Tanah Suci, Bukan Orang Suci

“Tanah suci, bukan orang suci”. Ungkapan tersebut seringkali diingatkan dan terus disebut diberbagai kesempatan, terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah haji dan umrah, baik ketika manasik di tanah suci maupun ketika tengah di negara saudi.

Pertama, Kenapa tanah suci? Sebab, pelaksanaan ibadah haji dan umrah sudah dipastikan mengunjungi tanah suci, baik Mekkah al-Mukarromah maupun Madinah al-Munawwaroh. Kedua kota/tempat suci tersebut dijaga kesuciannya bukan saja oleh Pemerintah Arab Saudi melalui Raja (Khadimul al-Haromain al-Syarifain), melainkan juga lebih dijaga ‘ketat’ oleh para Malaikat-Malaikat Allah swt. Oleh karena itu, bagi yang pernah berkunjung kesana paling tidak pernah melihat batas-batas tanah haram dan batas tanah halal. (dalam bimbingan doa terdapat doa masuk tanah haram). Kenapa disebut tanah haram? Dalam litarur klasik sebutkan beberapa alasan : (1). Tanah yang diharamkan orang-orang non-muslim masuk ke dalamnnya; (2). Tanah yang diharamkan terjadi pertempuran; (3). Tanah yang diharamkan terjadinya pembunuhan. Di beberapa papan pengumuman dan tanda lalulintas tanda arah baik ke Masjidil Haram Mekah maupun ke Masjid Nabawi Madinah selalu tertulis al-Haram. Hal tersebut menunjukan bahwa kedua masjid tersebut meruapakan ‘sentral’ dari kegiatan di tanah haram, baik bagi orang yang melaksanakan ibadah haji maupun umrah.

Kedua, mengapa bukan orang suci? Dalam salah satu kegiatan manasik haji dan umrah, KH Sodik Mudjahid (Pembimbing Utama Qiblat Tour) dan H.Wawan R Misbach (Direktur Utama Qiblat Tour) seringkali menjelaskan bahwa di kedua tempat/kota tersebut yang suci adalah tanahnya/tempatnya/kotanya, bukan orangnya. Kenapa demikian? Sebab, berdasarkan pengamalaman dan pengamatan, baik secara empirik maupun secara historik, bahwa kedua kota tersebut tidak serta didiami dan menghasilkan orang-orang suci. Bahwa di kota tersebut (Mekkah),  benar telah melahirkan seorang figur panutan umat Islam sedunia (Rasulullah Saw), dan di kota (Madinah) dimakamkannya. Ditambah dengan dukungan para istri dan Sahabat Rasulullah Saw yang dengan ‘kesuciannya’ dijamin masuk syurga. Kendati demikian, secara historik fakta membuktikan bahwa terutama di Kota Mekkah juga pernah lahir seorang yang menyandang predikat ‘terbodoh’, Abu Jahal misalnya, ‘termunafiq’ Hindun, ‘terjahat’ Abu Lahab (QS : Al-Lahab)….dan predikat ‘ter-ter’ yang lain, yang kesemuanya menunjukan ‘ketidaksecian’ bahkan mengarah dan mengajak kepada kemusrikan (dalam literatur Arab klasik disebut dengan masa jahiliyah). Bahkan, sebelum perang Futuh Mekkah (Penaklukan Kota Mekkah), kondisi Ka’bah al-Musyarrifah menjadi salah satu ‘gudang’ penyimpanan para patung dan berhala yang disembah oleh orang-orang jahiliyah. Ketika Masa Nabi Ibrahim as, tidak sedikit patung dan berhala digantung dan ditempel di sekitar Ka’bah. Sedangkan di Kota Madinah, dalam perspktif sejarah dikenal dengan kampung Yastrib. Sebuah kampung yang notabene penduduknya menganut paham yahudi. Dan dengan modal utama-Nya (Ifsahu al-salam, shillul al-arham, ith’aamu al-Tho’am, dan al-Sholaatu fi al-nawmi wa al-naasu al-niyam), Rasululah Saw berhasil membangun dan mengubah kota tersebut kurang lebih selama 23 tahun menjadi Kota Madinah Al-Munawaroh.     

Selanjutnya, apa pelajaran dan hikmah bagi kita, terutama bagi para calon tamu Allah, baik ibadah haji maupun umrah?? Pelajaran dan hikmah yang bisa kita ambil sebagai pembelajaran dan kekhidmatan dalam menunaikan ibadah haji dan umrah, antara lain :

Pertama, pelajaran dan hikmah tentang kehati-hatian, baik dalam tatacara ibadah, teknis akomodasi, maupun proses interaksi sesama jamaah selama berada dikedua kota suci. Dalam tataran ibadah, Rasulullah Saw mengingatkan dalam sabda-Nya “khudzuu ‘anny manasikakum” (ambillah dari-Ku Tatacara ibadah manasik). Kehati-hatian dalam memilih dan mengamalkan tatacara ibadah haji dan umrah sangat penting karena berhubungan dengan sah-tidaknya ibadah yang dilakukan.
Di kota Mekah dan Madinah, banyak dijumpai ‘paham dan aliran’ yang terkadang berbeda dengan tuntunan dan petunjuk Rasulullah Saw. Sebagai contoh sederhana yang sering terlihat ketika para jamaah pertama kali melihat dan merapat di Ka’bah. Rasulullah Saw, mencontohkan hanya ada pada tiga titik kita boleh merapat dan memegang Ka’bah, yakni di Multazam, Hijir Ismail, dan Rukun Yamani. Tetapi secara empirik, hampir semua bangunan Ka’bah menjadi tempat merapat para jamaah. Belum lagi pada tingkat penyadaran ‘ruhaniyah’ bahwa seseungguhnya apa yang kita lakukan ketika merapat ke Ka’bah bukan semata-mata meminta ke Ka’bah, tetapi kita hanya meminta dan berdoa kepada Allah Swt. Tampak tipis sekali antara “Tauhidullah dan kemusyrikan”. Belakang ini juga bahkan muncul perilaku tangan-tangan yang bertanggungjawab dengan upaya mengusap-usap dinding Ka’bah, Maqom Ibrahim, menyelipkan kartu nama dan foto, serta menggunting Kain Ka’bah (kiswah). Perilaku tersebut bukan saja dapat merusak tatanan ibadah, tetapi juga dapat mengarah pada tindakan kemusyrikan.

Kedua, kehati-hatian dalam hal teknis akomodasi dan interaksi sesama jamaah. Mengapa hal tersebut perlu diperhatikan? Sebab, secara empirik tidak sedikit jamaah yang mengeluhkan penanganan baik yang berhubungan dengan fasilitas hotel maupun keamanan barang baik selama di hotel maupun selama beribadah di Masjidil Harom dan Masjid Nabawi. Kasus jamaah yang hilang dan atau barang yang hilang (terutama uang dalam tas) selama di masjid merupakan pemandangan yang biasa. Hal tersebut berhubungan dengan perilaku jamaah yang bersangkutan dan perilaku orang-orang yang memanfaatkan kesempatan dalam keramaian dan kesempitan (tidak sedikit pencuri yang tertangkap tangan selama di kota suci). Tidak semua orang yang dijumpai selama di kota suci memiliki kesucian niat dalam konteks ibadah.

Ketiga, kehati-hatian dalam memilih biro perjalanan haji dan umrah. Selama kurun waktu beberapa tahun belakangan ini sering terjadi ‘keresahan’ bahkan kerugian dikalangan para calon jamaah yang tertunda berangkat, bahkan gagal oleh karena tindakan nakal dan ulah yang tidak bertanggungjawab dari para oknum Biro perjalanan haji dan umrah. Dalam konteks ini, maka kehati-hatian dalam memilih dan memilah Biro perjalanan haji dan umrah bukan saja menjadi konsentrasi para calon jamaah, tetapi juga menjadi tanggungjawab dari pemerintah dalam merancang dan mengesahkan regulasi yang refresentatif agar di kemudian hari tidak terulang lagi.

Akhirnya, ibadah haji dan umrah merupakan ibadah suci. Ia mesti diawali dengan niat suci (luruskan niat dengan lillahi (hanya karena Allah), jiwa yang suci (taubat), dan berasal dari sumber harta yang suci (halaalan thoyyiba/harta yang halal dan baik), karena haji dan umrah merupakan salah satu ajaran guna menggapai ‘panggilan Allah’ yang Maha Suci, berangkat ke Kota Suci (Mekkah dan Madinah), dan bukan berarti selalu bertemu dengan orang-orang suci. Wallahua’lam bi al-shawab.

Aden Rosadi, Dosen FSH UIN SGD Bandung, Pembimbing Haji dan Umrah Qiblat Tour Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 11 Maret 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter