[www.uinsgd.ac.id] Apakah ekonomi Islam dapat terus tumbuh dan berkembang? Atau layu kemudian mati sebelum berkembang?
Pertanyaan mendasar ini diungkapkan oleh Prof Dr H Mohamad Anton Athoillah, MM pada pidato pengukuhan Guru Besar di hadapan Sidang Senat Terbuka UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Rabu (28/03/2018). Guru Besar Ilmu Ekonomi Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN SGD ini mengusung tema “Saintifikasi Ekonomi Islam: Antara Ijtihad Akademik Dan Bukti Empirik”.
Lima profesor lainnya yang dikukuhkan sebagai guru besar yakni Prof Dra Hj Nina Nurmila, MA, Ph.D; Prof Dr Hj Aan Hasanah, M.Ed; Prof Dr Hj Rahayu Kariadinata, M.PD; Prof Dr H Uus Ruswandi, M.Pd (Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung); dan Prof Dr H Sulasman, M.Hum (Fakultas Adab dan Humaniora UIN SGD).
Menurut Prof Anton, tumbuh dan berkembangnya ekonomi Islam sangat tergantung kepada para penggiatnya. “Kita harus tetap berpegang teguh pada prinsip tauhid dan persaudaraan, prinsip kerja dan produktifitas, serta prinsip keadilan distributif.
Ketiga prinsip ini melahirkan empat instrumen dasar kebijakan Ekonomi Islam: 1) penghapusan riba (bunga pada modal); 2) lembaga keuangan Syariah berbasis syirkah-mudharabah (sistem bagi hasil dan bagi rugi dalam usaha ekonomi syariah; 3) penghapusan israf, yang berarti penggunaan sumber daya harus inefisien, dan (4) institusi zakat, yang merupakan bentuk bantuan sosial terorganisir dalam masyarakat Islam yang dibiayai dengan pungutan atas segala bentuk pendapatan dan kekayaan yang melebihi tingkat pengecualian minimum yang disebut nisab.
Ekonomi Islam memainkan peran penting dalam pembentukan program pembangunan baru bagi negara-negara Muslim jika masyarakat muslim menerimanya sebagai sistem nilai ekonomi baru. Prof Anton menawarkan Ilmu Ekonomi Sosial (Social Economics) sebagai tempat bersemayamnya Ekonomi Islam, di tengah pertumbuhan dan perkembangan sains dan teknologi dunia secara umum, daripada memaksakan mengibarkan bendera Ekonomi Islam yang belum siap.
Menurutnya, Ekonomi Islam tetap harus saintifik. “Jenis kelamin’-nya sama dengan Ilmu Ekonomi. Namun bagi Ilmu Ekonomi, paradigma Wahyu Memandu Ilmu –yang dianut UIN SGD Bandung– diharapkan akan berfungsi sebagai korektor kelemahannya (Ilmu Ekonomi) dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial di masyarakat.
Ketika Ilmu Ekonomi menyerahkan perwujudan kesejahteraan masyarakat kepada mekanisme pasar berbasis bunga, yang sering terjadi adalah kegagalan pasar atau market failure. Jika hal tersebut diserahkan kepada kebijakan pemerintah, yang juga tidak jarang terjadi adalah kegagalan penerintah atau government failure. “Dalam konteks inilah Ekonomi Islam hadir!” tegas Prof Anton.
Karena belum siap; alih-alih kita ingin menyelesaikan market failure atau government failure, malah yang terjadi adalah Islamic Economic Failure, atau bahkan berimbas menjadi Islamic Failure, na’udzubillah! Boleh jadi, penyemayaman ini juga bersifat sementara, sampai kemudian Ekonomi Islam dapat mengibarkan benderanya sejajar dengan Ilmu Ekonomi. “Sebagai sivitas akademika, kita dituntut untuk menjaga harapan ini tetap menyala, dengan melakukan tindakan-tindakan konkret di wilayah akademik,” jelasnya.
Sebagian besar produk kajian Ekonomi Islam hari ini masih berupa potensi, karena masih berupa nilai yang bersumber dari Al-Quran, Sunnah dan ijtihad para ulama. Karenanya, para ekonom (penganut Ilmu Ekonomi) tidak memandangnya sebagai bagian dari Ilmu Ekonomi. Apa yang dimiliki ekonom muslim saat ini hanyalah prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana seharusnya seorang muslim berperilaku.
UIN SGD Bandung, sebagai salah satu PTKIN, telah berkontribusi positif bagi pertumbuhan dan perkembangan Ekonomi Islam di negeri ini, secara khusus, atau berkontribusi positif bagi pembentuhan hukum nasional, secara umum. Banyak pakar dari UIN SGD telah berhasil “membumikan” wahyu Tuhan sebagai panduan bagaimana berperilaku Ekonomi Islam, tidak hanya bagi masyarakat muslim, tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia.
Dalam sambutannya, Rektor UIN SGD Bandung Prof Dr H Mahmud, M.Si menyatakan kebanggaannya kepada keenam guru besar atas gagasan-gagasannya yang brilian. “Kami anggap guru besar itu makhluk langka. Jika UIN Bandung dipenuhi oleh banyak guru besar, maka kampus ini akan semakin harum, maju dan unggul,” ujarnya.
Ia mengharapkan kepada ketua senat universitas segera membuat regulasi yang menekankan pentingnya pengukuhan guru besar. “Meski seseorang sudah profesor, belum tentu menjadi guru besar, sebelum dikukuhkan sebagai guru besar,” katanya.
“Kami tetap mengingatkan kepada seluruh guru besar akan tanggung jawab akademik, sosial, bahkan tanggung jawab finansialnya. Dan, menurut saya, menjadi guru besar ini adalah takdir. Buktinya, prosesnya ada yang mudah, juga tidak sedikit yang macet meski tak ada hentinya berikhtiar. Maka, bersabarlah bagi yang belum meraih profesor,” harap Prof Mahmud. (Nanang Sungkawa)