Taqwa dan Implikasinya terhadap Pendidikan

A. Langkah-langkah Metodologis

Untuk bisa menjelaskan implikasi taqwa terhadap pendidikan, penulis menempuhnya melalui tiga cara, yaitu : Pertama; mengumpulkan ayat-ayat Alqur’an yang berkenaan dengan taqwa, mengelompokkan dan memberi makna berdasarkan tema, kemudian mengambil inti sari (essensi) makna taqwa. Kedua; memahami landasan filosofis, teoritis, dan hakekat pendidikan; dan ketiga, menjelaskan hubungan makna taqwa yang dimaksud dalam Alqur’an dengan yang menjadi prinsip dasar atau hakekat pendidikan. Berdasarkan tiga langkah dan alur pikir inilah penulis menyusun makalah ini.

B. Ayat-Ayat Alqur’an Yang Bertemakan Taqwa

Kata taqwa yang terulang dalam Alquran sebanyak 17 kali, berasal dari akar kata waqa’ – yaqiy yang menurut pengertian bahasa berarti antara lain, ‘menjaga, menghindari, menjauhi’ dan sebagainya. Kata taqwa dalam bentuk kalimat perintah terulang sebanyak 79 kali, ‘Allah’ yang menjadi objeknya sebanyak 56 kali, neraka 2 kali, hari kemudian 4 kali, fitnah (bencana) 1 kali, tanpa objek 1 kali. Sedangkan selebihnya yakni 15 kali, objeknya bervariasi seperti rabbakum (Tuhanmu), al-ladzi khalaqakum (yang menciptakan kamu), al-ladzi amaddakum bi ma ta’malun (yang menganugerahkan kepada kamu anak dan harta benda) dan lain-lain. Redaksi-redaksi tersebut semuanya menunjuk kepada Allah swt. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada umumnya objek perintah bertakwa adalah Allah swt. Sedangkan istilah Muttaqien adalah bentuk faa’il (pelaku) dari ittaqa suatu kata dasar bentukan tambahan (mazid) dari kata dasar waqa, yang biasanya diterjemahkan menjadi “orang yang menjaga diri untuk menyelamatkan dan melindungi diri dari semua yang merugikan”. Jadi secara keseluruhan kata muttaqien adalah menjaga diri untuk menyelamatkan dan melindungi diri dari semua yang merugikan yaitu dari kema-shiyatan, syirk, kemunafikan dan sebagainya.

1. Pengertian

Sebagaimana dikemukakan di atas, secara bahasa, arti taqwa bisa berarti ”menjaga, menghindari, menjauhi”; dan ada juga yang mengartikan dengan ”takut”. Dengan mengambil pengertian ”takut”, maka taqwa berarti ”takut kepada Allah”. Karena ketakutan ini, maka ia harus mematuhi segala ”perintah Allah” dan ”menjauhi segala larangan-Nya”. Pengertian ini, misalnya, terungkap pada salah satu ayat yang sangat populer, karena sering dikumandangkan pada pengajian-pengajian keagamaan dan khutbah-khutbah jum’ah, yaitu dalam surat Ali Imran/3:102 yang berbunyi :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”

               Berdasar kepada ayat di atas yang mengartikan taqwa dengan ”takut”, maka dalam beberapa literatur berbahasa Inggris, taqwa juga sering diartikan sebagai ”God-fearing”, orang yang takut kepada Tuhan.[1] Namun dalam Al-Qur`an, kata ”takut” telah memiliki padanan, yaitu “khasyiya” dan “khawf”, misalnya terungkap dalam surat An-Nisa/4:9 sebagai berikut :

”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

 

               Nampak, bahwa ada nuansa perbedaan antara ”takut” dan ”taqwa”, dimana penggunaan istilah taqwa dalam ayat di atas, lebih cenderung kepada suatu sikap etis atau norma-norma yang harus dilakukan manusia. Orang-orang yang beriman dan mengikuti petunjuk Allah, justru akan dijauhkan dari ketakutan atau suasana ketakutan. Sebagaimana terdapat dalam surat Albaqarah/2:38

”Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Demikian pula dalam surat Al-Ahqaaf/46:13 :

”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.”

Adapun pengertian taqwa dari akar kata yang bermakna ”menghindar, menjauhi, atau menjaga diri”, M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kalimat perintah ”ittaqullah” yang secara harfiah berarti ”hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah”, tentu makna ini tidak lurus dan bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Sebab, bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhiNya, sedangkan ”Dia (Allah) bersama kamu dimana pun kamu berada”. Karena itu, perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya, kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertaqwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah, baik di dunia maupun akhirat.[2] Dalam surat Al-Furqan/25:15 Allah menegaskan :

”Katakanlah: “Apa (azab) yang demikian itukah yang baik, atau surga yang kekal yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa?” Dia menjadi balasan dan tempat kembali bagi mereka?.”

Dengan demikian, pangkal dari taqwa adalah ”perintah dan larangan” Allah yang ditujukan kepada manusia beriman, sehingga muncul kesadaran untuk ”takut” akan siksa Allah kalau tidak melaksanakan segala perintahNya, ”menghindari siksa Allah dengan cara melaksanakan perintahNya, dan senantiasa ”menjaga” serta ”memelihara” untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya.

2. Martabat Dan Peran Manusia

Ayat-ayat Alqur’an yang bertemakan taqwa tersebut pada umumnya sangat berhubungan erat dengan “martabat” dan “peran” yang harus dimainkan manusia di dunia, sebagai bukti keimanan dan pengabdian kepada Allah. Misalnya, ayat Alqur’an yang berkaitan dengan masalah ini terungkap dalam Surat Alhujarat/49: 13 sebagai berikut :

”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dalam ayat tersebut, taqwa dipahami sebagai “yang terbaik menunaikan kewajibannya”[3]. Maka, manusia “yang paling mulia dalam pandangan Allah” adalah “yang terbaik dalam menjalankan perintah dan meninggalkan laranganNya”. Inilah yang menjadi salah satu dasar kenapa Allah menciptakan langit dan bumi yang menjadi tempat berdiam makhluk-Nya serta tempat berusaha dan beramal, agar nyata di antara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah, sebagaimana terungkap dalam Alqur’an di bawah ini :

Surat Huud/11: 7

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.. “

Surat Al-Mulk/67: 2

”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Al-Maidah/5:48 :

…وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

” Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”

3. Iman Dan Ketaqwaan

Istilah dan penggunaan kata taqwa selalu diawali atau bergandengan dengan kata ”iman”, seperti surat Ali Imran/3:102 di atas, juga perintah puasa.[4] Ini menunjukkan bahwa orang bisa melaksanakan ketaqwaan karena atas dasar keimanannya. Sehingga, dalam konteks ketaqwaan inilah maka kita bisa memahami, mengapa keimanan sesorang bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu, dengan beriman dan bertaqwa, Allah menjanjikan hilangnya ketakutan dan kekhawatiran untuk melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Dalam surat Al-Anfaal/8:29 ditegaskan Allah :

”Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

Juga, dalam surat Al-Baqarah/2:58 menegaskan :

”Kami berfirman : tinggalkan keadaan seperti ini, sesungguhnya akan datang kepada kamu petunjuk dariKu. Barangsiapa mengikuti petunjukKu, akan lenyap segala ketakutan dan tak ada pula kesusahan.”

Karena keimanannya itu, maka dalam An-Naba/78:31 Allah berfirman :

”Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan”

Ketakutan, sebagaimana terhadap kelaparan dan kehilangan harta, jiwa, dan lain sebagainya, yang dinyatakan dalam Alqur’an surat Al-Baqarah/2:155[5], sebagai cobaan bagi orang-orang yang mampu bersikap sabar. Ada 12 ayat yang menyatakan hal seperti itu dengan kasus yang berbeda. Dalam Alqur’an surat al-A’raf/7:35 malahan dinyatakan bahwa keadaan seperti itu, yaitu tiadanya suasana ketakutan dan kesengsaraan :

“Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Terdapat pula orang-orang yang bertaqwa dan berbuat baik, misalnya, melakukan shadaqah, menghindarkan diri berkata yang menyakitkan hati orang dan mengucapkan kata-kata yang manis, seperti terdapat dalam surat Al-Baqarah/2:262 :

”Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Maka, orang yang bertaqwa (muttaqin), adalah orang yang selalu menjaga dirinya dari perbuatan dosa dengan satu pedoman dan petunjuk Alqur’an sehingga bisa mengembangkan kemampuan rohani dan kesempurnaan diri. Mirza Nashir Ahmad dalam terjemahan the Holy Qur’an-nya, menyebut orang yang bertaqwa adalah orang yang memiliki mekanisme atau daya penangkal terhadap kejahatan yang bisa merusak diri sendiri dan orang lain.[6] Sementara, dalam ayat lain muttaqin menunjukkan kepada orang bijak, soleh, jujur, dan bertanggung jawab. Dalam surat Al-Maidah/5:93 ditegaskan :

”Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Perintah Allah berbuat baik dan menjauhi larangan, adalah sejalan dengan potensi yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya : ”sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” [7],sehingga memiliki kemungkinan-kemungkinan yang besar untuk maju dan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya : ”Tiap-tiap orang bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya” [8].
4. Beberapa Ciri-ciri Orang Bertaqwa Dalam Alqur’an

Berdasarkan beberapa ayat Alqur’an, ada beberapa ciri orang bertaqwa, diantaranya : 1) beriman dan meyakini tanpa keraguan bahwa Alqur’an sebagai pedoman hidupnya[9]; 2) beriman kepada perkara-perkara yang gaib; 3) mendirikan sembahyang; 4) orang yang selalu membelanjakan sebahagian dari rezeki yang diperolehnya[10]; 5) orang yang selalu mendermakan hartanya baik ketika senang maupun susah; 6) orang yang bisa menahan amarahnya, dan mudah memberi maaf[11]; 7) mensyukuri nikmat Allah yang telah diterimanya, karena Allah mengasihani orang-orang yang selalu berbuat kebaikan[12]; 8) takut melanggar perintah Allah[13]; 9) oleh karena itu, tempat mereka adalah surga sesuai dengan yang dijanjikan Allah, dan tempatnya tidak jauh dari mereka. [14]

5. Taqwa Dan Implikasi Kemanusiaan

Taqwa menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi, sebagaimana dikemukakan dari sejumlah ayat-ayat Alqur’an di atas, memiliki makna dan implikasi kemanusiaan yang sangat luas. Nilai-nilai kemanusiaan sebagai akibat ketaqwaan itu diantaranya :

    Berilmu; dalam Alqur’an pada prinsipnya taqwa berarti mentaati segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Setiap perintah Allah adalah ’kebaikan’ untuk dirinya; sebaliknya setiap larangan Allah apabila tetap dilanggar maka ’keburukan’ akan menimpa dirinya. Maka, dalam konteks ini, taqwa menjadi ukuran baik tidaknya seseorang, dan seseorang bisa mengetahui ”baik” dan ”tidak baik” itu memerlukan pengetahuan (ilmu).
    Kepatuhan dan disiplin; taqwa menjadi indikator beriman tidaknya seseorang kepada Allah. Sebab, setiap ”perintah” dan ”larangan” dalam Alqur’an selalu dalam konteks keimanan kepada Allah. Oleh karena itu, secara sederhana, setiap orang yang mengamalkan taqwa kepada Allah pasti ia beriman; tapi, tidak setiap orang beriman bisa menjalani proses ketaqwaannya, yang diantaranya disebabkan oleh faktor ”ketidaktahuan” dan ”pembangkangan”. Maka, iman, islam, dan taqwa dalam beberapa ayat selalu disebut sekaligus, untuk menunjukkan integralitas dan mempribadi dalam diri seseorang.
    Sikap hidup dinamis; taqwa pada dasarnya merupakan suatu proses dalam menjaga dan memelihara ”hubungan baik” dengan Allah, sesama manusia, dan alam. Karena berhadapan dengan situasi yang berkembang dan berubah-ubah, maka dari proses ini manusia taqwa membentuk suatu cara dan sikap hidup. ”Cara” dan ”sikaphidup” yang sudah dibentuk ini, secara antropologis-sosiologis menghasilkan etika, norma dan sistem kemasyarakatan ( kebudayaan).
    Kejujuran, keadilan, dan kesabaran; tga hal ini merupakan bagian yang ditonjolkan dalam ayat-ayat taqwa. Kejujuran, keadilan, dan kesabaran merupakan dasar-dasar kemanusiaan universal. Dalam konteks ini, kesabaran dipahami sebagai keharmonisan dan keteguhan diri dalam menghadapi segala cobaan hidup.

Empat poin di atas, merupakan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang terrdapat dalam nilai-nilai taqwa. Dengan demikian, taqwa merupakan dasar-dasar kemanusiaan universal yang nilai-nilainya tidak mutlak dimiliki oleh Muslim, tetapi oleh seluruh manusia yang berada pada jalur atau fitrah kemanusiaannya. Karena memiliki nilai-nilai kemanusiaan universal, maka taqwa bisa berimplikasi kepada seluruh sektor dan kepentingan hidup manusia, termasuk didalamnya sektor pendidikan

B. Prinsip Pendidikan

1. Hakekat Dan Tujuan Pendidikan

Secara filosofis, pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, sehingga dengan nilai ini bisa membantu dalam menjalani proses kehidupannya, yang sekaligus juga untuk menghasilkan, mengisi, memelihara, dan memperbaiki peradabannya. Dalam konteks ini, maka dasar pendidikan berkaitan dengan kepentingan dan cita-cita kemanusiaan universal. Dalam prosesnya, pendidikan merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.

Atas dasar itu, setiap pendidikan yang sedang berlangsung untuk mengembangkan potensi diri dan memperbaiki peradabannya itu, sudah barang tentu memiliki paradigma, yaitu suatu ’cara pandang’ pendidikan dalam memahami dunia’ (world view). Setiap paradigma mencerminkan ’cara pandang’ masyarakat dimana pendidikan itu berlangsung. Oleh karena itu, setiap masyarakat, bangsa, maupun negara, masing-masing memiliki paradigma pendidikan sesuai dengan ’cara pandang’ masyarakat atau negara bersangkutan terhadap dunianya. Berkenaan dengan paradigma pendidikan itu, maka bangsa Indonesia adalah bangsa atau masyarakat relijius yang diakumulasikan dalam rumusan Pancasila dan UUD’45. ”Seharusnya”, dari paradigma inilah sistem pendidikan Indonesia terumuskan.

Dengan merujuk kepada beberapa prinsip dasar taqwa dan hakekat serta tujuan pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, maka taqwa bukan saja hanya memiliki nilai implikatif kepada proses pendidikan, tetapi taqwa harus menjadi paradigma pendidikan, baik dalam dasar-dasar filosofisnya, proses, maupun tujuannya. Oleh karena itu, ada beberapa prinsip taqwa yang berimplikasi kepada pendidikan, diantaranya :

Pertama; Dasar taqwa adalah Alqur’an yang berfungsi sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus[15]. Rasulullah bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk itu, dengan menyucikan dan mengajarkan manusia.[16] Menurut Qurais Shihab, menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika. Tujuan yang ingin dicapai adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yaitu beribadah.[17]

Kedua; berkenaan dengan hakekat dan tujuan pendidikan, maka, pada dasarnya taqwa merupakan hakekat dari tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu membina manusia sehingga mampu menjalankan fungsinya dalam membangun peradaban manusia. Di sini, taqwa mendorong manusia untuk memperoleh ilmu sebagai modal dalam mengembangkan potensi dirinya dan bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dengan baik dan harmonis sesuai dengan kapasitas serta keahliannya.

Ketiga; oleh karena itu, nilai-nilai taqwa bukan saja sejalan dengan hakekat dan tujuan pendidikan, tetapi sekaligus juga taqwa harus menjadi paradigma pendidikan. Paradigma ini adalah menyangkut dasar filosofi, arah, proses, dan tujuan pendidikan. Maka, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berparadigma taqwa.

Keempat; sejalan dengan paradigma taqwa itu, maka tujuan ideal pendidikan Islam adalah manusia sempurna (insan kamil), yaitu manusia yang memiliki keunggulan jasmani, akal, dan kalbu. Ketiga aspek potensi manusia ini tiada lain adalah manusia taqwa, yang secara serasi dan seimbang mesti dikembangkan melalui pendidikan.[18]

Paradigma taqwa yang dikembangkan Pendidikan Islam, secara konseptual prinsip-prinsipnya dapat dikemukakan di bawah ini :

    Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan perintah kewajiban agama, sehingga proses pendidikan dan pembelajaran menjadi fokus yang sangat bermakna dan bernilai dalam kehidupan manusia.
    Seluruh pola rangkaian kegiatan pendidikan dalam konsep Islam adalah merupakan ibadah kepada Allah. Dengan demikian, pendidikan menjadi kewajiban individual dan kolektif yang pelaksanaannya dilakukan melalui pendidikan formal dan nonformal. Kerena bernilai ibadah, maka pendidikan Islam harus bermuara pada pencapaian penanaman nilai-nilai Ilahiyah dalam seluruh bangunan watak, perilaku, dan kepribadian para peserta didik.
    Islam memberikan posisi dan derajat yang sangat tinggi kepada orang-orang terdidik, terpelajar, sarjana, dan ilmuwan. Dengan demikian, kegiatan pendidikan memegang peranan penting dan kunci strategis dalam menghasilkan orang-orang tersebut.
    Seluruh proses kegiatan pembelajaran dan aktivitas pendidikan dalam konsep dan struktur ajaran Islam berlangsung sepanjang hayat (life long education).
    Seluruh proses prembelajaran dan pola pendidikan dalam konstruk ajaran Islam adalah bersipat dialogis, inovatif, dan terbuka. Artinya, Islam dapat menerima khazanah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dari mana saja.[19]

2. Taqwa Dan Sistem Pendidikan Indonesia

Pendidikan nasional adalah berdasarkan Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan yang maha esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa. Jelaslah, taqwa menjadi parameter pendidikan Indonesia. Untuk itu, ada beberapa poin yang menjadi masalah pendidikan Indonesia jika dikaitkan dengan paradigma taqwa itu, diantaranya :

Pertama; Iman dan Taqwa (Imtaq) baru menjadi tema besar yang masih menjadi angan-angan dalam sistem pendidikan di Indonesia, dan belum menjadi paradigma sistem pendidikan kita. Tampaknya, Imtaq dalam sistem pendidikan kita baru bisa menjadi semboyan dan ’simbolisme’ pendidikan; hanya untuk sekedar memberikan statement bahwa sistem pendidikan Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD’45. Tujuan pendidikan Indonesia untuk ”mencerdaskan bangsa”, tidak salah dan sudah tepat. Tetapi, bagaimana pendidikan itu bisa mencapai tujuan tadi? Mungkin saja tujuan bisa tercapai kalau hanya sekedar ”mencerdaskan bangsa”, tetapi bertolak belakang dengan idealisme, nasionalisme, dan jiwa keagamaan sebagaimana diamanatkan bangsa yang kemudian dituangkan dalam Pancasila dan UUD’45. Dengan memahami yang menjadi ruh dan semangat Pancasila dan UUD’45 itu adalah keimanan dan ketaqwaan, maka seharusnya Imtaq menjadi paradigma dalam sistem pendidikan, yang kemudian diturunkan dalam perumusan sistem dan kebijakan pendidikan, baik pada aspek manajemen kelembagaan, penyusunan kurikulum dan silabi, maupun pada aspek pembinaan dan proses belajar mengajar yang Islami (ketaqwaan). Apakah adanya dikhotomi pendidikan umum dan pendidikan agama merupakan cerminan dari paradigma taqwa? Atau juga, dengan adanya mata pelajaran ”Pendidikan Agama Islam” di sekolah-sekolah tingkat dasar s.d. perguruan tinggi mencerminkan paradigma taqwa? Sekalipun baru wacana, maka merumuskan paradigma Imtaq yang bisa dijadikan sistem pendidikan Indonesia adalah merupakan tugas kita semua.

Kedua; jika taqwa menjadi paradigma sistem pendidikan kita, maka yang perlu kita lakukan adalah : 1) merumuskan nilai-nilai taqwa untuk menjadi ”pilar” sistem pendidikan Indonesia dan ”memayungi” setiap kebijakan pendidikan dan proses belajar mengajarnya; 2) membenahi dan merumuskan kembali yang menjadi ’struktur keilmuan Islam’ atau ”ilmu-ilmu keislaman”. Hal ini untuk menghindari kesan yang selama ini ada, bahwa ”pendidikan Islam” tempatnya ada pada pendidikan/sekolah-sekolah agama dan terkesan eksklusif, seolah-olah Islam tidak memiliki struktur keilmuan yang jelas dan mapan. Mengikuti pemikiran Zainuddin Sadar, Hasan Hanafi, Arkoun, Nurcholish Madjid, Azyumardi, Amin Abdullah, dan banyak lagi, semuanya memiliki pandangan yang sama bahwa Islam memiliki ’struktur keilmuan’ tersendiri yang bersumberkan kepada Alqur’an dan As-Sunnah, sebagaimana tampak dari warisan para intelektual Muslim dahulu. Dalam konteks inilah, ”Islamisasi pengetahuan” digulirkan, karena disadari bahwa Islam pun mengandung dan melahirkan keilmuan; 3) Oleh karena itu, dalam merumuskan sistem pendidikan itu, maka imtaq harus menjadi landasan filosofisnya. Tentu saja, yang kita lakukan bukan hanya merumuskan aspek material semata – karena memang sudah lengkap, sebagaimana terdapat dalam Alqur’an dan As-Sunnah – tetapi secara metodologis kita harus merumusankannya dalam satu bangunan konsep yang jelas tentang imtaq yang akan dijadikan sebagai paradigma pendidikan kita.

Wallahu a’lam

———————

Kepustakaan

Soedewo PK, Keesaan Ilahi, Daarul Kutubil Islamiyah, tanpa tahun,Bogor

Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, cetakan II 1996

 

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, Cet.XIV 1997

 

Jurnal Himmah vol.VI N0.15, STAIN, Palangkaraya, 2005

Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam Di Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas, Bakti Aksara Persada, , Jakarta, 2003

Alqur’an Dan Terjemahannya, Depag RI

[1] Lihat, Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. 155

[2] Ada dua macam siksa : siksa di dunia dan siksa di akhirat. Siksa dunia akibat pelanggaran hukum-hukum Allah yang telah ditetapkanNya berlaku di alam raya ini. Sedangkan siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat. Lihat; M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, cetakan II 1996, hal. 531

[3] Soedewo PK, Keesaan Ilahi, Daarul Kutubil Islamiyah, tanpa tahun, Bogor, hal. 115

[4] Q.S.Albaqarah/2:183

[5] ”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”

[6] Dawam Rahardjo, Op.Cit, hal. 159

[7] Q.S. 95 (At-Tiin) : 4

[8] Q.S. 52 (Ath-Thuur) :21

[9] Al-Baqarah/2:2

[10] Al-Baqarah/2:3

[11] Ali Imran/3:134

[12] Ad-Dzariyat/51:16

[13] Qaaf/51:33

[14] Qaaf/50:31

[15] Q.S.Al-Israa/17 : 19

[16] Q.S. Al-Mulk/67 : 2

[17] Al-Dzariyat/51:56; Lihat pula, M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, Cet.XIV 1997, hal. 172

[18] Normuslim MZ, ”Pendidikan Islam : Konsep Dasar, Paradigma, Prinsip, dan Ciri Kurikulum”, dalam Jurnal Himmah vol.VI N0.15, STAIN Palangkaraya, 2005, hal. 19

[19] Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam Di Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas, Bakti Aksara Persada, , Jakarta, 2003, hal. 7

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *