Spiritualitas Ibadah Haji

Ibadah haji selalu membuahkan pengalaman spiritual. Setiap jamaah haji biasanya memiliki pengalamannya masing-masing. Spiritualitas haji memang sering ditemukan dalam kisah pengalaman para pelakunya.

Prof H Dadang Kahmad, guru besar Sosiologi Agama UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, mengaku mendapat begitu banyak pengalaman spiritual saat menunaikan rukun Islam kelima itu.

Ia menunaikan ibadah haji pada 1974. Saat itu usianya masih 22 tahun. “ Saya pertama kali naik haji waktu menjadi petugas pramugara haji Garuda. Kebetulan sebagai karyawan musiman di PT Garuda Indonesia. Pada waktu itu, jumlah haji dari Indonesia masih sedikit, sekitar 25 ribu orang jamaah,” ujarnya mengenang.

Menurut Dadang, pengalaman haji waktu itu amat mengesankan. “Kota Makkah kondisinya masih sederhana. Jauh berbeda sekali dengan keadaan zaman sekarang. Banyak pondokan jamaah haji yang tidak (belum) pakai lift, dengan tangganya terbuat dari pohon kurma. Masjidil Haram pun kondisinya masih belum diluaskan,” tuturnya.

Bahkan, kata dia, saat itu sumur zamzam masih bisa dilihat. “Kalau kami ingin minum, harus berjalan turun ke lantai bawah dan minum dari keran yang ada di sumur tua tersebut,” ungkapnya.

Jika tidak mau repot, lanjut dia, jamaah bisa membeli air zamzam seharga satu sen riyal untuk satu mangkok yang dijajakan seseorang di barisan shalat jamaah haji. Uniknya, kata Dadang, mangkoknya hanya satu untuk dipakai oleh ribuan jamaah. Airnya dituangkan dari teko khas pada waktu itu. “Wah, ini sangat berkesan di hati,” ucapnya sembari tersenyum.

Menjalankan ibadah haji pada 1974 diakui Dadang sungguh sangat berkesan. Selain jumlah jamaah memang masih sedikit dibandingkan sekarang, menurut dia, Allah SWT banyak memberikan kemudahan-kemudahan.

“Waktu itu saya bisa mencium Hajar Aswad setiap tawaf, karena memungkinkan,” kata ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.

Saat ditanya apa kesan pertama kali saat melihat Ka’bah, Dadang mengungkapkan, saat melihat Baitullah untuk pertama kali perasaannya tak menentu.

“Ada rasa haru, kagum, dan bahagia, sehingga tak terasa saat berdiri badan terasa gemetar dan menangis,” papar direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, itu.

Ia  juga mendapat pengalaman spiritual yang luar biasa saat berziarah ke makam Rasulullah SAW. Dadang merasa sosok manusia yang paling mulia di seantero jagat itu seakan masih hidup. “Sambil memanjatkan shalawat, ada rasa haru dan rindu ingin bertemu beliau,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Dua puluh tahun kemudian, Dadang kembali menunaikan ibadah haji bersama sang istri. Menurut dia, kondisi Tanah Suci sudah berbeda. Ia mengaku tak bisa lagi mencium Hajar Aswad setiap kali tawaf, seperti pada saat pertama kali berhaji.

Saat berhaji untuk kedua kali, Dadang bersama istri menempati pemondokan yang berjarak dua kilometer dari Masjidil Haram. Kami setiap pergi ke Masjidil Haram, ia harus berjalan kaki.

“Sewaktu kami berjalan, sering orang berkendaraan mengajak kami untuk ikut mereka. Bukan hanya itu, sering kali ada orang yang memberi kami makanan,” katanya.  Ia menilai pengalamannya itu sebagai sebuah kenikmatan dan anugerah dari Allah SWT.

Sepuluh tahun kemudian, Dadang kembali mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat, ia sudah membulatkan tekad, selama di Madinah, ingin belajar membaca Alquran langsung dari ulama Masjid Nabawi. Dan, ketika pertama kali masuk Masjid Nabawi, ia tiba-tiba tertarik kepada sekumpulan orang yang mengelilingi seseorang.

“Ketika saya mendekat, saya disuruhnya duduk dengan mereka dan dipersilakan membaca Alquran. Alhamdulillah, bacaan saya dianggap baik dan didoakan agar diberkahi Allah. Saya merasa gembira. Dan sepulang ke Tanah Air, semangat membaca Alquran jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya,” ujar pria kelahiran Garut, 5 Oktober 1952, itu.

Sumber, Republika 16 September 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter