Refleksi di Hari Santri

Ini hari santri. Dan, tepat di hari ini, ingatan saya kembali ke masa silam. Masa ketika “ngobong” di pesantren. Masa ketika dari pagi sampai malam tiba diisi dengan belajar porosnya selalu sama: asrama-kelas-mesjid.

Menjadi santri tidak hanya lekat dengan sarung. Menjadi santri hal lainnya adalah dekat ‘ilmu alat”. Disebut ilmu alat karena dua ilmu inilah yang menjadi pembeda antara pelajar lainnya dengan santri. Ilmu alat terdiri dari dua kembaran yaitu Nahwu dan Shorof. Dua ilmu yang berguna untuk bisa membaca, mengerti dan memahami Kitab Kuning.

Membaca kitab kuning apalagi jika kitab itu “gundul” meniscayakan ilmu bantu atau ilmu alat. Dengan itu, “kegundulan” bisa dimengerti dan dipahami maksudnya. Terlebih membaca al-Qur’an yang memiliki kompleksitas frasa, kehadiran ilmu ini menjadi niscaya. Ilmu bantu ini tiada lain adalah “Shorof”.

Bersama ilmu Nahwu, Shorof sebagai ilmu seumpama kembaran yang bisa membuat terang sebuah bacaan. Semisal “duet maut” yang bertugas memperjelas teks dan bacaan sehingga tidak diselimuti kabut dan misteri ketidakmengertian.

Di kalangan santri, ilmu ini bukan ilmu sembarangan. Seorang santri akan diragukan kesantriannya jika tak menguasai ilmu ini. Akan dianggap gagal orang yang mondok bertahun-tahun di pesantren jika tak faham ilmu ini. Disamping “ilmu ngaliwet” menguasai ilmu shorof seumpama “conditio sine qua none” status kesantrian seseorang. Ya, shorof adalah ilmu yang menahbis seseorang layak bergelar santri atau tidak.

Sesuai dengan pengertian dasarnya, shorof adalah ilmu yang memetakan “perubahan” bentuk dari sebuah kata dasar (mufrod) ke bentuk plural (jama’). Bentuk kata berubah, berubah pula maknanya. Perubahan bentuk kata berimplikasi besar pada perubahan makna sebuah kalimat. Perubahan yang dimaksud bukanlah perubahan yang sembarangan. Dilakukan tanpa aturan dan menyimpang dari standar yang berlaku.

Shorof itu ilmu baku juga rumit. Disebut begitu karena di dalamnya ada “wajan” (timbangan) yang menjadi formula dasar yang menentukan pergeseran/perubahan bentuk kata. Seumpama siasat logika dalam format “modus fonen” (Jika P maka Q. Maka mustahil jika P maka R, S atau Z). Sepintar-pintarnya seorang santri terlarang baginya untuk berimprovisasi membuat perubahan bentuk kata yang menyimpang dari “wajannya”. Sebadung-badungnya seorang santri, di hadapan ilmu shorof, ia akan berubah menjadi santri yang sholeh, santun dan taat aturan.

Maka, Anda yang mantan santri atau siapapun yang pernah “ngobong” pasti akan tersenyum bahkan tertawa manakala melihat atau mendengar seorang pendakwah kondang yang tiba-tiba keliru memetakan perubahan bentuk kata “kafaro”. Anda yang mantan santri pasti akan bertanya, “dia pernah nyantri g yaa… !?” Hee…

Zaman saya nyantri dulu, beruntung saya beroleh ustadz ilmu shorof yang juga “seniman” (beliau sudah meninggal, allahimagfirlahu warhamhu). Saya menyebutnya “seniman” karena ketika kami melafadzkan perubahan bentuk dari kata dasar ke bentuk kata yang lain dilakukan sambil nyanyi, sambil mukul meja belajar bahkan sambil menari-nari. Di tangannya, ilmu shorof adalah kata berirama dan bunyi-bunyian perubahan kata yang bisa mendatangkan keriangan bahkan gelak tawa.

Seorang teman misalnya, ketika diperintahkan menashrif (merubah) kata “inkasaro” menjadi “inkasaro, yankasiru, inkisaron, fahuwa maung kasarung”. Kami semua bergelak menikmati kengacauan ini. Beliau tidak marah malah ikutan tertawa.

Sungguh. Ilmu shorof bagi saya adalah ilmu yang memberikan pelajaran tentang keharusan taat pada aturan. Ada tuntunan yang kepadanya kita harus setia, tulus dan teguh melakukannya. Ilmu shorof bagi saya, menjadi perumpamaan tentang laku beragama. Bahwa beragama secara umum adalah implementasi terhadap aturan dan tuntunan yang sudah digariskan.

Namun dalam ilmu shorof juga ada dua kata mutiara berharga yang bisa memantik pelajaran buat kita, bahwa selain kata “dhoroba” (memukul) ada juga kata “nashoro” (menolong). Selamat hari santri nasional. Allahu a’lam.[]

Dr. Radea Yuli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter