Umrah dan Berserah Diri

Berawal dari lempung yang Allah ditiupkan ruh kepadanya, selanjutnya selain diberi status mulia, manusia diberi kuasa yang leluasa untuk mengembara di dunia menjalankan tugas ibadah dan khalifah. Dalam tugas kekhalifahan, selain seringkali berhasil meraih prestasi dan prestise, manusia acapkali terjebak pada lumpur kehidupan yang penuh intrik yang karenanya tak jarang ia terbanting dan terpelanting pada pojok kehidupan yang hina dan nista.

Dalam posisi demikian, dengan fitrah yang dimilikinya, secara naluriah dan alamiah manusia seringkali merindukan gerak kembali dari lumpur duniawi menuju kesucian ilahi.

Untuk memenuhi hasrat dan gerak kembali ini, Allah sertakan pada manusia tugas ibadah selain tugas khalifah. Dalam tugas ibadah ini, secara filosfis manusia diperintah Allah untuk membangun spirit innalillahi wainna ilahi rojiun. Melalui spirit ini, manusia diajak melakukan perjalanan mengembara ke dalam dirinya untuk sampai pada kutub kesadaran, “bila kita berasal dari Allah dan sedang hidup di duna menikmati fasilitas milik Allah, maka sejatinya kita harus kembali kepada Allah”.

Berbeda dengan tugas kekhalifahan yang kerap kali diwarnai gemerlap kehidupan dan kadang membuat bising ruang bathin, dalam tugas ibadah ini, manusia diajak Allah untuk berjalan di ruang sunyi. Pada ruang ini, Allah sebagai bahasa kebenaran, akan hadir di relung hati, menyapa dan menemani. Karena itu, dalam narasi para sufi ditemui simpulan, pada ruang yang sunyi manusia akan bergerak untuk “tumbuh menjadi”. Ibarat reremputan, bebungaan dan pepohonan, semuanya tumbuh pada ruang kesunyian. Bahkan bintang-gemintang, rembulan dan mentari, semuanya bergerak rapi dalam raung sunyi.

Dalam metafor para sufi ini, ruang sunyi akan menghadirkan kekayaan ruhani dan inner energy untuk berani menelanjangi diri dan melakukan totalitas pengabdian dan pengorbanan. Buah dari hal ini, diyakinkan para sufi, akan hadirnya wajah baru kita dihadapan Allah sebagai hamba yang berserah diri. Dalam hal ini, Carl Gustav Jung pernah berujar, “hanyalah dengan misteri pengorbanan diri, seseorang bisa mengalami kelahiran baru.

Dengan wajah baru sebagai hamba yang berserah diri, manusia akan tampil sebagai mahluk yang tangguh dimana Ia tidak akan tersentuh sama sekali oleh sehebat apapun setan bermanuver.
Sebagaimana diinformasikan dengan jelas, dalam surat Al-A’raf ayat 16, suatu ketika setan sesumbar begitu beringas, “Ya Allah Karena Engkau telah menghukum aku sebagai hamba yang tersesat, maka aku benar-benar akan menghalangi ummat manusia dari jalan Engkau yang lurus”. Kemudian pada ayat ke 202 masih di surat Al-Araf, Allah pun menggambarkan, “Dan saudara-saudara setan, (dari golongan jin dan manusia), mereka bahu mebahu, tanpa mengenal lelah untuk menyesatkan ummat manusia.

Selanjutnya mereka datang menggoda umat manusia dari setiap penjuru mata angin. Mereka sesatkan manusia dari depan, belakang, samping kiri dan samping kanan (Qs. Al-A’raf: 17). Namun, sebagaimana disebutkan dalam QS Shad ayat 83, Setan lesu darah, lemah lunglai, luluh lantak, mereka tidak memiliki energy sama sekali, untuk menyentuh orang-orang Ikhlas, yakni orang-orang yang berserah diri hanya kepada Allah.

Kembali ke awal, bermula dari lempung yang Allah tiupkan ruh kedalamnya, secara naluriyah dengan fitrah yang dimilikinya, manusia merindukan gerak kembali dari lumpur duniawi menuju kesucial Ilahi. Untuk memenuhi hasrat kembali ini, Allah menyeru umat manusia untuk berjalan di ruang sunyi, melepaskan diri dari hiruk pikuk dan segala gemerlapnya kehidupan duniawi, sejenak meninggalkan rumah mewah dan kampung halaman, untuk berkunjung ke rumah Allah, Ka’bah Al-musyarrofah, di Tanah Suci.

Secara menawan Ali Syariati menyimpulkan, Jalan sunyi sekaligus sebagai gerak kembali menuju Yang Maha Suci, bisa dilalui dan ditelusuri dalam prosesi ‘haji kecil’ yang lazim disebut Umrah. Ritual ihram, thawaf, sa’i dan tahalul, adalah jalan dan ruang-ruang sunyi yang menyimpan energi tak tertandingi untuk gerak menjadi, yakni hamba yang berserah diri. Selamat mencoba, anda pasti bisa.

Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag., Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 1 September 2020

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *