(UINSGD.AC.ID)-Saya mengikuti ceritanya, mulai dari kabar yang disebar di grup-grup WA, cuitan yang bersliwer di twitter, obrolan teman sepekerjaan hingga sas-sus yang berkembang dari mulut ke mulut.
Mana yang benar, saya tidak tahu! Mana yang sesuai fakta, saya tidak punya kuasa untuk menduga. Saya hanya membaca, mendengar, dan menyimak. Itu saja!
Di balik keseluruhan cerita yang menurut berita sangat mengerikan, saya lalu ingat pembacaan Elias Canetti, seorang filsuf Bulgaria yang menjadi korban kuasa totaliter Nazi: “Momen survival adalah momen kekuasaan… bentuk paling rendah dari survival adalah membunuh”.
Dengan pernyataannya ini, Canetti sebenarnya sedang ngomong tentang amalgama kekerasan dan subjektifitas manusia. Apa artinya? Subjektifitas tak melulu ditemukan melalui rasionalitas, subjektifitas bisa juga lahir dari tempat penjagalan terhadap manusia lain. Dalam pernyataan yang lain, jika kekerasan adalah penegasan-diri “apa adanya”, sementara rasionalitas adalah penegasan-diri dengan “jalan memutar”.
Patutkah subjektifitas ditemukan dengan kekerasan sebagai jalan apa adanya? Saya lalu ingat adagium Hobbes, “homo homini lupus est”, bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Adagium ini tak sekadar alegori tapi sejatinya (menurut seorang teman) merupakan pernyataan tentang “fitrah” manusia. Pernyataan tentang kondisi autentik siapa sesungguhnya manusia.
Sebagai jalan peneguhan subjektifitas yang apa adanya, bagaimana kekerasan beroperasi? Dalam kekerasan, manusia lain tak dipersefsi sebagai “sesama”. Ia tak dirangkul sebagaimana nasihat agama mengatakan “sebagai satu bagian tubuh yang utuh”. Jika bagian satu sakit, maka bagian lain akan merasakan ikhwal yang sama.
Dalam kekerasan, manusia lain adalah “liyan” bukan sesama. Dengan yang sama, mustahil manusia melakukan kekerasan sebab dirinya tercermin di dalam yang sama itu. “Yang sama mengenal yang sama”, begitu kata Empedokles.
Kekerasan. Ah, perut saya berasa “keras” padahal pergi ke dokter sudah dilakukan. Tapi apakah ini jalan menemukan subjektifitas saya? Saya tidak tahu! Yang saya mengerti, perut keras menjadi sebab saya malas untuk makan padahal lapar sudah datang memanggil-manggil.[]
RADEA JULI A HAMBALI, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung