Tafsir Kemerdekaan

Ilustrasi tafsir kemerdekaan ala santri / foto santrionline.net

UINSGD.AC.ID (Humas) — Dalam kitab Taqrib pada Kifayatul Akhyar fi hal Ghayatul Ikhtisar yang ditulis oleh Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad al Husayni as-Syafi’i halaman 177, disebut tentang syarat wajib haji ada tujuh yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka, ada kendaraan dan bekal, keamanan di jalan, dan kondisi memungkinkan perjalanan haji. Hal ini pun menjadi syarat seseorang untuk dapat melaksanakan umrah.

Tiga syarat awal: Islam, baligh dan berakal, bersifat intrapersonal yaitu sesuatu yang given melekat di dalam diri setiap individu. Namun empat syarat lainnya bersifat interpersonal atau syarat yang bersinggungan dengan individu atau kelompok masyarakat lainnya.

Lebih menarik lagi diawali dengan syarat merdeka, yaitu kebebasan dari hegemoni pihak lain. Pada masa pra-Islam, jual beli manusia dan praktek perbudakan lumrah terjadi hingga ada ungkapan dari Titus Maccius Plautus seorang dramawan asal Romawi bahwa manusia pada masa itu sebagian masuk kategori homo homini lupus, serigala (pemangsa) bagi manusia lainnya. Manusia yang belum merdeka atau hamba sahaya laki-laki disebut ‘abid dan hamba sahaya perempuan disebut amat.

Dalam sejarah Islam sahabat Nabi yang populer memperjuangkan ketauhidan dengan gigih yaitu Bilal bin Rabbah. Ia seorang budak berkulit hitam asal Habasyah (sekarang Ethiopia), dimerdekakan oleh Abu Bakar As-Shiddiq dari status ‘abid. Ia dianiaya dan ditindas oleh Umayyah majikannya, karena bersikukuh ingin memeluk Islam. Ketabahan Bilal berbuah manis setelah merdeka dan menjadi sahabat yang disayangi oleh Rasulullah Saw serta dijamin masuk surga.

Islam telah memberi jasa besar kepada umat manusia dengan ajaran yang memuliakan manusia, menghapus perbudakan dan penindasan serta menghargai kemerdekaan setiap individu, kelompok dan bangsa. Prinsip ini diletakkan mulai dari aturan dasar Islam yang diatur dalam fiqih seperti syarat berhaji atau umrah yaitu harus merdeka. Walaupun konsep merdeka dalam fiqih bermakna sempit, namun efek dari merdeka secara sosial dapat diperluas sebagai sikap saling menghormati nilai-nilai kemanusiaan.

“Tafsir” kemerdekaan yang diurai dari kata merdeka pada syarat haji dan umrah serta ibadah lainnya dalam fiqih, memberi pesan kontekstual bahwa nilai-nilai kemanusiaan merupakan fondasi peradaban yang maju. Nilai-nilai yang dimaksud yaitu sesuatu yang melekat pada diri manusia, bersifat universal dapat diterima oleh seluruh manusia. Pada setiap masa, perjuangan kemerdekaan setiap manusia senantiasa menjadi cita-cita melawan hegemoni, penjajahan, dan penindasan.

Menjelang usia ke-79 Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, memori bangsa ini disegarkan kembali dengan sejarah perjuangan kemerdekaan melalui refleksi kritis berupa telaah, kajian, dan berbagai dialog kebangsaan. Potret utuh sejarah bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan diharapkan menjadi asupan “gizi intelektual” bagi generasi penerus. Tugas suci bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan saat ini yaitu meningkatkan kualitas hidup dengan mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksankan ketertiban dunia.

Syarat wajib haji memberi isyarat, bahwa merdeka berdampak positif pada kondusifitas ibadah, bukan hanya di tanah suci saat berhaji, namun juga pada ibadah ritual lainnya. Hal ini pula akan memberi dampak positif pada ibadah sosial dengan membangun peradaban yang bebas dari penjajahan dan penindasan baik di kancah lokal, nasional dan internasional menuju kesejatian makna kemerdekaan. Wallahu a’lam.

Rohmanur Aziz, Pembimbing Tours & Travel Mumtaz Bandung dan Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (Islamic Community Development) FDK UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *