Barangkali di sana ada jawabnya,
mengapa di tanahku terjadi bencana,
mungkin Tuhan mulai bosan,
melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa,
atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita,
coba kita bertanya kepada rumput yang bergoyang.
Syair-syair lagu ciptaan Ebiet G. Ade di atas memang pas dengan konteks Indonesia sekarang, Indonesia yang sedang menderita. Ibu pertiwi kita benar-benar sedang menangis melihat bencana yang terjadi di mana-mana.
Sudah jatuh ketimpa tangga lagi. Begitu kira-kira apa yang sedang dialami rakyat Indonesia. Belum lagi sempat bernafas menghadapi berbagai bencana alam yang bertubi-tubi silih berdatangan, tiba-tiba banjir melanda mereka menghabiskan semuanya, pakaian, alat rumah tangga, bahkan nyawa anggota keluarganya. Penderitaan yang bertubi-tubi menimpa rakyat Indonesia semakin memupus kesan Indonesia yang damai dan tentram. Banjir yang terjadi di mana-mana semakin memperlihatkan borok-borok negeri tercinta kita ini.
Lalu, siapa yang harus disalahkah dan bertanggung jawab terhadap semua penderitaan-penderitaan itu? Apakah pemerintah yang kurang baik menangani kebijakan-kebijakan lingkungan alam, atau rakyat yang membuang sampah sembarangan? Tentu saja bukan saatnya lagi saling menyalahkan. Yang terpenting dilakukan sekarang adalah bagaimana pemerintah bersama rakyat bersama-sama berpikir bagaimana caranya agar bencana banjir tidak terulang lagi. Atau bagaimana caranya meminimalisirnya.
Ada beberapa perspektif yang dapat diajukan sebagai kaca mata untuk melihat bencana banjir sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan rakyat untuk melihat ulang (review) lingkungan alam sekitar. Salah satunya adalah perspektif agama. Dalam perspektif agama Islam, hubungan antara manusia dan alam adalah antara yang memimpin (khalifah) dan yang dipimpin. Sebagai pemimpin, manusia ditugasi mengurus dan mengelola potensi bumi dan seisinya untuk dijadikan sarana takwa kepada Allah SWT. Tentang hubungan antara manusia sebagai khalifah dan alam sebagai yang dipimpin menarik untuk dicatat pendapat Quraish Shihab. Kekhalifahan, menurutnya, menuntut adanya interaksi antara manusia dan sesamanya serta alam secara harmonis. Hubungan antara manusa dan alam bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukan atau antara tuan dan hamba yang karenanya akan melahirkan eksploitasi alam. Allah memandang keduanya dalam kondisi yang sama, tidak membeda-bedakan. Oleh sebab itu, yang sesungguhnya menguasai alam itu adalah Allah. Kekhalifahan itu mengandung arti bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaan-Nya.
Di sisi lain harus diingat pula bahwa kekhilafahan mengandung arti “bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya”. Dalam pandangan agama, seseorang tidak dibenarkan memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan dan bungan sebelum berkembang, karena hal itu berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk ini untuk mencapai tujuannya. Islam menekankan bahwa alam raya mempunyai tujuan penciptaan, “Kami tidak ciptakan langit dan bumi serta apa yang berada di antara keduanya dengan bermain-main (QS. 44:38). Kami tidak ciptakan langit dan bumi serta apa yang berada di antara keduanya kecuali dengan (tujuan) yang hak dalam waktu yang ditentukan.” (QS. 46:3).
Sebagai orang yang beragama, kita ditugasi untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau sejenisnya. Tetapi kita harus berpikir dan bersikap untuk kemaslahatan semua pihak. Kita tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Etika agama terhadap alam mengantar kita untuk bertanggung jawab sehingga tidak melakukan perusakan. Atau dengan kata lain, perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan terhadap diri sendiri. Bukankah Tuhan mengecam sikap perusakan di bumi?
Etika agama mengajarkan kita bahwa alam bukan semata-mata alat untuk mencapai tujuan konsumtif. Etika yang diajarkan agama terhadap alam mengantarkan kita untuk membatasi diri sehingga tidak terjerumus ke dalam pemborosan. Nabi Muhammad pernah bersabda, “Tiada kebaikan dalam pemborosan, dan tiada pemborosan dalam kebaikan”, “Sesungguhnya orang-orang yang boros adalah saudara-saudara setan.”
Jadi, dalam perspektif Islam, apa pun bentuk pengelolaan alam harus berdimensi teologis. Artinya, hasil atau target pengelolaan alam semata-mata untuk beribadah kepada Tuhan. Karena untuk ibadah, pengelolaan alam seharusnya tidak melahirkan dampak-dampak yang malahan akan melahirkan dosa-dosa berupa dampak lingkungan yang merugikan orang lain. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah tentang AMDAL wajib diperhatikan oleh semua pengelola alam bukan saja dari aspek administrasi kenegaraan, tetapi juga dari aspek keagamaan.
Pengelolaan alam secara eksploitatif dan tanpa memperhatikan kepentingan orang lain, baik yang segenerasi atau generasi berikutnya, benar-benar merupakan pelanggaran yang sangat besar terhadap agama. Dalam terminologi Islam, orang-orang yang melakukannya disebut dengan mufsidin (orang-orang yang melakukan fasad, para perusak bumi). Al-Fasad, menurut para penjelas al-Qur’an, adalah perbuatan merusak alam yang dampaknya dirasakan orang banyak. Seperti penebangan hutan secara liar, atau membuang sampah di tempat mengalirnya air, atau yang lainnya, yang berdampak banjir yang dirasakan banyak orang. Allah SWT. berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. al-Rum [30]:41)
Telah terjadi kerusakan di bumi dan lautan akibat ulah tangan manusia (Al-Qur’an). Dampaknya, sebagaimana ditulis dalam syair lagu Ebiet G. Ade di atas, Tuhan murka dan alam sudah tidak mau bersahabat lagi dengan kita. Bencana pun lalu terjadi di mana-mana.
Sampai di sini, marilah kita melihat bencana banjir tidak saja dari faktor alam, tetapi juga dari faktor spiritualitas agama. Boleh jadi banjir yang sedang menimpa sebagian kita merupakan buah murka Tuhan, di samping pengelolaan alam yang buruk. Pengelolaan alam yang buruk dan murka Tuhan berupa banjir sendiri bukan merupakan dua hal yang terpisah, tetapi dua hal yang dihubungkan dengan sebab-akibat (kausalitas). Dan ini dapat dikaitkan dengan bencana apa saja selain banjir. Artinya, setiap pelanggaran yang kita lakukan menyebabkan kerugian bagi kita sendiri. Semakin besar pelanggaran yang dilakukan, semakin besar kerugian yang akan datang. Dalam al-Qur’an dinyatakan dengan tegas bahwa apa pun bencana yang menimpa, itu karena ulah kita sendiri.
Dalam sejarah umat, memang Tuhan berulang kali menurunkan bencana banjir ketika murka. Skenarionya sama. Tuhan mengutus nabi untuk menyampaikan pesan, tetapi umatnya menolak. Tidak cukup itu saja, mereka bahkan melecehkan dan bangga atas perbuatannya itu. Baca kisah Nabi Nuh a.s. dan umatnya. Skenario itu boleh jadi sedang kita jalankan. Kita sudah berani melanggar aturan-aturan Tuhan. Tidak itu saja, kita bahkan bangga dengannya. Kita tahu bahwa merusak alam itu merupakan pelanggaran besar terhadap agama, tetapi kita langgar. Kita tahu bahwa membuang sampah sembarangan itu tidak baik, tetapi kita langgar. Kita tahu…, tetapi kita… Kita tahu…, tetapi kita… Kita tahu…, tetapi kita… (silahkan isi dengan dosa-dosa yang pernah kita lakukan). Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.
Kenapa banjir menimpa kita? Jangan bertanya kepada rumput yang bergoyang. Tanyalah kepada kita sendiri. Sudah saatnya kita berpikir bijak terhadap alam sekitar kita. Sudah saatnya pula kita menilai bahwa perusakan lingkungan berarti pelanggaran agama yang besar. Sudah saatnya pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan pelanggaran terhadap agama. Sudah saatnya kita menilai bahwa memelihara lingkungan berarti beribadah kepada Tuhan. []