Tokoh-tokoh Islam moderat di Indonesia perlu lebih intensif lagi “keluar kandang” untuk menyebarkan gagasan-gagasan Islam rahmatan lil’alamin lewat berbagai media, kata dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung Ahmad Ali Nurdin.
Sebagai contoh agen Islam moderat yang dimaksudnya adalah pendidikan tinggi keagamaan Islam (PTKI), dan ormas-ormas Islam moderat. Dia menilai sudah waktunya mengampanyekan Islam moderat ke luar negeri.
Ali Nurdin mengemukakan hal itu pada Tadarus Litapdimas Seri ke-6, yang berlangsung secara online pada Selasa (12/5/2020) sebagaimana dilansir laman resmi Kementerian Agama pada Rabu (13/5/2020). Tadarus itu membahas isu moderasi beragama di Indonesia yang berkaitan dengan perkembangan Islam di luar negeri.
Menurut Ali Nurdin, penyebaran gagasan Islam moderat keluar negeri bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga setempat yang menaruh perhatian terhadap penyebaran Islam moderat. Salah satunya adalah Central for Islamic Thought and Education (CITE) yang bejuang melawan imej negatif tentang Islam di Australia. Penelitian yang dipresentasikannya kali ini adalah terkait lembaga tersebut.
Rekomendasi penelitiannya yang lain adalah perlunya penerbit-penerbit buku keislaman di Indonesia yang mempunyai visi penyebaran Islam moderat untuk melakukan ekspansi penerbitan-penerbitan buku berbahasa internasional untuk konsumsi publik dunia, seperti Australia.
“Kemenag, PTKI, ormas-ormas dan tokoh Islam juga perlu bekerja bersama-sama dengan Kemenlu dalam merumuskan strategi diplomasi penyebaran Islam moderat supaya bisa mewarnai kebijakan luar negeri Indonesia dan mempromosikan Islam Indonesia sebagai Islam yang rahmatan lil’alamin,” tambahnya.
Peneliti lainnya yang mendapatkan kesempatan mempresentasikan hasil riset terbaiknya adalah Agus Salim dari UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Penelitiannya mengenai pengembangan Islam moderat keluar negeri melalui Kementerian Luar Negeri Indonesia mengungkapkan istilah “netralitas aktif” dalam kebijakan diplomasi Indonesia.
“Sebelumnya netralitas diartikan sebagai sikap menjauhi identitas agama tertentu dalam retorika formal negara. Saat ini, dengan mengambil sikap proaktif dalam menyuarakan identitas dan norma agama, ternyata Kemenlu tetap dapat menjaga pakem netralitas tersebut.”
Agus mengutarakan ini dapat terjadi karena Kemenlu tidak lagi memandang netralitas sebagai ‘dinding pemisah’ namun lebih sebagai ‘kaca cermin’ yang dengannya Kemenlu mencari titik temu dan kompatibilitas antara nilai-nilai agama yang substantif dan inklusif dengan nilai-nilai kebangsaan dan norma-norma perdamaian dan keamanan internasional,” ujarnya.
Penelitian Agus Salim juga memberikan klarifikasi mengenai makna dan signifikansi Islam moderat dalam kebijakan luar negeri pada negara-negara mayoritas muslim.
Kabar 24 Bisnis, 13 Mei 2020 | 17:42 WIB