Tafsir Pemberi Solusi

Seminar dan Konferensi Internasional tentang Tafsir dan Ulum Alquran yang diselenggarakan Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta tanggal 15-16 Pebruari 2014 boleh jadi merupakan momen penting dalam kajian Alquran di Indonesia. Meskipun forum ini pada awalnya diselenggarakan dalam rangka mengapresiasi 70 tahun agenda besar “Membumikan Alquran” Quraish Shihab, tetapi dalam waktu yang  bersamaan forum ini dapat dijadikan ajang merumuskan kembali peran tafsir dalam menyelesaikan problematika kekinian. Betapa tidak, forum ini akan diisi oleh beberapa pakar kajian Alquran dari luar dan dalam negeri. Lebih dari 70 pembicara akan meramaikan forum ini.

Seminar dan konferensi ini berlangsung di tengah pertanyaan besar mengenai peran tafsir Alquran di Indonesia dalam menyelesaikan problem-problem keagamaan dan sosial di Indonesia saat ini, seperti dekadensi moral, kemiskinan, pengangguran, dan disparitas kesejahteraan. Dalam realita yang terjadi, kajian Alquran yang semarak dan massif seolah tidak berjalan seiring dengan terselesaikannya problem-problem di atas. Padahal dalam keyakinan semua orang Islam, Alquran dapat menyelesaikan problem-problem di atas.

Harus diakui bahwa tafsir yang berkembang di Indonesia lebih bersifat teoritis ketimbang praktis-implementatif, sehingga tidak menyentuh persoalan di masyarakat. Sebagai contoh, ketika berbicara tentang peranan zakat, infak, dan sedekah (ZIS), tafsir hanya berbicara tentang kewajiban zakat, keutamaan bersedekah, dan siapa-siapa saja yang termasuk kelompok yang berhak menerima zakat. Sementara bagaimana caranya agar ZIS dapat mengurangi kemiskinan dan pengangguran jarang (kalau tidak dikatakan tidak) dibahas sama sekali.

Padahal, pesan moral dari perintah ZIS itu sendiri adalah keberpihakan kepada orang-orang yang lemah ekonominya. Hal serupa dapat dijumpai dalam pembahasan tentang shalat, puasa, haji, dan lain sebagainya.

Penelusuran kembali sejarah tafsir Alquran menyimpulkan bahwa sejarah tafsir adalah sejarah menyelesaikan problem. Tafsir bukan kajian teoritik ansich yang mengawang-awang, tetapi harus membumi dan menyapa setiap problem kehidupan. Saya kira, agenda besar Muhammad Abduh dan Quraish Shihab dalam membumikan Alquran mengarah kepada hakekat tafsir tersebut. Di antara gagasan Muhammad Abduh dalam agendanya ini adalah kritis terhadap kajian Alquran klasik yang terlalu dominan membahas masalah ketuhanan atau teologi, sementara problem kekinian dan kedisinian relatif terabaikan. Gerakan masif yang dilakukan madrasah Abduh dan murid-muridnya seperti Rasyid Ridah dan Qasim Amin menjadikan Alquran lebih membumi. Perubahan paradigma dari teosentris menuju antroposentris sebenarnya upaya untuk melibatkan manusia sebagai obyek secara dominan. Dengan paradigma ini, yang menjadi sentral pengkajian adalah masalah kemanusiaan, bukan teologi. Kalaupun masalah teologi disinggung, mainstream-nya tetap tentang kemanusiaan. Paradigma ini sejatinya melahirkan pula melahirkan model penelisikan yang berbeda terhadap kandungan Alquran dibandingkan dengan model sebelumnya.

Agenda Membumikan Alquran di Indonesia yang digagas Quraish Shihab seharusnya ditindaklanjuti dengan lahirnya formula-formula yang menjembatani antara tafsir dengan realita. Dengan demikian, menafsir Alquran berarti menyapa dan menyelesaikan problem, bukan semata-mata mengkaji Alquran. Tafsir Alquran harus hadir berdialog dengan manusia saat ini, bukan manusia pada zaman terdahulu. Tafsir Alquran harus bersifat solutif.

Agenda Membumikan Alquran sejatinya dibangun di atas fondasi Ulumul Qur’an (Ilmu-Ilmu Alquran) yang mapan. Dengan demikian, ada dua proyeksi yang penting dilakukan. Pertama, melahirkan format Ulumul Qur’an baru yang dapat diandalkan untuk melahirkan produk tafsir yang solutif di atas. Format baru ini berpijak kepada realita bahwa kandungan Alquran lebih kaya daripada apa yang nampak secara eksplisit dari lahir ayat. Kedua, proyeksi melahirkan tafsir solutif itu sendiri. Pada proyeksi yang kedua, ijtihad dan qiyas (analogi) mutlak dibutuhkan untuk menjembatani antara teks Alquran yang tidak mungkin bertambah lagi dengan realita yang terus bertambah dan berubah. Dengan demikian, tafsir solutif yang dihadirkan sejatinya memberikan ruang yang luas bagi ijtihad dan qiyas.
   
Beberapa Harapan
Di tengah persoalan kesenjangan sebagaimana diutarakan di atas, ada beberapa harapan lahir dari  forum-forum pengkajian Alquran. Pertama, melahirkan agenda-agenda konkrit ke depan dalam konteks melahirkan tafsir solutif. Tentu ini bukan agenda sederhana yang dapat diselesaikan beberapa gelintir orang atau dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Perlu ada sebuah organisasi atau konsorsium dengan sokongan sumber daya yang kuat serta waktu yang relatif lama. Dari organisasi ini diharapkan lahir formula Ulumul Quran baru, kaidah-kaidah tafsir, dan tentunya produk-produk tafsir yang menghampiri problem-problem umat. Mengingat dalam kasus-kasus tertentu ada beberapa ayat yang membutuhkan pisau analisis dari berbagai disiplin ilmu, maka beberapa pakar dengan latar keilmuan beragam pun mutlak dibutuhkan dalam organisasi ini. Latar keilmuan yang dimaksud adalah seperti sosiologi, antropologi, biologi, fisika, kimia, dan lain sebagainya. 

Kedua, melahirkan rekomendasi-rekomendasi tentang model pengkajian Alquran bagi siswa dasar sampai mahasiswa di Perguruan Tinggi. Harapan ini tidak kalah penting dari harapan pertama. Ini berarti merumuskan ulang kurikulum pembelajaran tafsir. Rekomendasi yang lahir tentu saja dalam semangat mendialogkan tafsir dengan realitas. Jangan sampai apa yang dipelajari mahasiswa di Perguruan Tinggi bukanlah tema-tema yang dibutuhkan oleh masyarakat. Mengingat tafsir dipelajari juga di pesantren-pesantren, maka penting pula menentukan kriteria-kriteria kitab tafsir yang sebaiknya dibaca di lembaga pesantren ini.

Ketiga, melahirkan rekomendasi-rekomendasi bagi model sosialisasi tafsir kepada kalangan masyarakat luas. Membumikan Alquran berarti mensosialisasikan tafsir kepada lapisan masyarakat yang memiliki keragaman-keragaman tertentu. Acap kali yang menjadi problem sosialisasi tafsir terletak pada metode atau strateginya. Rekomendasi-rekomendasi yang lahir ini tentu saja dengan mempertimbangkan konteks sosio-kultural yang berbeda-beda pula. Alangkah baiknya digagas model sosialisasi tafsir lain selain dengan menggunakan metode ceramah. Sebagaimana dakwah, tafsir dapat disosialisasikan dengan model yang berbeda-beda, tentu sesuai dengan konteks masyarakat yang menerimanya.

Agenda Membumikan Alquran adalah agenda bersama. Oleh karena itu, semua pihak yang berkompeten, mulai dari tokoh-tokoh agama secara individual, lembaga-lembaga pendidikan, organisasi-organisasi keagamaan, sampai pihak pemerintah, berkewajiban untuk mensukseskan agenda besar melahirkan tafsir solutif. Di satu sisi, agenda ini lahir dalam rangka terus berupaya membumikan Alquran, dan—di sisi lain—mencari solusi-solusi  qurani untuk menyelesaikan berbagai problematika di Indonesia. Semoga.[]

Rosihon Anwar, Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung   

Sumber, Pikiran Rakyat 22 Februari 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter