Pandemi COVID-19 memaksa perhelatan olahraga akbar Olimpiade Tokyo 2020 diundur waktu pelaksanaannya menjadi tahun 2021, tepatnya 23 Juli-8 Agustus 2021. Perubahan jadwal pelaksanaan merupakan konsekuensi atas keniscayaan menjaga keselamatan dan kesehatan warga di satu sisi, serta momentum prestasi olahraga bangsa-bangsa di dunia di sisi lain. Berbagai penyesuaian dilakukan oleh panitia, bahkan di mayoritas venue tanpa kehadiran pemain ke-12 (penonton). Dan secara resmi olimpade Tokyo telah ditutup. Perhelatan olahraga terbesar yang dilaksanakan Tokyo untuk kedua kalinya setelah tahun 1964, telah menorehkan banyak kisah.
Secara historis olimpiade dilaksanakan sejak 776 SM, dan resmi dihitung sebagai olimpiade pertama adalah sejak tahun 1896. Motto olimpiade adalah citius, altius, dan fortius yang bermakna lebih cepat, lebih tinggi dan lebih kuat. Logo 5 cincin berwarna merupakan inisial W yang berarti world, yang bermakna berkumpulnya seluruh insan olahraga dari berbagai benua. Seiring dengan perkembangan zaman, olimpiade tidak saja momentum berkumpulnya insan olahraga, pun unsur lain yang ikut menentukan kesuksesan olimpiade.
Penentuan tuan rumah olimpiade bukan selalu tentang persoalan prestasi olahragawan, lebih dari itu banyak hal yang menjadi pertimbangan agar dapat menjadi tuan rumah. IOC telah memutuskan dokumen tentang “Host City Contract-Operational Requirements” sejak juli 2018 setebal 292 halaman. Menjadi tuan rumah merupakan ajang promosi sebuah negara, keberhasilan sebuah negara mengatur perhelatan akbar, dan pada akhirnya penulis menyebutkan bahwa kesuksesan menjadi tuan rumah olimpiade adalah karya peradaban manusia. Karena peradaban harus dapat dirasakan oleh setiap orang. Pada Tokyo 2020, mayoritas kita mungkin belum mengenal ROC (Russian Olympic Committee). ROC adalah buntut dari kasus doping atlet secara terstruktur yang diungkap Badan Anti Doping Dunia (WADA) https://tirto.id/apa-itu-negara-roc-di-olimpiade-2020-kepanjangan-perolehan-medali-gibx.
Spirit fairness dan ketaatan pada keputusan yang mengikat dari lembaga-walaupun harus dirasakan oleh sebuah negara besar-, merupakan salah satu aktualisasi peradaban manusia. Pascaolimpiade, tentu kita harus memetakan positioning diri kita masing-masing dengan senantiasa mendorong spirit fairness dan ketaatan pada keputusan yang mengikat dari lembaga. Hal tersebut membutuhkan proses panjang dan pengalaman empirik. Sehingga tidak selalu berlindung dari masa lalu, akan tetapi siap untuk mengatakan Haa ana dza.
Political Will
Tiongkok pertama kali menjadi juara tahun 2008 saat menjadi tuan rumah, dan mematahkan dominasi Amerika Serikat. Berdasarkan data, political will dari negara menjadi penentu signifikan dalam pencapaian sejarah olahraga Tiongkok di tingkat dunia https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20210804122945-33-266029/resep-china-jadi-raja-olimpiade-duit-triliunan/3. Proses regenarasi olahragawan terus berlangsung dengan baik, sehingga sampai olimpiade terakhir selalu berada di 3 besar. Artinya lebih dari 12 tahun proses regenerasi terus berjalan dengan baik, dan selalu saja hadir generasi baru dengan semangat baru.
Pencapaian prestasi di olimpiade, bukan saja persoalan Tiongkok sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Lebih dari itu yang harus ditelaah bersama adalah betapa Negara hadir dalam proses continuous improvement prestasi olahraga. Keberlanjutan, saling mengisi dan memperbaiki, kolaborasi bukan lantas saling jual program dengan target yang tidak realistis. Prinsipnya tidak ada superman, karena yang ada adalah super team. Dan setiap entitas harus menyadari kapasitas dirinya, tidak memaksakan diri pada domain yang bukan bagiannya. Tentunya evaluasi seluruh proses harus diproporsikan dengan cara yang dapat diterima collective agreement.
Pada bagian ini, prestasi olahraga erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena, misalnya Tiongkok tentu saja tidak selalu berkutat pada anggaran langsung yang besar, atau bakat yang ada, namun investasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi daya picu yang besar. Melibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam political will sebuah negara dapat dilihat juga pada capaian prestasi olahraga. Contoh Italia, kita mungkin lebih mengenal italia dengan pizza, sepak bola, atau kota Venice. Akan tetapi, 2020 di Tokyo lari 100 m putra, nomor paling bergengsi di atletik, dimenangkan sprinter Italia, Marcell Jacobs. Atau bagaimana data statistika setiap pertandingan menjadi sumber data penting dalam pencapaian prestasi olahraga.
Investasi sumber daya manusia pada ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat ditawar lagi, jika targetnya adalah prestasi. Diminimalisir intervensi kepentingan politik praktis dalam implementasinya. Dan sebagaimana telah kita maklumi bersama bahwa investasi sumber daya manusia, bukan merupakan hal yang instan. Perlu proses panjang dan berkelanjutan. Tidak ada peradaban manusia yang lahir hanya dalam sekejap, demikian pula halnya dengan prestasi dalam bidang olahraga, yang secara langsung dan tidak langsung merupakan dampak dari peradaban manusia.
Alhasil, spirit yang ada dari olimpiade adalah proses keberlanjutan dari masa lalu yang belum menemukan bentuknya. Tentu tidak boleh berakhir seiring dengan meredupnya api olimpiade. Spirit tersebut harus terus menginternalisasi pada diri setiap bangsa, bukan saja kepada masing-masing olahragawan. Sehingga, peradaban yang dibangun berdiri di atas pondasi spirit yang common sense.
Dr. H. Dindin Jamaluddin, M. Ag, Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Kumparan 9 Agustus 2021