Umrah dan Isra Mikraj

(UINSGD.AC.ID)-Bulan rabiul awal, lazimnya merupakan potret indah tentang konfigurasi kaum muslimin dan muslimat dari seantero jagat raya, yang datang silih berganti memadati Mekah dan Madinah untuk menunaikan ibadah umrah sekaligus membuncahkan kerinduan kepada dua kota suci.

Momentum Isra dan Mi’raj, ditengarai menjadi pemantik spirit ziarah. Hasrat untuk napak tilas, refleksi, sekaligus internalisasi nilai-nilai theologis, historis, filosofis maupun sosiologis, dari peristiwa yang dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam itu, menjadi semacam magnet yang menarik seluruh pusat kesadaran untuk umrah pada bulan rabiul awal.

Dalam narasi para ulama, Isra mi’raj mengajarkan arti penting memperkokoh eksistensi kehambaan manusia di hadapan Rabb-nya. Pada kutub eksistensi ini, setelah diterjang badai cobaan nan bergelombang. Baginda mulia dan rasul agung, diperjalankan Allah hanya dalam satu malam, dari satu tempat mulia, Masjidil Haram di kota Mekah, ke tempat mulia berikutnya, Masjidil Aqsha di Palestina. Setelah itu, Mi’raj ke shidratul muntaha, naik meniti tangga derjat untuk diperjumpakan dengan para nabi dan rasul sebelumnya. Setelah itu bertemu dengan Allah ‘Azza Wajalla.

Dalam spirit ini, setiap umat Kangjeng Nabi, yang mendamba diperjalankan Allah dari satu posisi mulia menuju posisi mulia berikutnya. Kemudian dengan prestisius diangkat derajatnya hingga mulia di hadapan sesama dan Rabb-nya, rumus utamanya, harus bersedia menjadi hamba Allah SWT.

Ibadah umrah, dalam keseluruhan rangkaian ritualnya, mengkondisikan setiap jamaah untuk menghambakan diri, merendahkan diri, menghinakan diri, bahkan tunduk patuh tanpa syarat kepada titah ilahi. Buah dari kesadaran ini, akan membekas secara kontras pada semua aspek kehidupan. Dalam kehidupan nyata, alumnus tamu Allah, akan hadir sebagai pribadi rendah hati. Jauh dari takabur, tidak membangakan diri, apalagi merasa paling segalanya.

Bila ia punya ilmu, ilmu yang dimilikinya tidak menjebaknya untuk merasa paling pintar. Tetapi sebaliknya, pintar merasakan perasaan orang lain. Bila ia rajin beribadah, maka ibadahnya tidak menjebak dirinya untuk rajin menyalahkan praktik ibadah orang lain. Bila ia memiliki status sosial yang tinggi, statusnya tidak menjebak dirinya untuk merendahkan orang lain. Bila ia dianugerahi kecantikan atau ketampanan, anugerah itu tidak menjebak dirinya untuk menjelekan apalagi menghina orang lain. Bila ia memiliki harta dan kekayaan, hartanya tidak menjebak dirinya untuk takabbur. Dan bila ia memilki pengikut yang fanatis nan mengidolakan, hal inipun tidak menjebak dirinya untuk menjadi manusia yang angkuh.
Tidak sekedar mengkondisikan jemaah untuk rendah hati, ibadah umrahpun mengajarkan setiap jemaah untuk bisa mengendalikan diri. Tidak mudah mengumbar amarah, tidak mudah terprovokasi, juga tidak murah untuk memberi gelar keji kepada siapun. Bila berkomuniaksi, dalam kondisi apapun, Ia bisa menyampaikan pesan dengan respektif, empatik bahkan terafeutik. Larangan ihram, yang menghajatkan setiap jemaah tidak rafas, fusuk dan jidal, adalah bukti nyata bahwa ibadah umrah mengajarkan jemaah memiliki mekanisme kedali diri.

Momentum Isra mi’raj, menjadi dambaan siapapun untuk menyambutnya dengan ziarah ke tanah suci. Cita-cita yang digendong, adalah mendamba kokohnya jati diri kehambaan di hadapan yang Ilahi. Dengan begitu, mereka berharap akan diperjalankan Allah dari satu tempat mulia menuju tempat mulia berikutnya. Setelah itu, diangkat deratnya dengan prestisius oleh Allah SWT. Semoga.

Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 1 Maret 2022.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *