UINSGD.AC.ID (Humas) — Saat ingin mengetik tahniah ini, untuk melepas Ibu Sumi, dosen panutan kami yang purna bhakti.
Air mata ini deras mengalir, hingga mengunci jemari untuk tidak bisa menulis apapun.
Setelah berkali-kali menghela nafas yang panjang, dan terus berusaha menguatkan hati. Akhirnya Jemari ini bisa berbisik.
Tahun 1993, saat diterima sebagai mahasiswa Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Kondisi hati saya saat itu, sedang cedera begitu serius, harapan untuk hidup nyaris pupus. Insecure, prejudice, sampai katastropik adalah sederet masalah yang kerap singgah.
Saat memaksakan kuliah perdana Sejarah Peradaban Islam, setitik cahaya untuk menghargai hidup mulai hadir.
Hingga dalam pertemuan demi pertemuan perkuliahan, perlahan namun pasti, semangat untuk hidup kembali bangkit.
Dalam perkuliahan Bu Sumi, itulah panggilan akrab kami, beliau kerap kali menampar pemikiran, menggugat kemapanan, mengoyak perasaan, bahkan mengagitasi kami untuk perang melawan kejumudan.
Gaya ngajarnya yang agitatif namun super motivatif, terus terang begitu relate dengan kondisi bathin saya dan teman-teman saat itu.
Beliau mengasuh kami tidak berhenti di ruang kelas. Di tempat kost kami di Panyileukan, beliau adalah mitra diskusi kami. Hingga beliau pernah memantik kami untuk membuat forum diskusi yang beliau beri nama sendiri Tripel I (Islam, Intelektual dan Ideologi).
Untuk bahan diskusi di Tripel I, beliau tidak segan menurunkan sejumlah referensi dari rak bukunya untuk kami baca. Bila kami menghelat kegiatan, beliau begitu dermawan. Dari muali uang, beras, kendaraan dan apapun yang bisa kami pakai, dengan senang hati beliau donasikan.
Dalam suatu kesempatan, saya pernah dimarahi begitu besar oleh teman-teman di Tripel I.
Saat itu, setelah saya kelelahan karena ikut kuli ngangkut sayuran dan buah-buahan di Pasar Induk Gede Bage untuk melengkapi biaya kegiatan Tripel I. Saya mendadak sakit, dan cukup serius.
Tengah malam di kostan teman di Cipadung, saya kaget karena batuk berdarah. Bahkan menjelang subuh, beberapa kali saya muntah darah. Saat itu saya begitu ketakutan. Dalam balutan ketakutan yang cukup menghantui, yang hadir dalam pikiran saya hanyalah Bu Sumi dan Pak Husen (suami beliau).
Subuh itu, tanpa pamit ke teman yang punya kosat-an. Dengan takut yang terus menghantui, saya memaksakan diri jalan ke Panyileukan padahal muntah darah belum berhenti. Saya gedor rumah Bu Sumi, saya nangis penuh takut di teras rumahnya.
Seperti sudah tembus pada rasanya. Tanpa basa basi, beliau memeluk saya, mengobati saya, merawayat saya, dan menjaga saya.
Karena kejadian itu, temen-temen di Tripel I marah, “kenapa kamu tidak punya malu?”, “mengganggu Ibu?”, “merepotkan Ibu”? dan sejumlah tanya heran lainnya. Terus terang, sampai saat ini saya tidak bisa menjelaskan kenapa saya bisa sebodoh itu.
Seperti mata air, kebaikan Bu Sumi pada saya tidak berhenti di situ. Terus mengalir tiada henti. Saat menikah, mencari rumah, dan seterusnya, sampai membawa saya menjadi bagian di cyrcle mulia, bergabung dengan orang-orang hebat di civitas akademika Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
Tanpa kebaikan beliau dalam membawa saya sebagai dosen LB di FDK, mungkin nasib saya sekarang, hanya berada di negeri entah.
Di masa purna bhakti, Bu Sumi telah menuntaskan semua kewajiban dengan sangat baik. Penuh dedikasi, cinta dan persahabatan.
Terima kasih ibu,
atas nama darah anak dan isteri saya,
Terima kasih ibu,
atas nama nafas anak dan isteri saya
Terima kasih ibu,
atas nama nyawa anak dan isteri saya
Terima kasih ibu,
atas segalanya yang anak dan isteri saya dapatkan.
Kebaikanmu tak terhitung.
Maafkan kami atas segala kebodohan. Allah selalu mencintai dan memberkahimu.
Aang Ridwan, murid Ibu, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi FDK UIN Sunan Gunung Djati Bandung