Istilah Social Distancing (menjaga jarak sosial) merupakan salah satu istilah yang sedang menarik perhatian menyusul mewabahnya Virus Corona di belahan dunia. Istilah tersebut merupakan salah satu cara memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Dalam hukum Islam, istilah Social Distancing (SD) sesungguhnya melekat pada keharusan mengerjakan sesuatu dn meninggalkan sesuatu yang dilarang. Diantara keharusan mengerjakan sesuatu tersebut adalah melaksanakan ihram, baik ihram untuk haji maupun umrah. Dalam ihram banyak hal yang harus dilakukan dan banyak pula yang harus ditinggalkan. Kendati demikian, keduanya memiliki jeda waktu. Kewajiaban dan larangan tersebut tidak selama-lamnya. Keduanya relatif memilki kesamaan. Bahkan dalam konteks tertentu, ihram banyak mengilhami keharusan setiap individu untuk melakukan Social Distancing.
Pertama, Ihram mengajarkan tentang prilaku suci dan bersih. Siapapun ketika berihram, ia disyariatkan untuk selalu menjaga prilaku suci dan bersih, terutama menjaga wudhunya. Bersih dan suci baik lahir maupun bathin. Social Distancing dengan motto ‘di rumah aja’ mengajarkan kita untuk selalu memiliki budaya suci dan bersih, bukan saja di rumah tetapi dimanapun kita berada (minimal selalu mencuci tangan). Memperbanyak wirid, dzikir, talbiyah, dsbya mengharuskan kita untuk senantiasa meninggalkan kerumunan massa dan fokus pada pemenuhan hasrat spiritual yang bersipat individual. Sadar akan dosa dan kesalahan mengiringi taubat kepada Allah Swt. Intinya fokus hanya memohon ampunan dan ridha Allah swt. Sejatinya, Social Distancing juga dapat menimbulkan kesadaran ruhani untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah swt. Dalam ihram, sesuatu yang awalnya halal berubah menjadi haram, dan begitupun sebaliknya. Hubungan suami istri, menikahkan untuk dirinya, bertindak sebagai saksi nikah, rofats pun dilarang. Dilarang berbuat dosa, konflik dan berdebat yang tidak mampu menyelesaikan masalah, mengggunting/memotong rambut dan kuku, menggunakan wangi-wangian, menggunakan pakaian berjahit dan menutupi kepala (bagi laki-laki), membunuh binatang buruan (apalagi memakan bianatang yang dilarang), terbuka aurat. Larangan tersebut relatif mengarahkan manusia untuk mengurangi bahkan meninggaalkan kenikmatan dunia secara sosial. Menghindari kehidupan sosial untuk sementara waktu.
Kedua, Ihram mengajarkn kita untuk selalu memiliki sikap jujur. Jujur ketika melakukan kesalahan/pelanggaran dan siap untuk menerima hukuman. Dalam kehidupan yang riil betapa kejujuran merupakan sesuatu yang mesti dipertahankan. Jujur dan gantle ketika kita termasuk ODP atau PDP bahkan dinyatakan positif terkena virus corona. Kejujuran akan menyelamatkan diri dan orang lain. Sosial Distancing sejatinya mengajarkan kita tentang arti kejujuran dalam menjalani kehidupan.
Ketiga, Ihram memiliki masa waktu tertentu. Ia tidak berlaku selama-lamnya. Ada batas akhir melalui tahallul. Syariat Islam mengajarkan tentang arti penting kehidupan individual tetapi juga Islam sangat realistis bahwa manusia sebagai makhluk sosial. Ia perlu bersosialisasi, interaksi dan komunikasi. Oleh karena itu, tahallul merupakan simbol untuk mengawali kembai kepada kehidupan sosial. Kebebasan dalam kehidupan sosial tersebut juga tetap dibatasi oleh norma-norma hukum baik yang termaktub dalam al-quran maupun hadits. Social Distancing tidak mungkin berlaku selama-lamnya. Ia pasti ada batas akhirnya. Secara umum, semua syariat Islam mengarah pada kehidupan dan memiliki makna kesolehan sosial. Ia tiadak bersiapt individual. Tetapi pada ranah tertentu, termasuk ketika berihram mengharuskan kita untuk menjaga jarak kehidupan sosial agar tetap fokus (khusyu’) dalam beribadah. Syariat Thawaf merupakan simbol kesolehan individual untuk menguatkan Tauhid. Sedangkan Sa’i merupakan simbol kesolehan dan kehidupan sosial. Keduanya menyatu dan kebutuhan dalam menjalankan syariat Islam. Wallhua’lam bi al-shawab.
Aden Rosadi, Pembimbing Haji dan Umrah Qiblat Tour dan Dosen FSH UIN SGD Bandung.
Sumber, Pikiran Rakyat 28 April 2020