Sisi Lain Film Innocence of Moslems

INNOCENCE of Moslems, begitu judul sebuah film buatan warga Amerika, Sam Bacile, yang diluncurkan di jejaring virtual YouTube. Kisahnya –secara garis besar– menggambarkan sosok Nabi Besar Muhammad SAW secara fisik, lengkap dengan dialog-dialog langsung, interaksinya, dan berbagai hal lain yang tidak patut diutarakan dalam media ini. Bacile kini kabur dalam persembunyiannya, walaupun masih sempat berujar sinis terhadap pihak-pihak yang memprotes film buatannya itu.

Akibat ulah Sam Bacile, umat Islam seluruh dunia merasa tersakiti hingga timbul kerusuhan yang menewaskan Dubes AS untuk Libya, Christopher Stevens. Ia jadi korban tidak langsung dari pembuatan dan peluncuran film Innocence of Moslems.

Stevens menjadi duta besar pertama AS yang tewas akibat serangan demonstran dalam 33 tahun terakhir sejarah negara itu, setelah Adolph Dubs di Afghanistan pada 1979, Francis E. Meloy Jr. (Lebanon/1976), Rodger P. Davies (Siprus/1974), Cleo A. Noel Jr. (Sudan/1973), dan John Gordon Mein (Guatemala/1968).

Dalam ajaran Islam, melukiskan sosok fisik Nabi Muhammad SAW saja sudah satu hal yang diharamkan, apalagi jika memberi imaji-imaji yang bertentangan dengan kaidah dan dogma agama wahyu itu. Media berbasis di AS, Wall Street Journal, menyatakan Bacile melibatkan sementara komunitas agama tertentu di Mesir.

Di balik pembuatan Innocence of Moslems itu, disebut-sebut nama seorang pendeta Kristen asal Florida, Terry Jones. Dia dianggap sebagai promotor. Terry seorang fundamentalis dan sempat terlibat dalam pembakaran kitab suci Alquran di Florida, dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan setempat atas aksinya itu.

Demikianlah, kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat tanpa memperhatikan sensitivitas keyakinan, kembali memakan korban. Tidak tertutup kemungkinan menimbulkan konflik baru yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Islamfobia

Innocence of Moslems menggambarkan muslim tidak bermoral dan memuja kekerasan. Dengan penggambaran kehidupan Nabi SAW, film itu menyentuh tema pedofilia dan homoseksualitas serta memicu unjuk rasa di Mesir dan kekerasan di Libya, lalu menyebar ke berbagai belahan dunia. Film ini dibuat dalam waktu tiga bulan pada musim panas 2011, didukung 59 aktor dan sekitar 45 orang kru di belakang layar.

“Ini adalah film politik,” kata Bacile. “Amerika Serikat kehilangan banyak uang dan pasukan dalam perang Irak dan Afghanistan, namun kami sedang bertempur melawan ideologi.”

Bacile, seorang pengusaha properti di California yang menyebut dirinya sebagai seorang Yahudi Israel. Dia mengatakan dia yakin film tersebut akan membantu tanah airnya untuk mengekspos kelemahan Islam kepada dunia. “Islam adalah sebuah kanker,” ujarnya.

Bacile menjelaskan, film berdurasi dua jam ini telah menghabiskan biaya produksi 5 juta dolar AS (Rp 48 miliar). Dalam film tersebut, Bacile menggambarkan Nabi Muhammad SAW adalah seorang penipu. Untuk menyaksikan cuplikannya, film ini diunggah ke YouTube berdurasi 13 menit dalam bahasa Inggris.

Aksi memprotes film yang dianggap menghina Nabi Muhammad SAW itu kini menyebarkan dampaknya ke seluruh dunia. Kepolisian Nigeria kini dalam keadaan siaga merah. Kedubes AS di Aljazair memperingatkan warganya di negeri itu untuk menunda perjalanan yang tak terlalu penting.

Polisi Tunisia menembakkan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan aksi unjuk rasa dekat ibu kota Tunis. Unjuk rasa juga dilaporkan terjadi di Khartoum, Sudan, di depan Konsulat AS di Casablanca, Maroko, dan sejumlah perwakilan PBB di Jalur Gaza. Dan pemerintah Afganistan memerintahkan pemblokiran situs YouTube sampai video kontroversial itu dihapus. Namun, YouTube masih bisa diakses di Kabul.

Motif politik

Dengan hanya mengatakan umat Islam tak dewasa dan sebagainya, tanpa melihat “kepongahan” AS dalam kebijakannya terhadap negara-negara Timur Tengah, tentu tak akan melacak akar masalah, yaitu mengapa reaksi umat sangat berbeda untuk kasus film Innocence of Moslems ini. Libya, sebagai negara tempat jatuhnya korban jiwa, jelas-jelas rakyatnya telah mengirimkan sinyal enough terhadap segala campur tangan Amerika di Negara itu, dan seharusnya Amerika menangkap “sinyal” tersebut.

Sementara itu, umat Islam juga harus sadar motif tersembunyi di balik tujuan pembuatan film itu. Surat kabar Wall Street Journal melaporkan, Rabu (12/9), Bacile menyatakan, melalui sambungan telepon, bahwa tujuan utama film ini adalah politik, dan Amerika banyak kehilangan uang untuk perang di Irak dan Afghanistan yang selanjutnya di-recovery melalui ide-ide.

Pernyataan Bacile, sang sutradara film, “Ini film politik”, jelas menunjukkan motif yang sesungguhnya, yaitu agar terciptanya chaos dan konflik horizontal antarumat beragama, bahkan menyeret Amerika. Sam Bacile sangat mengerti bagaimana sosok Nabi Muhammad SAW di mata muslim.

Ia menunggangi “psikologi” umat Islam dengan filmnya untuk memantik emosi umat Islam. Tujuannya jelas, yaitu mendiskreditkan umat Islam, khususnya, dan negara-negara Timur Tengah, umumnya, yang mayoritas pemeluk Islam.

Di sinilah umat harus mengerti tujuan mereka sebenarnya agar tak terseret ke dalam lingkaran amarah yang justru merugikan umat Islam itu sendiri. Jangan sampai reaksi umat berbuah pembenaran untuk menyerang negara-negara Islam secara membabi buta, sekaligus menyudutkan posisi Islam di mata dunia.

Penulis, Dosen Fakultas Tarbiah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Sumber, Galamedia 20 september 2012

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter