Setiap Tahun Kemendagri Batalkan Ratusan Perda

[www.uinsgd.ac.id] Setiap tahun Kementerian Dalam Negeri (kemendagri) membatalkan ratusan peraturan daerah (perda) kota/kabupaten, karena dinilai bertentangan dengan kepentingan umum atau berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Perda bermasalah ini terjadi akibat kurangnya pembinaan dalam proses pebentukan perda tersebut.

“Pada Juni 2013 diketahui ada 107 perda yang dibatalkan, 2012 (173), 2011 (351), dan 2010 (407). Bahkan ribuan perda dalam setiap tahunnya diklarifikasi,” ungkap Dr H Utang Rosidin usai Sidang Promosi Doktor di Pascasarjana Unpad, belum lama ini.

Tindakan pembatalan ini, lanjut Utang, merupakan kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri dalam mengawasi perda, agar mampu mewujudkan harmonisasi perda dalam sistem peraturan perundang-undangan nasional. Itu dilakukan demi tertib hukum dari penyelenggara pemerintah daerah dalam menjamin perlindungan hak-hak masyarakat di daerah bersangkutan.

“Pemerintah pusat punya kewenangan mengawasi daerah otonom, agar terjadi keseimbangan kekuasaan yang menempatkan posisi pemerintah pusat sebagai penjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam penyelenggaraan otonomi daerah,” kata Utang, yang mendapat gelar Doktor Ilmu Hukum, dengan judul disertasi “Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Pusat Mengawasi Peraturan Daerah dalam Sistem Otonomi Luas di Indonesia”.

Diterbitkannya perda, dalam rangka mengatur dan mengurus rumah tangga masing-masing daerah, tidak boleh menyimpang dari kaidah Hukum Tata Negara. Karenanya pemerintah pusat mengawasi perda dengan cara klarifikasi apakah perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan yang lebih tinggi? Selain itu, pemerintah pusat berwenang mengevaluasi rancangan perda sebelum ditetapkan.

Tercatat, sejak tahun 2002 hingga 2009, Kemendagri telah membatalkan 1.878 perda. Pada 2013, hingga bulan Juni dari 1.250 perda, sebanyak 107 dibatalkan karena dinilai bermasalah. Pembatalan ini seringkali memancing pergulatan politik, hingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Terlebih pembatalan selama ini dilakukan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri). Ini dianggap keliru karena instrumen hukum untuk membatalkan perda seharusnya dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 143 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004.

Saking banyaknya perda menyebabkan molornya kajian yang dilakukan Kemendagri. Perda  yang sudah ditetapkan oleh daerah, baru dibatalkan dua tahun kemudian, seharusnya 60 hari setelah Perda tersebut ditetapkan oleh DPRD dan Pemda (Pasal 145 UU No 32/2004). Kasus ini menimpa Kota Tangerang yang sudah menetapkan Perda No 7 Tahun 2005 tentang Pelarangan Minuman Beralkohol, termasuk Perda No 15 Tahun 2006 di Kabupaten Indramayu, dan Perda No 11 Tahun 2010 di Kota Bandung. Banyak kalangan menolak pembatalan tersebut karena Kemendagri dinilai melanggar UU No 32 Tahun 2004.

“Jika kewenangan tidak sesuai dengan prosedur, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Ini sebuah kegagalan dalam menegakkan konstitusi,” ujar Utang, seraya menyarankan segera dibentuk lembaga khusus di bawah tanggung jawab Presiden, yang berfungsi mengkoordinasi informasi hukum, perancangan hukum, dan pusat pemasyarakatan hukum.

Lembaga ini fokus terhadap pengawasan perda secara optimal, dalam rangka mewujudkan tertib peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum yang berdasarkan konstitusi. “Lembaga ini berperan sebagai pemantau proses perencanaan dan pembentukan perda, sehingga berlangsung proses pembinaan perda secara berkelanjutan,” ujar dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung ini.[Nank]

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *