Tarekat Moderasi “Sang Kyai”

Lewat film “Sang Kyai”, KH Hasyim Asy’ari sebagai tokoh utama yang diperankan de­ngan apik oleh Ikranegara sesungguhnya hendak menunjukan sebuah ­makna bahwa NKRI adalah bentuk ­final dari format keindonesiaan yang dengan susah payah telah diperjuang­kaan oleh kaum pergerakan dan seluruh rakyat dengan darah dan airmata.

Jadi mempertahankannya bukan hanya, dalam terminologi K.H. Hasyim Asy’ari, fardu kifayah namun fardu ain, dan mereka yang mati di medan laga dalam mempertahankan keutuhan NKRI yang hendak direbut kembali oleh Belanda dan sekutunya adalah syahid sebagaimana ditulis dalam “resolusi jihad”. Dalam konsep fiqh syahid adalah kematian sebagai martir yang akan dibalas dengan surga Tuhan.

Inilah yang kemudian menjadi garis politik ormas terbesar Indonesia Nahda­tul Ulama: garis moderat. Moderasi menjadi pilihan jalan kenegaraan dan keberagamaan. Tidak tergerak dalam pesona “politik kanan” yang selalu menawarkan fantasi “negara” sebagai adaptasi dari model siyasah Timur Tengah sebagai cangkokan pola fikih politik abad perte­ngahan di mana wilayah di belah menjadi dua kekuatan yang dipertentangkan: ka­wasan Islam (Darul Islam) dan kawasan musuh (Darul harbi). Tidak juga terpikat tawaran “politik kiri” yang menawarkan pesona sosialisme ekstrem di mana negara memiliki kuasa penuh untuk me­ngontral hak milik sekaligus hak politik seluruh warganya yang ternyata sekarang mengalami kebangkrutan total.

Jalan tengah yang kemudian diekpresikan dalam wujud kesediaan menerima Pancasila sebagai ideologi negara, sebagai titik temu (kalimatun sawa) dari berbagai kepentingan, dari keragaman budaya, ras agama, dan bahasa. Pancasila sebagai payung berbangsa di mana semua komponen umat dan etnik berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Muktamar Situbondo pada tahun 1984 dengan jelas menyatakan pancasila sebagai dasar final negara, di samping komitmen untuk kembali ke khitah 1926.

“Prosa politik” jalan tengah seperti ini yang digemakan K.H. Ha­syim Asy’ari dan kemudian menjadi garis ormas NU kalau kita renungkan sesungguhnya adalah kelanjutan dari puisi Moham­mad Yamin yang diikrarkan dalam peristiwa Sumpah Pemuda justru jauh sebelum “Indonesia” ditemukan, sebelum Indonesia terdefinisikan sebagai negara dengan kedaulatan penuh yang diakui oleh bangsa-bangsa lain, justru ketika Indonesia masih berada dalam “imaji sosial” belum menjadi sebuah fakta historis, “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”

Komitmen kebangsaan

Tentu saja “resolusi jihad” yang dige­lorakan Sang Kyai yang menjadi penyulut peristiwa yang dikenal de­ngan hari pahlawan adalah tanda utama tentang komitmen Sang Kyai yang tidak disang­sikan lagi terhadap negara. Sebagai pri­badi yang anti terhadap segala bentuk kolonialisme. Tarekat yang dijalaninya tidak hanya sekadar kesediaan membela agama, tapi juga bela negara.

Bagaimana Sang Kyai ketika Jepang mengambil alih kekuasaan, dengan sangat tegas menolak saikerei yaitu kewajiban memberikan penghormatan kepada dewa Matahari dan Kaisar Hirohito setiap pukul 07.00. Bagaimana Sang Kyai di depan forum Masyumi dengan lantang berpidato (Zuhairi Misrawi, 2013),

“Belanda telah mempermainkan kehormatan negeri kita dan membuat rusuh tentang hasil kekayaan negeri kita. Mereka mengambilnya itu tidak terkira-kira, lalu dikirimkannya ke negeri mereka dengan tidak mempedulikan perasaan kita. Negeri kita adalah ternama di seluruh dunia karena kekayaan dan kesuburannya. Hasil produknya tidak terhitung. Sungguh pun begitu, bangsa kita hidup di bawah pemerintahan Belanda dalam kemelaratan yang hebat dan kesempitan hidup yang tidak ada bandingannya. Malah mereka hampir-hampir tidak dapat memperoleh makanan untuk penahan keluarnya nyawa mereka dan yang dapat memberi tenaga badan mereka”.

Disebutkan juga bahwa salah satu ciri kelicikan Belanda dan sekutu da­lam melancarkan niat busuk menca­plok kembali negara Indonesia adalah dengan cara melumpuhkan peran dan funsgi ulama, dengan mengkerdilkan para kyai, dan mengadu domba mereka serta meruntuhkan wibawanya di tengah masyarakat. Belanda sangat faham banwa kyai memiliki posisi yang sangat dekatdengan umat dan sangat potensial menggerakkan ma­sya­rakat melakukan perlawanan terhadap kaum penjajah. Dilanjutkannya pidato di depan sidang Masyumi itu, “Belanda tahu bahwa ulama ada­lah pengajar-pengajar umat Islam dan pemimpin-pemimpinnya. Maka, Belanda berusaha sungguh-sungguh akan mencerai beraikan antara ulama”.

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyaban­diyah KH Hasyim Asyari yang ketika ber­mu­kim di Mekkah banyak berguru ke­pa­da Syekh Mahfudz Termas, Syekh Mahmud Khatib al-Minangkabawy, Imam Nawawi al-Bantany, Syekh Sya­tha, Syekh Dagistany, Syekh al-Alla­mah Abdul Hamid al-Darustany, dan Syekh Muhammad Syuaib al-Maghriby terca­tat sebagai ikhwan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Sebuah tarekat “mu’­ta­barah” yang merupakan paduan antara tarekat Qadiri­yah (didirikan Syekh Abdul Qadir al-Jilani) dan Naqsyaban­diyah (pendiri­nya an-Naqsyabandi) yang dikembangkan oleh Syekh Khatib Sambas (nama lengkapnya: Ahmad Khatib ibn Abdul Gaffar al-Sambasi al-Jawi dan wafat di Mekah tahun 1878 M).

Ajaran tarekat Sang Kyai ini di antaranya tergambarkan dalam dua buku karyanya al-Durar al-Muntathirah fi al-Masail al-Tisa Asyarah dan al-Tibyan fi an-Nahyi an Maqalat al-Arham wa al-Aqarib wa al-Akhwan .

Tarekat yang digenggamnya seperti itu adalah “tarekat moderen” yang salah satunya ditandai dengan aktivitasnya dalam kehidupan sosial-politik. Berta­rekat bukan sebagai ekspresi beragama yang lari dari keramaian namun justru terlibat dalam kegaduh­an kehidupan nyata dengan visi yang jelas. Visi yang dilandaskan kepada keagungan akhlak dan perangai luhur.

Semacam garis tarekat moderat yang secara geneologis adalah kelanjutan da­ri mataair tasawuf yang di­kembang­kan al-Ghazali yang lahir sebagai kritik terhadap kecenderungan “tasawuf radi­kal” yang pernah dikembangkan Abu Yazid al-Bustami (746-877 M) dan al-Hallaj (858-921 M).

Menjadi sangat dipahami juga kalau dalam bernegara K.H. Hasyim Asy’ari dan NU (pesantren) pun mengambil garis politik moderat tanpa harus kehilangan jatidiri dan independensinya.

Penulis, Dosen UIN SGD Bandung.

Sumber, Galamedia 28 Juni 2013

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter