UINSGD.AC.ID (Humas) — Kemampuan melihat adalah hal yang sangat penting bagi setiap individu. Melalui penglihatan, pengetahuan akan lebih banyak didapatkan.Seringkali tidak berfungsinya penglihatan pada seseorang, akan menimbulkan hambatan, baik dari aspek ergonomis dan bahkan kompetensi sosial.(Tirta, Susanto, 2013)
Karenanya bila tidak dilakukan pelayanan serta pendekatan khusus akan menjadi hambatan bagi pengembangan potensi mereka.Hambatan penglihatan total mengakibatkan tiga keterbatasan yang serius pada perkembangan fungsi kognitif para penyandang disabilitas netra, terutama: 1) Dalam sebaran dan jenis pengalamannya; 2) Dalam kemampuannya untuk bergerak di dalam lingkungannya; 3) Dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya.(Tirta, Susanto, 2013).
Di Indonesia tidak kurang dari 3,5 juta (Merdeka, 2013) hingga 3,75 mengalami masalah kebutaan, jumlah ini ditengarai setara dengan penduduk Singapura. Di Jawa Barat sendiri penyandang disabilitas netra berjumlah 430 ribu. Jumlah tersebut merupakan yang terbesar setara dengan 1,5 persen penduduk di Indonesia. (Harian Yogya, 2013) Di kota Bandung dan Cimahi dilaporkan tidak kurang dari 8000 penduduknya penyandang disabilitas netra. (Merdeka, 2014).
Sedangkan hasil penelitian tim Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qu’an (LPMQ) tahun 2016 menemukan bahwa jumlah tuna neta di Indonesia mencapai 1,5 juta jiwa, tetapi yang penah mengikuti pendidikan sekita 17.040 Jiwa sedangkan yang mendapat pendidikan Al-Qu’an sekita 5.048 jiwa. Jumlah tesebut menunjukan masih endahyakemampuan baca Al-Qu’an pada masyakat disabilitas neta. (LPMA, 2016)
Data di atas menunjukan bahwa penyandang disabilitas netra berjumlah sangat banyak, namun demikian pendidikan yang mereka terima belum merata, data dari Ummi maktum Voice sebuah LSM yang membidangi kebutuhan pengajaran Al-Qur’an dan Al-Qur’an braille di Indonesia menyatakan, bahwa sekitar 90 persen muslim disabilitas netra di Indonesia masih buta Al-Qur’an Braile.(Arrahmah.com, 2010)
Hal ini disebabkan proses produksi Al-Qur’an Braille sangat mahal, 30 juz Al-Qur’an Braile memerlukan bahan yang sangat banyak. Fenomena di atas menuntut institusi baik pemerintah maupun lembaga-lembaga pendidikan formal harus memaksimal perannya dalam melayani masyarakat penyandang disabilitas netra.
Beberapa inisiatif telah dilakukan berkaitan dengan pembelajaran Al-Qur’an. Mulai dari pengalihaksaraan dari aksara latin kepada aksara Braile hingga pembelajaran Al-Qur’an berbasis audio, namun demikian penulisan Braille membutuhkan biaya yang sangat besar. Sebagai contoh Al-Qur’an Braille 30 juz bisa mencapai 1 juta rupiah demikian pula pengajaran berbasis audio membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu dibutuhkan model yang mudah dalam menyajikannya ketika dalam proses pembelajara Al-Qur’an dan tafsir bagi para penyandang disabilitas netraagar proses belajar menjadi effsien.
Pembelajaran Al-Qur’an menggunakan pendekatan teknologi nampaknya menjadi solusi yang paling mudah bagi para penyandang disabilitas netra perkotaan karena dianggap sudah melek teknologi. Selama ini pengajaran Al-Qur’an pada penyandang disabilitas netra masih bersifat talaqi kemudian pengulangannya harus dibimbing oleh voluntir, demikian pula pada pembelajaran huruf hijaiyah braillemasih memerlukan bantuan orang lain untuk mengajarkannya.
Penggunaan pena sebagai alat untuk membantu mengulang-ngulang bacaan masih memiliki kekurangan, diantaranya alih teknologi yang memerlukan biaya yang cukup tinggi sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat luas Dengan demikian para sarjana Al-Qur’an sudah harus memulai menyajikan pembelajaran Al-Qur’an dan Tafsir berbasis software atau berbasis multimedia. Para penyandang disabilitas netra lebih banyak menekankan kekuatan pendengaran dan peraba, sehingga penggunaan audio mampu meningkatkan stimulus bagi para penyandang disabilitas netra. (Bondet Wrahatnala, S.Sos., 2015)
Bila ingin tahu soal Tafsir Audio Surat-Surat Pendek untuk Disabilitas Netra karya Izzah Faizah Siti Rusydati Khaerani dapat diunduh pada laman ini