(UINSGD.AC.ID)-Idul fitri adalah momentum kembalinnya seorang mukmin pada fitrah. Dalam narasi para ulama, fitrah disimpulkan sebagai asal dan awal penciptaan. Pada kutub itu, Baginda Nabi menegaskan, “Kullu mauludin yuladu ‘alal fitrah”, pada asal dan awal penciptaan, siapapun berada dalam kondisi fitrah, yakni suci atau bersih dari noda dan dosa. Kembali kepada fitrah adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Disimpulkan demikian, karena fitrah berbanding lurus dengan ketakwaan.
Derajat taqwa merupakan sebuah pencapaian prestisius karena diraih dengan pengendalian segenap potensi ruhani dan jasadi dari segala anasir-anasir syaithoniyah. Hal itu ditempuh melalui amaliyah ramadhan yang sangat ketat. Dimulai dari ibadah puasa, shalat tarawih, tilawatil qur’an, dzikir, i’tikaf, zakat, infaq dan sedekah.
Menyertai raihan derajat ketakwaan, secara sosiologis siapapun seringkali dihadapkan pada ragam perilaku sosial yang seringkali menggunting habituasi positif Ramadhan. Diantara hal itu adalah euforia hari raya yang kadang kental dengan budaya gaya, budaya pamer, budaya lalai bahkan budaya berlebihan. Tidak disangsikan lagi, semua itu menjadi semacam predator yang bukan hanya mengotori, namun bisa merusak fitrah. Bila begitu adanya, maka sirnalah ketakwaan.
Mewaspadai ranjau euforia hari raya yang kadang berlebihan sekaligus menjaga habituasi positif ramadhan, menjadi hal yang niscaya dilakukan. Spirit yang menjadi pemantik energi kerah itu, dibangun diatas kesadaran holistik bahwa ibadah puasa pada ujung jangkanya dan pada kesempurnaan bilangannya, bukanlah akhir dari segalanya. Ia adalah adalah terminal untuk terus melakukan perjalanan dan pendakian. Dalam Qs. Al-Insyirah ayat 7 Allah menegaskan, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”.
Bagi mereka yang dianugerahi kelebihan harta dan kelapangan jiwa, diantara upaya untuk melepaskan diri dari euforia hari raya sekaligus langkah strategis untuk melestarikan habituasi positif pasca ramadan adalah menjalankan ibadah umrah. Dalam simpulan para pejalan kaki ke Baitullah, Ibarat magnet, ibadah umrah bisa menarik seluruh potensi kesadaran diri untuk terus bergerak memadat menuju yang Ilahi.
Dalam ibadah umrah, para tamu Allah berjalan pada tangga ritualitas yang mengkondisikan segenap potensi dirinya untuk terus terkoneksi dengan yang ilahi. Tidak berhenti disana, ibadah umrah akan membawa siapapun pada pendakian tertinggi untuk bertemu dengan yang Ilahi. Para ulama menyebut, bahwa esensi Ibadah umrah bukan sekedar perjalanan untuk bertamu ke Baitullah tetapi juga perjalanan untuk bertemu dengan Allah. “Saat aku berjalan ke Baitullah bukan hanya ka’bah yang aku temui tetapi Sang Pemilik Ka’bah yang aku jumpai. Begitulah Imam Al-Hujwiri memberikan testimoni.
Dalam perjalan bertemu dengan Allah, setiap jemaah akan membawa yang terbaik dari apa yang ia miliki. Terbaik pada pikiran, terbaik pada perasaan, terbaik pada ucapan, begitpula terbaik pada perbuatannya. Dalam hasrat pertemuan dengan Allah Sang kekasih, para tamu Allah bukan sekedar terkondisi dengan kebaikan tetapi akan selalu berada pada ekosistem kebaikan. Berikutnya pada ekosistem itu, kebaikan akan tumbuh, berkembang, bercabang dan berkesinambungan.
Kembali ke awal, melalui ibadah umrah, habituasi positif bulan ramadhan bukan sekedar terjaga,tetapi juga akan lestari. Dengan begitu, hari raya tidak akan berujung pada euforia tanpa makna, tetapi menjadi momentum yang bisa merawat fitrah sekaligus menjaga taqwa dan kemenangan. semoga.
Aang Ridwan, Pembimbing haji dan umrah Khusus Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung
Sumber, Pikiran Rakyat 17 Mei 2022