Perempuan . .
hanya senja perlahan
gugur di pelupuk yang runyam . .
akhirnya . .
langkah ini tiba pada sebuah sketsa. Dalam kecamuk, dalam peluk. Ada yang terkunci saat ingin membuka segala. Meski cuma lewat kata. Satu hal yang kuyakin; adalah jengahmu pasti hadir dengan lembaran ini. Hanya, bacalah . . moga laramu terkenang dan semakin cukup alasan untukmu membuang.
Simaklah . . lalu sinismu terngiang dan kan ada rutuk yang melenggang. Atau paling tidak pandanglah . . dan jauhkan ia pelan, kelak tak ada perihal yang membayang. Hingga entah kapan kan terhiba maafmu buatku yang tak lagi dikurung naifnya keangkuhan.
Aku tergetar, sebelum sempat kumengerti ada yang gugur dalam bahasa. Aku tersuruk hingga kupahami ada yang hilang dalam diri. Lalu setelah hari-hari yang lusuh, aku tak lagi kuasa melipat bayang. Di stasi itu, terkadang aku ingin menyapamu . . sebentar saja . . meski tak lagi berbagi puisi atau geram hati. Atau mencuri kerling . . dan debar rasa mengiris setiap inci hari. Dan ia begitu saja terhela, sebab aku tak sanggup lagi hidup dengan justa. Ah, andai saja kita sama-sama mengetahui muasal kerumitan ini… (Rimura Arken, Soliloquy)”
Inilah liris hikayat cinta yang bisa kita temukan dalam banyak halaman di novel Soliloquy ini. Membaca novel ini kita ibarat membaca keseharian yang terkadang tak mampu kita bahasakan, tapi itu kita alami. Penulisnya dengan jernih menuliskan suatu monolog diri tentang hari-hari, tentang cinta, tentang dendam, tentang Tuhan, tentang kekonyolan. Beragam hal yang kita alami namun sering tak terlupakan.
Novel ini bercerita tentang seorang pemuda bernama Kenz. Ia adalah seorang mahasiswa filsafat di sebuah universitas di bilangan Jawa Barat. Seperti kebanyakan mahasiswa, terutama filsafat yang selalu identik dengan “amburadul”-nya, maka Kenz and the gank tidak jauh-jauh dari cerita itu. Dunia dan hidup ia jalani begitu adanya, susah, senang bersama saudara-saudara seperantauan, berdiam di rumah kontarakan, bertualang hidup dengan membaca dan mencatat setiap jejak kehidupan. Demonstrasi, diskusi, berdebat dan juga mengendapkan segala beban hidup, hanya dengan mengadu pada buku catatan. Ia adalah manusia tertutup yang hanya mempercayai buku sebagai tempat curahan hatinya. Segala suasana batin dan pengalaman ia rekam dalam buku catatannya. Termasuk hubungan tak menentunya dengan Rere, seorang gadis yang kelak mengisi banyak ruang dalam hatinya. Catatan demi catatan ia pendam sendiri sebagai surat-surat yang tak pernah ia tahu kapan harus mengirimnya. Surat-surat yang tak pernah tersampaikan.
Soliloquy, sesuai judulnya seolah sebuah monolog panjang tentang gundah-gulana sebuah jiwa. Sebuah jiwa yang penuh cinta dan pergulatan kehidupan. Buku ini bisa dibilang sebuah memoar hidup seorang anak muda. Tentu saja karena back ground penulisnya adalah mahasiswa filsafat, maka mau tak mau ia terpengaruh dengan dunianya untuk memunculkan letupan-letupan filosofis dalam novelnya ini. Sebuah novel yang barangkali menjadi sebuah kitab filsafat yang lunak. Membuat seorang yang tak paham dan tak mau tahu tentang filsafat merasakannya sebagai sebuah bagian dari kehidupan yang sangat dekat dengan kita.
Kenz mencintai seseorang, namun ia selalu menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Permasalahannya adalah, apakah waktu yang tepat itu memang ada? Atau, kelak waktu itu akan menuntunnya pada sebuah rahasia yang tak pernah kita tahu? Entah akan memenjaranya dalam derita dan sesal, atau barangkali akan membawa dan melemparkan kita menuju kebahagiaan karena ‘semua indah pada waktunya’? dalam novelnya ini, penulis bercerita banyak hal, bagi anak muda atau yang pernah muda, membaca novel ini adalah membaca diri, membaca dunia muda yang petuh petualangan fisik dan spiritual. Idealisme dibenturkan realita, keyakinan bertabrakan dengan fakta, sebuah ramuan khas anak muda dalam menjalani hidupnya. Inilah hal paling menarik yang tersaji dalam novel ini.
Tentu saja tidak semua hal indah pada waktunya. Karena waktu yang tepat tak pernah bisa diprediksi. Karena hidup adalah rangkaian misteri yang kadang tak terkuak bahkan hingga kita mati. Yang jelas, kau tak pernah tahu apa yang kau miliki hingga kau kehilangan sesuatu itu. Maka tentu saja, pilihan untuk melakukan sesuatu, mengucapkan sebuah kata, atau mengungkapkan sebuah rasa adalah pilihan masing-masing orang. Ada yang ingin melakukannya cepat, tergesa-gesa, ada juga yang memilih menungu dan bahkan mengendapkannya bersama jutaan pertimbangan yang masuk akal (setidaknya bagi ia sendiri). Rimura Arken, penulis “SOLILOQUY …aku selalu menunggu waktu yang tepat” mengajarkan kita banyak hal dan banyak pertimbangan dalam hidup.
Kita akan menunggu, sebab novel ini mungkin akan menjadi novel paling diburu..
Judul Buku: SOLILOQUY; Aku Selalu Menunggu Waktu Yang Tepat
Penulis: Rimura Arken
Penerbit: Juxtapose
Tahun : 2009
Tebal: 216 halaman