Dalam metafor para ulama, esensi ibadah umrah adalah perjalanan mengetuk pintu langit untuk bertamu ke baitullah demi perjumpaan mesra dengan Allah. Buah dari perjalan itu disimpulkan dalam kalimat indah, “Mereka yang berjalan tulus mengetuk pintu langit, air matanya akan deras mengalir karena pintu hatinya lepas dari segala gembok yang mengucinya.”

Meski wujud fisiknya lembut, dalam kondisi terkunci mati hati manusia bisa lebih keras daripada batu (Qs. Al-Baqarah:74). Ada tiga potensi hawa nafsu yang diintrodusir para ulama menjadi penyebab terkuncinya pintu hati manusia. Pertama, nafsu kebinatangan (quwwatun bahimiyyah), potensi hawa nafsu ini mendorong manusia untuk mencari kesenangan jasmani dan hasrat untuk melampiaskan keinginan sensualitas bahkan seksualitas tanpa rem yang memadai. Kedua, nafsu bintang buas (quwwatun sabu’iyyah), potensi hawa nafsu ini, sering kali mendorong manusia untuk membenci, menyerang, memangsa dan menghancurkan orang lain. Ketidak berdayaan orang lain di hadapannya, adalah target dari model hawa nafsu ini. Dan ketiga, nafsu setan (Quwwatun syaithaniyyah), adalah potensi hawa nafsu yang seringkali menghalalkan berbagai macam cara atau membenarkan segala kejahatan yang dilakukan.

Dalam dominasi tiga potensi hawa nafsu ini, personifikasi manusia akan tampil begitu mengerikan. Kata Allah ia seperti anjing yang menghambakan diri hanya pada dunia dan hawa nafsu rendahan (QS.Al-A’raf:176). Iapun kadang tampil seperti kera yang tidak mau tunduk patuh pada aturan, perintah, dan larangan (Qs. Al-Baqarah: 65 dan Al-A’raf: 166). Iapun kerap kali memainkan peran sebagai Babi yang betah tingggal ditempat yang kotor dan senang tinggal di tempat yang sesat (Qs. Al-Maidah: 60). Pada banyak kasus, dalam dominasi tiga potensi hawa nafsu tadi, manusia sering memainkan peran sebagai keledai yang pintar mendustakan ayat-ayat Allah (Qs. Al-Jumu’ah:5).

Pada personifikasi yang mengerikan itu, pintu hati manusia terkunci mati. Ia tidak bergetar ketika disebut nama Allah, imannya tidak bertambah meski dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an, dalam urusannya sama sekali tidak melibatkan Allah, gemar melecehkan bahkan meninggalkan sholat, bakhil dan kikir dalam berinfak dan sedekah, dan matanya tidak pernah menangis sebagai ekpresi rasa takut dan penyesalan diri atas kemaksiatan yang diperbuat.

Dalam titik yang cukup berbahaya ini, sangat diperlukan usaha untuk mengetuk pintu hati, membuka segala gembok yang menguncinya dan memantik energi bagi bangkitnya quwwatun Rabbaniyah, yakni kekuatan yang berasal dari percikan cahaya Allah. Kekuatan ini terletak pada kejernihan akal dan kebeningan hati yang senantiasa dibersihkan dengan derasnya air mata yang mengalir karena takut kepada Allah.

Sekaitan dengan itu, menarik untuk menyimak apa yang disampaikan oleh Abdullah bin Umar, diantara buah perniagaan dengan Allah yang ditebus dengan derasnya air mata yang mengalir karena takut kepada-Nya, pertama, Ia akan terhindar dari sentuhan api neraka. Dari Ibnu Abbas ra, Rasululloh saw bersabda, “Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh neraka; mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi).

Berikutnya ia akan berada dalam naungan cinta kasihnya Allah. Dari Abu Umamah ra, bahwa Nabi saw bersabda,“Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah daripada dua tetesan dan dua bekas. Tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang tertumpah di jalan Allah. Sedangkan dua bekas itu adalah bekas-bekas fii sabilillah (jihad) dan bekas-bekas mengamalkan kewajiban Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan Adh-Dhiya’).

Kembali ke awal, ibadah umrah adalah momentum yang sangat berharga untuk mengalir deraskan air mata sebagai ekpresi rasa takut kepada Allah dan penyesalan diri atas segala perilaku binatang dan syetan yang kerapkali diperagakan. Air mata yang tertumpah dipintu ka’bah, mengalir di hijir ismail, membuncah di raudhah al-muthahharah selain akan membersihkan segenap kotoran ruhani, diyakini para ulama ia akan menjadi mata air kehidupan yang tidak hanya mencerahkan tetapi juga membahagiakan. Selamat mencoba, anda pasti bisa.

Aang Ridwan, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN SGD Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 22 Oktober 2019

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter