Tafsir Maqasidi: Sebuah Ikhtiar Mencari Metode Tafsir Kekinian

Ilustrasi Quran /Foto: freepik

UINSGD.AC.ID (Humas) — Saya sangat senang menjadi bagian dari seminar yang membincangkan tafsir Alquran, sesuatu yang menjadi minat kajian saya. Beberapa karya saya pun umumnya terkait dengan studi Alquran ini. Dan beberapa di antaranya terkait dengan kajian metodologi penafsirannya. Misalnya, dalam buku saya yang berjudul Ulumul Quran dan Ensiklopedi Seputar Alquran.

Topik Seminar Internasional hari ini adalah terkait Tafsir Maqashidi, sebuah istilah yang dibilang baru diperkenalkan di akhir-akhir ini. Sebelum membincang lebih jauh terkait ini, saya ingin membuka memori kita terkait dengan dialektika pemikiran tafsir dari masa ke masa.

Kita tahu bahwa “tafsir” pada prinsipnya adalah upaya ulama yang kompeten dalam menyingkap maksud sebuah ayat. Itu sebabnya, tafsir bisa dikatakan sebagai hasil pemikiran, sama dengan produk istinbath hukum yang dinamakan fiqih. Itu sebabnya, tafsir sama sekali tidak sama dengan Alquran itu sendiri, melainkan dua hal yang berbeda, meskipun saling terkait.

Karena berbeda dengan Alquran, tafsir tidak mendapatkan keistimewaan sebagaimana dimiliki Alquran. Tafsir tidak mutlak benar, melainkan ada kemungkinan keliru. Produk tafsir tidak lekang zaman, boleh jadi ada yang out of date. Tafsir tidak mengandung mukjizat yang karenanya mungkin saja bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya, dan bahkan mungkin saja keliru.

Sejauh ini kita ketahui bahwa para ulama berupaya semaksimal mungkin merumuskan berbagai metode tafsir Alquran. Tujuannya tentu saja agar dapat menangkap sedekat mungkin pesan sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah SWT. Muhammad Husein al-Dzahabi, misalnya, memotret berbagai metode tafsir yang digunakan oleh para mufasir dari masa ke masa dalam karyanya al-Tafsir wa al-Mufassirun. Demikian pula yang dilakukan oleh Ignadz Goilziher dalam Madzahib al-Tafsir.

Sampai di sini kita memahami bahwa merumuskan kembali metode tafsir Alquran adalah upaya yang harus terus dilakukan oleh para ulama. Sebuah upaya untuk terus menemukan formula tafsir yang bisa sampai lebih dekat pada pesan ayat mutlak perlu dilakukan. Dan itu pula yang selama ini terus terjadi. Ulama-ulama kesohor seperti Muhammad Abduh, Qasim Amin, Amin Al-Khuli, Nasr Abu Zaid, Hassan Hanafi, termasuk Fazlur Rahman juga melakukan hal yang sama.

Kebutuhan itu semakin terasa tatkala kita menyadari perlunya penggunaan multidisiplin sebagai alat bedah penafsiran. Misalnya, Ilmu Sosiologi sangat penting dipakai untuk menyingkap pesan ayat terkait dengan kemasyarakatan atau human relation. Ilmu Psikologi sangat penting dipakai untuk menyingkap pesan ayat terkait dengan kepribadian. Dan seterusnya.

Belakangan ini kita mendengar beberapa metode tafsir yang boleh dikatakan baru, misalnya Tafsir Kontekstual, Hermenetika Alquran, Tafsir Emansipatoris, dan metode tafsir kontemporer lainnya. Termasuk yang menjadi topik inti pada seminar ini, yaitu Tafsir Maqashidi.

Literatur tentang Tafsir Maqasidi sudah sangat banyak ditemukan dan ditulis, mulai penjelasan tentang definisi, langkah-langkah, dan contoh-contoh penerapannya. Para peminat tinggal mencarinya di internet. Saya tidak akan menjelaskan secara rinci tentang hal-hal ini, karena penjelasannya pun sudah banyak dimaklumi.

Saya hanya ingin memberikan beberapa catatan saja. Pertama, Tafsir Maqashidi intinya sebuah model penafsiran yang berorientasi pada penggalian maksud ayat. Sebuah ayat setidaknya mengandung dua komponen: Redaksi teks dan pesan atau maksud yang dikandung. Nah, Tafsir Maqashidi ini ingin mengungkap komponen yang keduanya. Sebagai contoh, ayat dengan redaksi wainnaka la`ala khuluqim azhim (Al-Qalam:4). Itu redaksinya. Lalu maksud ayat ini apa? Nah, ini yang diungkap Tafsir Maqashidi.

Apakah redaksi ayat tidak otomatis memperlihatkan maksud ayat yang karenanya diperlukan Tafsir Maqashidi? Jawabannya: Ada ayat yang maksudnya begitu mudah ditangkap dari redaksinya. Ini mungkin yang oleh Ibnu Abbas dikategorikan sebagai kelompok ayat yang bisa dipahami segera oleh orang awam. Misalnya, ayat 1 dari surat al-Ikhlas. Maksud ayat ini dengan cepat dapat ditemukan dari redaksinya, bahwa Allah itu tunggal tak berbilang. Ada pula ayat yang maksudnya tidak mudah ditemukan dari redaksinya.

Contoh, ayat-ayat muqaththaat yang ada di awal ayat. Redaksinya jelas tidak menampakkan sama sekali apa maksud ayat-ayat ini. Padahal, setiap ayat pasti memiliki maksud tersendiri. Contoh lain adalah ayat-ayat sifat. “Tangan Allah” dan “Wajah Tuhanmu”. Apa yang dimaksud dengan “tangan” dan “wajah” pada dua ayat tersebut. Ayat-ayat seperti inilah yang dimasukkan oleh Ibnu Abbas kepada kelompok yang hanya diketahui para pakar tafsir.

Apakah tafsir-tafsir terdahulu tidak berorientasi pada maksud ayat? Tentu saja setiap mufasir berupaya menemukan maksud ayat. Hanya saja terkadang sebagian mufasir terlalu asik tenggelam dalam penjelasan teks ayat sehingga tidak sampai pada maksudnya. Misalnya, mereka tenggelam dalam penjelasan analisis bahasa, atau tenggelam dalam penjelasan sejarah, atau asyik dalam penjelasan perdebatan, sehingga kurang mengungkap maksud suatu ayat.

Tafsir Maqashidi mendorong para mufasir harus berorientasi pada maksud ayat, bukan penjelasan teks ayat saja.

Kedua. Kita telah mengetahui bahwa Tafsir Maqashidi berorientasi kepada maksud ayat. Pertanyaannya: Siapa yang punya otoritas untuk menentukan maksud dan makna suatu ayat? Tentu saja yang paling punya otoritas adalah Nabi Muhammad SAW. karena beliau dipastikan mengetahui maksud semua ayat. Hanya saja, beliau tidak menjelaskan secara keseluruhan kepada para sahabat tentang maksud suatu ayat. Sebab, kalau beliau sudah melakukannya, maka tidak mungkin akan terjadi perbedaan pendapat di antara mufasirin.

Tidak mudah memastikan maksud suatu ayat secara pasti. Hal itu disadari benar oleh para pengusung Tafsir Maqashidi. Namun, mereka tetap menawarkan langkah-langkah untuk menemukan maksud suatu ayat. Misalnya, al-Syathibi menawarkan langkah-langkah berikut: Melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan; Menela’ah ‘ilat yang terdapat pada perintah dan larangan; Menganalisa sikap diam al-Syar`i dari pensyariatan sesuatu. Adapun Ibnu Asyur menawarkan langkah-langkah berikut; Mengkaji Syari’at dari berbagai aspek; Menggunakan dalil-dalil secara tekstual yang mengandung makna serta memiliki tujuan tertentu; Menggunakan hadis yang mutawatir.

Apa yang ditawarkan oleh keduanya tetap saja dapat diperdebatkan. Misalnya, dalam menentukan illat suatu perintah atau larangan, apakah illat tersebut dapat disetujui oleh semua mufasir? Dalam banyak kasus penafsiran, kita menemukan para mufasir berbeda pendapat mengenai ilat suatu perintah atau larangan.
Sebagai penutup, apapun persoalan yang masih tersimpan dalam Tafsir Maqashidi, yang jelas metode tafsir ini berupaya menawarkan sebuah metode yang diharapkan dapat menyingkap maksud-maksud suatu ayat. Dan ini kita sangat mengapresiasi.

Tentu saja saya berharap dari seminar ini akan muncul masukan-masukan berharga dalam penyempurnaan metode dan langkah Tafsir Maqashidi. Mudah-mudahan.
Terima kasih. Wassalam.

Rosihon Anwar, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *