Teologi Cinta

Tempat hidup kita bersama ini bernama desa buana (global village). Thomas L Friedman menyebut bumi kecil ini datar (flat), tanpa batas. Masyarakatnya, menurut Manuel Castells, terhubung satu sama lain (network society). Hal ini terjadi sebagai hasil dari revolusi teknologi komunikasi dan informasi.

Bukan hanya informasi, sejumlah nilai dan budaya, bahkan penyakit bermigrasi dengan begitu cepat melalui proses interaksi langsung maupun di jejaring sosial yang berlangsung tiada henti. Namun harus diakui, pola hubungan budaya itu ibarat raksasa dengan kurcaci. Tidak akan seimbang antara budaya global yang menjadi pusat (tren) dengan budaya pinggiran.

Generasi saat ini hidup dalam dunia yang serba ada, dengan beragam jenis norma, ideologi, falsafah dan nilai hidup. Mirip halnya dengan sajian makanan yang melimpah, tinggal memilih, mana yang sesuai selera. Namun selalu ada menu yang paling istimewa, serba Barat, yang menawarkan sejumlah kenikmatan dan kemewahan yang didambakan. Padahal sekedar kamuplase, seolah-olah mampu mengikuti tren zaman. “Mesin hasrat” siap memerangkap, menjadikan manusia hedonis dan materialistis, karena memang, keinginan itu tak berbatas.

Lihatlah, kaum remaja bahkan orang dewasa di seluruh dunia, setiap bulan Februari, persisnya tanggal 14, banyak yang merayakan hari kasih sayang (valentine’s day). Televisi menyiarkan tayangan khusus valentine’s day. Pun demikian dengan radio dan media massa lainnya. Kafe-kafe menyiapkan paket khusus untuk pasangan muda-mudi yang akan merayakannya. Hotel menawarkan paket honeymoon yang super romantis, plus sejumlah diskonnya. Demikian pula, pusat perbelanjaan, menyediakan promo dan diskon khusus. Cukup Anda ketikkan kata itu di google, informasi acara yang ditawarkan di seluruh dunia terkait dengan perayaannya dapat diakses. Sementara di media sosial, valentine’s day ramai dibahas berikut berbagai ucapan selamat yang disampaikan.

Namun ironis, di tengah riuh rendahnya hari kasih sayang, terjadi anomali. Paradoks sosial yang ditunjukkan dengan teror, kriminalitas menghantui dan rasa aman yang hilang. Kedamaian pun menjadi perkara mahal. Kakak tega membunuh adiknya. Ibu tega menyiksa dan meninggalkan anaknya, ayah dengan sadis membunuh anaknya, beserta berbagai perbuatan keji lainnya.

Bukan hanya kekerasan fisik, kekerasan tidak terlihat (soft violence) seperti korupsi juga marak. Korupsi adalah kekerasan yang membunuh nasib dan masa depan jutaan anak bangsa. Merengut nasib di masa depan kaum tak berpunya, fasilitas publiknya mahal, akibat dicuri oleh penjahat berdasi.

Jika pun hari kasih sayang itu dirayakan, masih sekedar produk kapitalisme yang dengan kecanggihannya berpromosi, menyedot antusiasme palsu, hampa makna. Salah kaprah terjadi, valentine’s day dimaknai negatif, hari yang membolehkan prilaku seks bebas. Bukankah seks bebas juga merupakan kekerasan?

Valentine’s day adalah buah dari globalisasi budaya pop. Budaya ini akan terus ada tanpa menghiraukan fatwa pemuka agama. Beserta valentine’s day, triliunan uang beredar,  ikut serta tradisi membeli coklat, tayangan televisi, hadiah warna pink dan beragam tradisi yang saling mengimitasi.
Menebar Kasih

Setiap detik, menit, jam dan hari adalah saatnya memberikan kasih sayang kepada sesama tanpa kecuali. Modal sosial-kulturalnya adalah rasa kasih sayang dan hormat menghormati. Kasih sayang adalah sikap melayani manusia dan alam tanpa kecuali. Manusia dan alam ini adalah satu kesatuan. Manusia dan alam  adalah bagian dari pancaran kasih sayang-Nya.
Melayani meniscayakan hilangnya rasa benci dan ikhlasnya memberi. Bukankah itu yang diajarkan oleh para nabi dan rasul dari setiap agama. Demikian pula kita belajar dari Ahmad Dahlan, Bunda Teresa, Nelson Mandela, Gus Dur dan tokoh pejuang kemanusiaan lainnya.

Melayani berarti berdedikasi kepada semua yang dicintai. Ras, agama, suku, dan golongan hanyalah warna indah yang ada secara lahiriah. Bukan sebagai pembeda yang menyebabkan adanya sekat cinta. 

Seks adalah ungkapan kasih sayang yang harus dilakukan pada waktu dan pasangan yang tepat. Diaturlah dalam bentuk perkawinan. Tujuannya agar lahir keturunan yang akan melanjutkan peran memakmurkan dunia (khalifah dan hamba).

Pada level negara, kasih sayang harus diimplementasikan dalam kebijakan yang berpihak kepada yang miskin dan tertindas. Negara dengan dominasinya punya kemampuan untuk menebar kasih sayang. Jika ketidakadilan yang diterapkan, negaralah pelaku utama kekerasan yang nyata dan biangkerok wabah kekejian menyebar dan merakyat.

Harapan itu kini ditambatkan kepada pemuka agama dan pelaku kewirausahaan sosial (socialpreneurship). Sebagai nilai hidup yang ada pada setiap manusia, agama idealnya menjadi penebar kasih sayang, bukan sebaliknya. Jika pun berperang melawan kezaliman, janganlah kebencian ikut menyertainya. Sebagaimana diteladankan oleh Sayyidina Ali R.A yang batal menebas leher seorang kafir dalam sebuah perang, karena meludahi beliau terlebih dahulu. Menantu Rasulullah SAW  itu takut kebencian sebagai dasar tindakannya.
Islam bertujuan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tidak lah beriman seseorang jika tidak mencintai saudaranya bahkan tetangganya seperti mencintai dirinya sendiri.

Umat Kristiani diajarkan untuk menebar kasih. Agama Budha mengajarkan kewajiban memancarkan metta (kasih sayang dan cinta kasih) kepada semua makhluk tanpa kecuali. Jangan membedakan bangsa, suku, agama dan rasnya. Demikian pula kepada hewan, semuanya harus dikasihi. Demikian pula agama Hindu dan lainnya. Bahkan Sidang Umum PBB menetapkan sejak Februari 2011 menetapkan minggu pertama Februari sebagai pekan kerukunan antar umat beragama sedunia.

Dengan demikian, agama dalam praktik kesehariannya harus menjadi kekuatan utama melawan segala bentuk kekerasan.  Pemuka agama dan para akademisi bidang agama memiliki peran penting untuk merumuskan teologi cinta. Pendekatan teologi ini  sebagai pemahaman agama yang tidak saja harus mampu menanamkan nilai kasih pada setiap pemeluknya, pendorong utama pelaku aktif perdamaian, namun mampu menjadi media kesepahaman dan harmonisasi antar agama di dunia.

Tentu saja, untuk menguatkannya, dibutuhkan keteladanan. Bukan hanya dari para elit politik, kaum akademisi dan agamawan, tapi lebih utamanya dari orang tua. Keluarga lah tempat pertama pendidikan kasih sayang. Ayah, ibu, kakak dan anggota keluarga lainnya dalam keluargalah yang idealnya menanamkan nilai kasih sayang sebagai praktik keseharian. Kasih sayang yang disertai dengan penanaman nilai kejujuran, keterbukaan, keberanian dan mencintai kebenaran. Wallâhu’alam

Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, bergiat di Mien R Uno Foundation Jakarta

Sumber, Pikiran Rakyat 8 Februari 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter