(UINSGD.AC.ID)-Lebaran bukan saja tradisi lokal yang telah membudaya secara turun-temurun. Lebaran juga adalah upacara sosial yang tidak dapat dilepaskan dari ritual puasa di bulan Ramadhan. Karenanya, setiap orang yang berpuasa lalu merayakan lebaran sejatinya sadar bahwa lebaran bukan saja masalah sosial, tetapi juga masalah spritual. Ia perlu mewadahi tradisi ini dengan spiritualitas tersebut.
Para ulama sufi jauh-jauh hari sudah mengingatkan pemaknaan spiritualitas terhadap Idul Fitri dan lebaran. Dalam pandangan mereka, Ramadhan adalah cara mengembalikan manusia pada jati diri sejatinya, yaitu dalam kontruksi sipiritnya yang sebaik-baiknya (ahsanut-taqwim). Konstruksi itu sebelumnya lumer karena godaan-godaan dunia.
Untuk mengembalika jati diri itu diperlukan usaha latihan (riyadhah) dan kesungguhan (mujahadah). Melalului puasa, kedua usaha itu dilakukan. Jadi, lebaran adalah “perayaan” kembalinya jatidiri manusia yang sesungguhnya. Itulah jatidiri yang senantiasa merindukan Tuhan. Dalam istilah Maulana Rumi, Idul Fitri adalah pertanda “aku” yang sejati telah menyembelih “aku” yang palsu.
Dalam terminologi Alquran, proses mengembalikan jatidiri atau “aku” yang sejati itu dinamai dengan purifikasi diri (tazkiyatun-nafs). Setelah dipurifikasi, jatidiri tersebut akan lebih memprioritaskan visi aherat—kebahagiaan yang sejati—daripada visi dunia—kebahagiaan yang nisbi. Lebaran adalah ketika seseorang berhasil melakukan proses purifikasi tersebut.
Sebuah penyadaran penting ingin ditunjukkan oleh Tuhan melalui prosesi ritual puasa-Idul Fithri-lebaran. Alquran secara menohok menegur manusia yang lebih mementingkan kehidupan dunia (kepentingan materi) daripada kepentingan aherat (kepentingan spiritualitas). Hiruk pikuk dan gemerlapnya dunia telah menyilaukan manusia sehingga lupa dengan tujuan hidup yang sesungguhnya.
Ritual puasa-Idul Fithri-lebaran adalah proses penyadaran di atas sekaligus candradimuka bagi manusia untuk kembali dari keterseliauan terhadap dunia dan kelupaannya terhadap tujuan hidup yang sesungguhnya.
Mudik Hakiki
Pemaknaan spiritualitas terhadap lebaran sebaiknya disematkan terhadap rangkaian lebaran dan mudik yang biasa dilakukan selama ini. Setelah merayakan kembalinya jatidiri atau “aku” yang sejati, maka itulah saatnya mudik kepada kampung halaman yang abadi (kampung aherat) untuk menemui “asal-mula”, yaitu Hadhrat Allah Swt.
Dalam pandangan tasawuf, setiap manusia sejatinya adalah seorang salik, yaitu yang menapaki jalan dan rute kembali kepada Tuhan. Suluk adalah proses penapakan tersebut. Dengan kata lain, setiap manusia—disadari atau tidak—pasti menempuh jalan dan rute kepada-Nya. Persoalannya adalah apakah jalan dan rute yang dilaluinya benar atau keliru.
Gambaran prosesi mudik saat lebaran ke kampung halaman di dunia adalah gambaran prosesi mudik sejati ke kampung halaman di aherat.
Dorongan yang paling kuat kenapa seseorang ingin mudik di saat lebaran adalah kerinduan kepada kampung halaman, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Jika jatidiri atau “aku” sejati seseorang telah kembali, pasti ia sangat merindukan kampung keabadian, yaitu kampung aherat. Karena dengan cara itu ia dapat menemuia Zat yang dicintainya, yaitu Zat yang mewujudkannya di dunia. Itu sebabnya pula, bagi orang-orang yang sejati, kematian adalah saat yang dinanti-nantikan, karena dengan cara itu ia bisa mudik ke kampung halamannya yang abadi.
Untuk menemui orang-orang terkasih di kampung halaman, pemudik biasanya mempersiapkan segala-galanya dari jauh-jauh hari. Ia tidak mau mengecewakan mereka. Mudik menuju kampung halaman abadi sejatinya lebih membutuhkan persiapan yang matang dan lebih membutuhkan perbekalan yang banyak. Jangan kecewakan Zat yang memiliki dan menguasai kampung keabadian dibuat kecewa karena persiapan mudik yang tidak matang, atau karena perbekalan mudik yang sedikit.
Perjalanan mudik menuju kampung halaman harus melewati berbagai rintangan. Di saat pandemi tahun ini, untuk sampai tujuan, pemudik harus melalui check point atau pintu pemeriksaan. Perjalanan mudik menuju kampung keabadian adalah sebuah proses yang panjang. Pelakunya harus melalui beberapa lintasan. Terkadang ia harus menanjak, menurun, melalui jalan kerikil, dan sebagainya.
Dalam pandangan al-Ghazali, untuk menempuh perjalanan menuju Tuhan, seorang hamba harus melewati aqabah, artinya jalan yang mendaki, atau jalan yang kecil, sempit dan mendaki. Dalam kitab Minhāj al-Abidin, ia menyebut tujuh dakian tersebut, yaitu ilmu dan ma’rifat, taubat, godaan, rintangan, pendorong, celaan, dan pujian dan syukur kepada Allah Swt.
Pandemi
Larangan mudik pada tahun ini karena pandemi tidak menghalangi untuk memaknai tradisi tahunan itu secara spiritual. Mudik formalitas ke kampung halaman mari kita alihkan kepada pemaknaan lebaran secara substantif.
Menyibukkan diri mengembalikan jatidiri yang sejati untuk mudik yang hakiki sesungguhnya jauh lebih penting. Selagi umur di kandung badan, segala persiapan dan perbekalan sangat memungkinkan disiapkan dengan sebaik-baiknya. Selagi nafas berhembus, segala bentuk dakian menuju mudik hakiki bisa didaki dengan baik.
Lebaran tahun ini adalah lebaran perjumpaan dengan jatidiri dan “aku” kita yang sesungguhnya. Mari kita rayakan perjumpaan tersebut, Selamat merayakan perjumpaan tersebut. Selamat Idul Fithri.***
Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber, Pikiran Rakyat 11 Mei 2021