiwa-jiwa kreatif dan inovatif.

Fenomena mediokritas berikutnya, adalah “tiada hari tanpa keluhan”, Dalam mentalitas ini, ketika berhadapan dengan masalah, tidak ada perjalanan ke dalam diri, untuk belajar tulus dan jujur melakukan introsfeksi, kemudian belajar beradaftasi untuk mengurai masalah secara bijak. Namun yang yang muncul justeru sebaliknya; segera mencari kesalahan orang lain, lalu menghujat dan menjatuhkan ragam vonis yang sadis pada sumber masalah.

Tidak hanya itu, dalam kepungan mediokritas, manusia kini kerap kali ditaburi hasrat-hasrat instan. Megambil jalan pintas, menerobos jalan by pass, menyunat anggaran, menggunting dalam lipatan, membunuh karakter orang lain, menjadi warna yang kontras dan dilazimkan. Dengan hasrat instan, banyak diantara kita yang langsung ingin loncat pada hasil akhir ketimbang meniti tangga perjalanan secara bertahap dan bertanggungjawab. Demi selebrasi kemenangan, muslihat dan aksi tipu menipu kerap kali dikembangkan dan dibudayakan.

Dalam kelamnya kepungan fenomena mediokritas ini, yang diperlukan bukan kutukan apalagi pesimisme. Yang dibutuhkan adalah langkah positiv dan optimisme yang realistik. Optimisme yang dimanifestasikan dalam kerja keras dalam bingkai kebenaran dan kesabaran dalam ketundukan pada pemilik kehidupan. Dalam narasi para ulama ditemui simpulan, bahwa kecemasan dan pesimisme hanya bisa diatasi dengan berlomba-lomba menanam kebaikan. Diantara ladang kebaikan itu, adalah ibadah umrah. Selamat mencoba.

Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung

Sumber, Pikiran Rakyat 15 September 2020

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *