UINSGD AC.ID (Humas) — Dalam derasnya perkembangan media sosial, setelah tugas utama melayani para tamu Allah baik dalam ibadah haji maupun umrah selesai ditunaikan, kami selalu menyempatkan diri untuk mengambil video di area seputar Haramain untuk selanjutnya kami produksi menjadi konten dakwah.
Dakwah melalui media social menjadi hal yang nisacaya dilakukan. Tom Nicolsh dalam buku yang bertajuk The Death of Experties (2017) menganalisa, bahwa kehadiran media social telah menjadi arena produksi kultural dimana setiap konten yang didistribusikan secara massif telah membuat orang yang tidak memiliki pengetahuan menjadi memiliki “pengetahuan yang salah”.
Seseorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang agama namun adaptif dengan media social kemudian viral, itu akan mengalahkan seorang yang ahli agama namun tidak beradaptasi dengan media sosial. Hal serupa berlaku pula pada badang ilmu lainnya. Karena itu kata Nicolsh, jika kalangan expert pada bidang ilmu tertentu enggan beradaptasi dengan media social. Maka kelahiran media social akan menjadi lonceng kematian bagi para pakar sesungguhnya diberbagai bidang ilmu.
Faktor lain yang memantik kami para pembimbing beradaptasi untuk dakwah melalui media social. Sebab dalam Analisa para pegiatan kajian cultural studies ditarik simpulan, bahwa selera publik tidak hadir dengan sendirinya melainkan dibentuk oleh logika Content Creator (Ordo Media).
Bila hari ini public di negara kita begitu berselera terhadap pornografi, itu tidak lahir dengan sendirinya. Tetapi dikonstruk oleh para konten creator yang deras memproduksi dan mendistribusikan konten pornografi. Pun demikian terkait judi online. Bila hal ini sekarang mewabah bahkan menggurita, fakta itu tidak bisa lepas dari logika konten creator yang mengadvokasi judi online.
Pada kubangan masalah ini, para tokoh agama yang memiliki otoritas dan sanad keilmuan yang jelas harus segera mengambil alih media sosial dengan melakukan produksi, reproduksi dan distribusi konten dakwah yang positif dan menarik.
Hal ini niscaya dilakukan, sebab bila mengikuti logika Michael Dawing (2010), ada lima keunggulan dakwah melalui media social yang tak terbantahkan. Persistent and permanent, konten dakwah yang diposting bisa bertahan lama. Replicability, konten dakwah bisa dikopi tanpa mengurangi kualitas bahkan bisa disebar. Searchability, sejauh memiliki kuota konten yang diposting bisa dicari secara cepat. Dan Accessibility, konten bisa diakses dengan sangat mudah dimanapun dan kapanpun.
Meski demikian, ternyata dakwah melalui media social memiliki kompleksitas tersendiri. Ibarat group band, dakwah di media social membutuhkan banyak personil dengan kompetensi broadcasting. Seperti; produser, talent, editor, creative, DOP (Director of Photoghrapy), cameraman, soundman, lightingman, Pencatat Adegan, Production Assistante, Pembantu Umum, Artistik, dan Akomodasi.
Setelah itu alur proses produksi membutuhkan tiga tahapan, yakni; pra produksi, produksi, pasca produksi. Belum lagi selalu ada tuntutan content harus variatif dan inovatif, persoalan copy right dan plagiasi, bahkan kerapkali muncul komentar yang tidak baik hingga bertambahnya hater.
Hal yang semakin menambah kompleksitas praktik dakwah di media social, adalah membutuhkan dana yang cukup besar. Bila berdakwah di tabligh akbar atau majelis ta’lim, para da’i lazim diapresiasi secara finansial. Namun dakwah pada ruang media social, masih terlalu banyak yang belum peduli, bahkan untuk sekedar like, comment apalagi ngeshare.
Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Pembimbing Haji Plus dan Umrah Khalifah Tour