(UINSGD.AC.ID)-Lima puluh lima tahun sudah usia Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. Selama lima puluh tahun itu pula nama Sunan Gunung Djati melekat erat. Bahkan jika kita menuliskan Sunan Gunung Djati di mesin pencari, 95% akan terkait dengan UIN Bandung. Begitu melekat, hingga di masa depan nanti akan terjadi satu relasi tak terpisah: Sunan Gunung Djati adalah UIN Bandung. Kelekatan ini pada satu sisi harus disyukuri, pada sisi lain menjadi amanat yang tak juga ringan. Sunan Gunung Djati adalah seorang pandito-ratu, wali/ulama sekaligus penguasa, wali kutub (pemimpin di antara para Walisongo), saintis, menyebarkan Islam di tatar Sunda tanpa melukai kelokalan Sunda, dan masih banyak keutamaannya.
Secara sederhana, civitas academica UIN Bandung harus memunculkan keutamaan-keutamaan itu, kalaupun tak seluruhnya. Tentu saja tak mudah, karena tak semua orang bisa mencapai derajat wali Allah. Oleh karena itu, hanya rasa syukur karena telah diperkenankan menggunakan nama Sunan Gunung Djati selama lima puluh tahun dan berefleksi, juga berdoa.
Ada spirit Sunan Gunung Djati yang mungkin bisa terus dikembangkan di UIN Bandung, yakni akhlak al-karimah. Pada naskah Mertasinga, mendapatkan wejangan dari dua orang gurunya Najmudin al-Kubra dan Atahaillah Al-Sukandari mengenai pentingnya berislam dengan bingkai akhlak. Kedua guru Sunan ini memesankan hal yang sama ”aja angebat-tebat ing laku”, jangan berlebihan dalam bertindak. ”Yen ngucap kang satuhu, lan aja nyerang hukuming Widhi,” ujar Najmudin Kubra, yang artinya ”Kalau bicara, bicaralah yang jujur dan jangan melawan hukum dari Yang Maha Esa”. Sementara itu, dari Syekh Athaillah menegaskan, ”Den basaja sira iku, aja langguk ing wicara, sira aja ilok anglaluwih ing padaning manusa. (Hiduplah dengan bersahaja, jangan sombong dalam bicara dan jangan berlebihan terhadap sesama manusia).”
Kedua pesan ini kemudian menjadi pedoman hidup Sunan Gunung Djati, lalu 400 tahun setelah kematiannya kedua pesan ini menjadi spirit UIN Bandung. Kini, tahun 2018, adalah 50 tahun UIN dan 450 tahun haul Sunan Gunung Djati. Nilai kebersahajaan dalam menjalankan hidup, mudah-mudahan tetap akan ditumbuhkan oleh UIN Bandung.
Abad teknologi 4.0
Bingkai akhlak al-karimah mungkin dianggap kuno di tengah teknologi 4.0. Namun, mari kita lihat kegelisahan Peter Drucker, ahli manajemen, terhadap perkembangan mesin. Ia meramalkan bahwa pada masa depan, mesin akan semakin mengganti tenaga manusia. Satu ramalan yang saat ini perlahan mulai terbukti. Pada tahun 2050, kira-kira 70% lowongan pekerjaan akan diambil alih oleh robot. Indikasi ini sudah terlihat di perusahan besar, misalnya Foxconn yang telah mempekerjakan 300.000 robot dan mengembangkan salah satunya robot pengantar makanan yang di dalam perut robot tersebut terdapat pemanas makanan otomatis. Ini berarti karyawan jasa antar-jemput makanan sudah mulai terancam. Katakanlah, jika 50% saja lowongan kerja manusia diambil alih oleh robot, maka miliaran manusia akan kehilangan pekerjaan!
Drucker menyatakan bahwa sudah saatnya manusia mengembangkan sisi yang tak bisa dilakukan mesin, yakni menciptakan pengetahuan. Untuk itu, dunia pendidikan harus menggeser orientasinya dari produsen manual worker menjadi knowledge worker, dari sumber daya manusia yang bekerja secara fisik menjadi terampil dalam menciptakan gagasan inovatif, kecemerlangan memecahkan masalah, dan terampil menghadapi perubahan. Intinya, teknologi tak bisa dimusuhi, ia harus digunakan dan diimbangi.
Drucker percaya bahwa manusia berpengetahuan tidak akan dapat digantikan oleh mesin. Padahal di atas knowledge ada wisdom, ada kearifan yang mengatasi pengetahuan. Saat semua orang tahu, ia akan mengalami masalah etik, memilih tindakan yang lebih baik daripada sekadar baik; yang lebih benar daripada mendekati benar. Penyebar hoaks, sebagai salah satu contoh, merupakan pemilik knowledge yang luar biasa kaya, juga terampil menggunakan teknologi informasi. Namun, karena gagal menyelesaikan masalah etik mereka menjadi tidak arif. Wisdom tak sekadar memahami pengetahuan, melainkan merawat kehidupan menjadi lebih indah dan nyaman tanpa kehilangan koneksi dengan perkembangan zaman. Wisdom ini adalah knowledge plus akhlak al-karimah.
Teknologi harus dikuasai oleh umat Islam, tetapi dengan kearifan berbasis akhlak al-karimah. Inilah yang menjadi alasan utama saat IAIN bertransformasi menjadi UIN. Untuk itu, bagi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, civitas academica-nya bukan hanya dituntut untuk mengembangkan dan menemukan ilmu baru, tetapi juga ditagih untuk selalu bertanggung jawab atas kemungkinan dan dampak terburuk dari hasil temuannya (context of discovery) agar menjadi rahmat bagi seluruh alam. Manusia dikarunia knowledge bukan untuk mengeksploitasi alam semesta melainkan untuk memakmurkannya (QS Hūd: 61), menjadikan alam sebagai tanda jejak menuju kearifan.
Di masa depan, dunia ini akan kelebihan orang-orang pintar dan cekatan tetapi kekurangan orang-orang shaleh dan beriman. Di masa depan dunia akan mengalami kelebihan orang-orang kaya akan tetapi kekurangn manusia dermawan. Di masa depan kita akan kelebihan orang yang mencari tempat hiburan akan tetapi kesulitan mencari waktu luang untuk merenungkan ke arah mana jalan menuju pulang. Di sinilah peluang nilai-nilai ”wahyu memandu ilmu dalam bingkai akhlak al-karimah” yang dikemas oleh UIN SGD Bandung saat ini.
Mewarnai kehidupan
Dalam nama Sunan Gunung Djati, civitas academica UIN Bandung, memiliki kewajiban untuk terlibat mewarnai kehidupan. Sebagai dikemukakan Syekh Athaillah pada Sunan Gunung Djati, ”Pan sira aja susah tatapa ing gunung utawa guane iku dadi takabur. Sira laku tapaha maring ingkang remening jalma. Lan duwea muhung. Wong kang luput den ampura. Mung semana lampah ingkang sejati. (Bertapa di gunung atau di gua itu akan menjadikanmu takabur, lakukanlah tapa di tengah ramainya manusia. Milikilah sikap luhur dan maafkan orang yang salah, hanya itulah langkah yang sejati).”
Sebagai gambaran, kehadiran UIN Sunan Gunung Djati di Ttatar Sunda tidak terlepas dari perjuangan para alim ulama. Selain itu mendapat dukungan penuh dari cendekiawan Muslim, tokoh masyarakat, pejabat sipil dan pejabat militer. Mereka menginginkan kemajuan pendidikan di Jawa Barat dengan berbasis ilmu agama.
Ada banyak tokoh masyarakat, alim ulama, dan cendekiawan Muslim yang berjuang untuk mendirikan IAIN (yang kemudian lebih dikenal menjadi UIN) di Jawa Barat. KH Anwar Musaddad (ulama NU asal Garut) yang saat itu dosen IAIN Yogyakarta merumuskan konsep berdirinya IAIN di Jawa Barat, pada sisi lain di Bandung KH A Muiz Ali (ulama NU asal Banten, saat itu Wakil Ketua DPRGR) menjadi panitia pendirian. Mereka menggalang dukungan dari pelbagai pihak, sampai akhirnya Kolonel Mashudi (Gubernur KDH Jawa Barat) dan seluruh pejabat/instansi sipil dan militer tingkat propinsi Jawa Barat memberikan dukungan. Kemudian, turunlah Surat Keputusan No 128 tahun 1967 dari Menteri Agama yang mengesahkan panitia Pembukaan IAIN Jawa Barat tersebut sebagai Panitia Negara.
Kami memohon doa dan dukungan seluruh masyarakat Jawa Barat agar kami dapat mencapai ideal dari spirit Sunan Gunung Djati.
Prof Mahmud, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Pikiran Rakyat 10 April 2018