TAK sedikit perempuan yang salah di dalam membangun popularitas diri. Di media, mereka umbar aurat dengan harapan bisa terkenal. “Padahal, masih banyak cara terhormat yang bisa membuat kita terkenal,” kata Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jabar Hj. Neneng Athiatul F, S.Ag., M.IKom dalam seminar “Perempuan dan Jurnalistik” yang digelar Jurusan Ilmu Komunikasi UIN Bandung, Sabtu 921/4).
Seminar yang juga menghadirkan jurnalis Wall Street Journal Inggris Yayu Yuniar dan Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Jabar Dr. Hj. Sri Kusumah Wardhani, SH, MH ini dihadiri 343 peserta dari kalangan mahasiswa, aktivis perempuan, dan praktisi media.
Media massa, kata Neneng, banyak yang memposisikan perempuan sebagai objek dan cenderung mendiskreditkan perempuan. Semua ini, karena kepentingan rating dan kapitalisme. “Para jurnalis perempuan harus mulai berkiprah memperbaikinya. Masih banyak hal positif tentang wanita yang bisa diekspos. Bukan sebaliknya malah mengeksploitasi aurat perempuan,” paparnya.
Lahirnya stigma “miring” terhadap perempuan, secara langsung maupun tidak berdampak pada aktivitas perempuan di ruang publik..Hal senada diungkapkan Kepala BPPKB Jabar, Dr. Hj. Sri Kusumah Wardhani, SH, M.H. “Media seharusnya mengangkat dan mengemas pemberitaan perempuan dengan baik,” ungkapnya.
Sementara soal kesetaraan jender, Yayu Yuniar mengutarakan, hal terpenting kita mengenali diri kita sejak dini. “Dengan mengenali diri sendiri, kita akan mampu mengambil tindakan apa yang pantas kita lakukan,” jelasnya.
Dalam profesi apa pun, pelabelan menjadi tidak terlalu penting. Pasalnya, jelasnya, kualitas dan kinerja setiap orang tidak dipengaruhi jender, tapi kembali kepada keyakinan diri dan kemauan individu masing-masing. Di akhir diskusi, Subagyo Budi Prayitno yang didaulat sebagai moderator mengingatkan untuk lebih peka, apa pun profesinya, setiap orang harus peduli karena masih banyak perempuan yang kurang beruntung dan mesti ditolong. Salah satunya diupayakan dengan pembentukan kebijakan dan pendirian LSM-LSM peduli perempuan. Tapi ia menekankan, hal seperti ini tidak boleh bersifat permanen, karena harus ada masa di mana wanita bisa berdiri sendiri, dan menyetarakan diri dengan laki-laki sebagai sesama manusia.
“Sebetulnya cita-cita Kartini sudah tercapai, masalahnya hari ini, yang harus dibenahi adalah karena masih banyak wanita yang menderita, dan kaum lelaki yang tersesat. Dan jurnalis mempunyai peran besar, karena profesinya sangat dekat dengan penyalur komunikasi paling berpengaruh, yaitu media,” ungkap dosen yang akrab disapa Budi ini.
Acara yang digelar dari mulai pukul 08.30 hingga 13.00 ini mendapat apresiasi yang baik dari kalangan mahasiswa. Salah satunya adalah Siti Uswatun, mahasiswi IPDN yang mengaku senang dapat menghadiri acara seperti ini. Karena dengan adanya seminar ini, ia dapat lebih mengetahui betapa pentingnya peran aktif seorang wanita dalam media dan dunia jurnalistik. []
sumber: BandungOke.Com