Tahun “Tanpa” Agenda Politik

Kendati tanpa euphoria dan pesta tahun baru, sebagian warga melepas tahun 2020 dengan suka cita. Desember kelabu yang diprediksi dan dikhawatirkan banyak pihak akan terjadi akibat penyelenggaraan Pilkada Serentak terlewati dengan mulus. Kendati persebaran virus korona makin menjadi-jadi, terkonfirmasi sempat menyentuh angka tujuh ribuan per hari, tetapi bukan dari klaster Pilkada.

Kini Tahapan Pilkada Serentak 2020 memasuki babak akhir. Bahkan, KPU Kabupaten/Kota dan Provinsi sudah menetapkan hasil penghitungan suara pada Desember lalu. Pelantikan kepala daerah baru pun tinggal menunggu waktu. Kendati beberapa daerah sempat menghadapi sengketa, tetapi tampaknya putusan MK tidak terlalu signifikan untuk menjadi masalah besar.

Tahun 2021, Pemerintah, penyelenggara, dan pemilih dapat menikmati masa break sejenak; Para pendukung calon kepala daerah dapat memulai kembali rekonsiliasi setelah retak bersitegang karena adu strategi: semoga yang menang bersyukur dan yang kalah tafakur. Pada tahun inilah Indonesia akan menghadapi masa tanpa agenda Pemilihan Umum (Pemilu).

Pemilu Berikutnya
Jika mengikuti agenda normal (lima tahunan), pesta demokrasi Pilkada akan kembali tahun 2022 dengan 101 daerah, 3 di antaranya di Jawa Barat dan tahun 2023 terdapat 170 daerah, di antaranya Pemilihan Gubernur Jawa Barat serta 16 kabupaten/kota di Jawa Barat. Tahun 2024-nya, memasuki masa puncak Pemilu untuk memilih anggota DPR RI, DPD RI, DPRD (Pileg), dan Presiden-Wakil Presiden (Pilpres).

Oleh karena itu, dalam masa lima tahun, Indonesia hanya memiliki waktu setahun tanpa agenda Pemilu, itu pun bukan berarti sama sekali tanpa kegiatan. Faktanya, tahun 2021, Pemerintah masih harus tetap memasukan anggaran untuk persiapan fasilitasi Pilkada 2022. Penyelenggara pun harus tetap ekstra kerja keras menyiapkan tahapan serta software dan hardware pendukung penyelenggaraan.

Padatnya agenda Pemilu itulah, di antaranya yang mendorong bebagai pihak, terutama DPR RI mengskenario ke depan Pilkada Serentak dilakukan untuk seluruh daerah, baik dalam memilih Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati, maupun Walikota-Wakil Walikota. Berbagai desain muncul ke permukaan dengan satu harapan penyelenggaraan Pemilu lebih efektif dan efisien dengan tetap mempertahankan asas jujur dan adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pemilu cukup diselenggarakan dalam setahun-dua tahun, sehingga empat atau tiga tahun berikutnya dalam masa periode lima tahunan, Pemerintah akan lebih konsen pada pembangunan.

Seperti pada tahun 2021, seandainya agenda Pemilu seratus persen break, maka Pemerintahan pada semua tinggkatan dan seluruh wilayah bersama rakyat dapat konsen pada upaya penanggulangan pandemi covid-19. Misalnya, upaya Pemerintah yang ril memerangi virus corona dengan mendistribusikan dan menyuntikan vaksin serta memulihkan korban terdampak pandemi. Jika Indonesia sudah terbebas dari pandemi covid-19 atau seluruh rakyat sudah ber-vaksin, penyelenggaraan Pilkada akan lebih mudah. Tidak terbayangkan jika Pemilu puncak 2024 diselenggarakan masih dalam kondisi pandemi covid-19, dipastikan teramat sulit, perlu anggaran besar, dan ancaman korban pun akan berlipat-lipat. Tanpa pandemi covid-19 saja, Pileg dan Pilpres 2019 menelan ratusan korban jiwa penyelenggara. Apalagi dalam kondisi pandemi covid-19, sulit terbayangkan apa yang akan terjadi.

Penggabungan Pilkada
Agar tahun 2021 Pemerintah konsen perang melawan virus corona, wacana penggabungan 101 Pilkada 2022 ke 2023 menjadi salah satu alternatif solusi, sehingga 2023 Pilkada diselenggarakan di 271 daerah dan 2022 tanpa Pilkada. Namun, penggabungan tersebut bukan tanpa resiko. Resiko paling berat akan dihadapi Penyelenggara Pemilu. Mereka akan super sibuk karena berhadapan dengan dua event besar dalam dua tahun beriringan: 2023 Pilkada Serentak serta 2024 Pileg dan Pilpres yang notabene tahapannya dimulai 2023.

Oleh karena itu, wajar jika muncul alternatif lain. Penyelenggaraan Pilkada 2023 harus ditarik ke 2022, sehingga Pilkada 271 daerah diselenggarakan pada tahun 2022, sehingga penyelenggara memiliki kesempatan setahun untuk menarik nafas dari penat Pilkada Serentak 2022 menuju Pileg dan Pilpres 2024. Penyelenggaraan Pilkada, Pileg, Pilpres, dalam waktu yang berhimpitan sangat berat, sehingga mengancam turunnya kualitas akibat beban kerja penyelenggara yang terlalu banyak. Dikhawatirkan pula, para pemilih jenuh atau tidak fokus dalam memperhatikan gagasan politik para calon.

Jika Pilkada 271 daerah diselenggarakan 2022, beresiko masih memungkinkan dalam kondisi pandemi covid-19 karena vaksin sangat mungkin belum terdistribusikan secara merata. Sementara itu, jika Pilkada diselenggarakan 2023 lebih memiliki peluang pandemi covid-19 sudah usai atau paling tidak sebagian besar rakyat sudah divaksin. Selain juga pertimbangan anggaran Pilkada yang setadinya akan diselenggarakan 2023 belum tercantum di APBN dan/atau APBD 2021.

Realitas tersebut cukup pelik, sehingga menuntut DPR RI dan Pemerintah lebih konsen mendesain kembali Pilkada, Pileg, dan Pilpres. Mereka harus memproduk regulasi yang lebih pasti dan menjamin penyelenggaraan lebih baik. Pengalaman bongkar-pasang Undang-Undang Politik bagi legislatif dan eksekutif yang acapkali dilakukan setiap menjelang pesta demokrasi menjadi bekal empirakal positif bagi lahirnya produk regulasi yang lebih baik. Kendati tak jarang juga mengecewakan karena muatan politik terlalu kental, kepentingan penguasa terlalu dominan, dan harapan rakyat kadang terabaikan.

Mahi M. Hikmat, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Sumber, Pikiran Rakyat 23 Januari 2021

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter