Seputar Penelitian Agama dan Perubahan Sosial

A. Wacana Penelitian Agama

Ketika Profesor A. Mukti Ali menjabat Menteri Agama RI dalam Kabinet Pembangunan I (1971-1973) dan Kabinet Pembangunan II (1973-1978),[1] marak pembicaraan tentang peranan agama dalam pembangunan nasional. Agama dipandang sebagai motivator, dinamisator, dan katalisator pembangunan. Berbagai pandangan Mukti Ali, berupa makalah dan pidato resmi, tersusun dalam penerbitan serial, yang diberi judul Agama dan Pembangunan di Indonesia (sembilan jilid). Pembicaraan tentang hal itu, berkembang pada tingkat yang lebih terbatas, pada tingkat regional dan lokal. Semangat untuk membicarakan hubungan antara agama dengan pembangunan digelar dalam berbagai kegiatan: diskusi, seminar, dan penelitian, termasuk dalam lingkungan kampus PTAI. Tema “agama dan pembangunan”, merupakan pencerminan misi menteri agama dalam Kabinet Pembangunan. Sementara itu, pembangunan nasional diprioritaskan pada bidang ekonomi, yang “dikawal” oleh stabilitas politik dan keamanan.

Salah satu upaya untuk memahami dan menjelaskan hubungan antara agama dengan masyarakat, khususnya pembangunan, Mukti Ali (1972: 1980) melontarkan gagasan untuk merumuskan metode penelitian agama secara khusus. Gagasan itu diwujudkan, di antaranya berupa pembentukan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama (Balitbang Agama) dalam jajaran Departemen Agama pada tahun 1975; pembentukan dan penyelenggaraan Program Latihan Penelitian Agama (PLPA) bagi para dosen IAIN; serta menjalin kerja sama penelitian dengan beberapa perguruan tinggi dan LIPI. Di samping itu, Mukti Ali terlibat dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial, antara lain menjadi salah seorang pengurus Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) di bawah pimpinan Selo Soemardjan, dan menjadi pengurus Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIS). Berkenaan dengan harapan dan pengalamannya itu, ketika melantik Kepala Balitbang Agama (1975), sebagaimana dikutip oleh Muljanto Sumardi, Mukti Ali, menyatakan: “…… Kalau keadaan ilmu-ilmu sosial selain ekonomi di Indonesia sangat lemah, maka sebenarnya ilmu-ilmu agama di Indonesia adalah lebih lemah lagi …..”.[2] Cara yang paling efektif untuk meningkatkan ilmu agama di Indonesia, menurut Mukti Ali, adalah dengan meningkatkan penelitian agama.

Apa yang dikemukakan oleh Mukti Ali, merupakan suatu gambaran tentang polarisasi antara ilmu-ilmu sosial (selain ilmu ekonomi) di satu pihak, dan ilmu ekonomi di pihak lain. Kritik terhadap ilmu-ilmu sosial –karena hanya mampu mendeskripsikan dan menjelaskan sasaran kajiannya– terutama dari kalangan pakar ekonomi, muncul melalui berbagai saluran: pers dan forum seminar. Dalam seminar yang diselenggarakan oleh HIPIS pada tahun 1979 (Universitas Brawijaya, Malang) dan 1984 (Universitas Sriwijaya, Palembang), kritik itu masih mengemuka. Sementara itu, ilmu ekonomi telah memiliki kemampuan untuk ditransformasikan dalam pembangunan nasional, sebagaimana dirumuskan dalam GBHN, yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi. Berkenaan dengan hal itu, muncul berbagai kajian tentang ekonomi pembangunan, yang juga dikenal sebagai ekonomi politik.[3] Namun demikian, ilmu ekonomi mengalami ketidakberdayaan ketika terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang menyebabkan kejatuhan Soehato dari puncak kekuasaan pada pertengahan tahun 1998.

Gagasan dan usaha Mukti Ali, telah menghasilkan berbagai produk penelitian yang dijadikan bahan perumusan kebijakan menteri, tradisi penelitian di kalangan dosen IAIN, dan produk penelitian hasil kerja sama dengan perguruan tinggi. Berbagai produk kajian dan penelitian itu, disebarluaskan dalam bentuk buku dan jurnal. Di antara  produk yang disebarluaskan, berkenaan dengan agama dan pembangunan, berupa buku: Agama dan Perubahan Sosial (Taufik Abdullah, editor) dan Kajian Agama dan Masyarakat (Sudjangi, 1992, editor). Dalam buku pertama, ditampilkan hasil penelitian yang menggambarkan Islam di Aceh (oleh dua orang ahli IAI dari IAIN Banda Aceh, Ismuha dan Baihaqi A.K) dan Sulawesi Selatan (oleh dua orang antropolog dari Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, Mattulada dan Abu Hamid). Kontribusi Mukti Ali tercermin dalam kata pengantar yang ditulis oleh Taufik Abdullah. Sementara itu, dalam buku kedua ditampilkan berbagai tulisan para ahli IAI dan ilmu-ilmu sosial tentang agama sebagai realitas kehidupan, yang dijadikan sasaran pengkajian dan penelitian.[4] Oleh karena buku itu disusun berkenaan dengan peringatan hari jadi kelimabelas tahun Balitbang Agama, tentu saja berpangkal dari apa yang digagas dan diwujudkan oleh Mukti Ali, yang juga menulis tentang “Islam, Religion and Science”.[5]

Tentu saja pembicaraan tentang agama dan pembangunan sangat mengasyikkan, karena dalam perkembangan sejarah umat manusia, agama memiliki signifikansi terhadap perkembangan masyarakat, terutama perdagangan. Pandangan Weber tentang etika Protestan dan semangat kapitalisme, menjadi komoditas dalam seminar dan diskusi, dan menjadi wacana yang dipandang layak untuk diterbitkan (Lihat: Taufik Abdullah, 1983). Ia dijadikan rujukan untuk menjelaskan hubungan antara agama dengan perkembangan ekonomi, terutama dari sudut pandang antropologis dan sosiologis. Demikian pula, hasil penelitian McClelland (1961) tentang need for achievement yang menjadi virus mental bagi kewirausahaan, menjadi bahan kajian; bahkan yang bersangkutan sempat memberikan penjelasan di beberapa perguruan tinggi pada awal tahun 1970-an. Oleh karena itu, muncul gagasan etos kerja dan etika bisnis. Demikian pula hubungan antara agama dengan berbagai bidang kehidupan lainnya menjadi wacana di kalangan intelektual Indonesia (Lihat: Sudjangi, 1992).

Namun demikian, penelitian tentang hubungan antara agama dengan pertumbuhan atau perkembangan ekonomi –yang menjadi prioritas dalam pembangunan nasional– berkenaan dengan gagasan itu,  masih sangat langka, baik yang berskala mikro maupun makro. Berkenaan dengan hal itu, ketika terjadi krisis ekonomi melanda masyarakat bangsa Indonesia gejala kehidupan ini sulit untuk dijelaskan, apalagi untuk diatasi, yang didasarkan kepada hasil penelitian yang pernah dilakukan. Sementara itu, dalam gejala kehidupan umat beragama, khususnya Muslim, muncul berbagai upaya untuk menerapkan ajaran Islam tentang ekonomi –atau dikenal sebagai ekonomi Islam– dalam dunia bisnis dan perbankan. Gejala yang demikian merupakan suatu respon terhadap cultural focus di berbagai negara di dunia. Hal itu merupakan lahan baru bagi penelitian agama, khususnya mengenai hubungan antara ajaran Islam dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, yang dapat dilakukan melalui penelitian monodisipliner atau interdisipliner dan multidisipliner, yang menjadi sumber inspirasi kemunculan gagasan “peranan agama dalam pembangunan”.[6]

B. Agama dan Perubahan Sosial

Ketika sepasang anak manusia melakukan perkawinan, pada diri mereka terjadi peralihan status, yaitu dari bujangan dan gadis menjadi beristeri dan bersuami. Secara demografis peralihan ini bermakna perubahan status marital, dari status tidak kawin menjadi status kawin. Status yang baru itu menjadi titik tolak untuk memperoleh status lainnya, di antaranya sebagai menantu dari mertua, sebagai kakak ipar dari adik ipar, dan seterusnya. Semua status itu bersifat statis. Namun, pada masing-masing status itu menuntut aspek dinamis, yakni “peranan yang seharusnya” dilakukan (prescriptive role), yakni hak dan kewajiban suami isteri, hak dan kewajiban sebagai menantu, sebagai ipar, dan seterusnya. Ketika hak dan kewajiban itu ditunaikan dalam kehidupan keluarga (orientasi dan prokreasi), yakni dalam wujud interaksi, maka terjadi “peranan yang dilaksanakan” (descriptive role atau actual role) oleh masing-masing pihak. Oleh karena itu, keluarga disebut sebagai satuan sosial terkecil, yang di dalamnya, antara lain, terjadi interaksi antar anggota keluarga.

Ketika dari interaksi suami isteri itu membuahkan kelahiran anak, maka terjadi tiga perubahan sekaligus. Pertama, perubahan status masing-masing suami dan isteri dan kedua suami isteri. Suami tetap menjadi suami dari isterinya, kemudian menjadi bapak dari anaknya, dan bersama isterinya menjadi orang tua dari anaknya. Sedangkan isteri tetap menjadi isteri dari suaminya, kemudian menjadi ibu dari anaknya, dan bersama suaminya menjadi orang tua dari anaknya. Penambahan jumlah status itu berakibat terhadap unsur keluarga lainnya. Mertua menjadi kakek dan nenek dari cucunya, dan adik ipar menjadi paman dari keponakannya. Kedua, terjadi perubahan jaringan hubungan keluarga yang lebih luas dan lebih rumit, baik dalam keluarga orientasi masing-masing suami isteri maupun dalam keluarga prokreasi mereka. Dalam jaringan itu, terdapat alokasi otoritas dan alokasi protokoler dalam urusan keluarga dan publik, serta pola hubungan sosial yang menyertainya, yang mengacu kepada nilai dan norma sosial dalam satuan sistem sosial atau lingkaran kebudayaan. Ketiga, terjadi perubahan jumlah manusia, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat, bahkan bagi penghuni muka bumi (dunia, dalam arti ruang dan waktu). Penambahan jumlah manusia itu, memiliki makna antropologis, sosiologis, dan demografis. Kalahiran dilengkapi dengan ritus keagamaan, antara lain akikah (Islam) dan pembaptisan (Kristen). Kelahiran juga berarti penambahan hak dan kewajiban dalam keluarga. Di samping itu, kelahiran (fertilitas) berarti penambahan jumlah penduduk dalam suatu kawasan. Ketika jumlah manusia dihitung secara mutlak, maka dikenal sebagai pertambahan penduduk. Ketika pertambahan penduduk itu dihitung secara relatif, maka dikenal sebagai pertumbuhan penduduk (population growth). Kini, pertambahan dan pertumbuhan penduduk itu menjadi salah satu gejala kehidupan manusia di muka bumi yang dipelajari secara khusus, yakni studi kependudukan, dengan mengerahkan berbagai disiplin ilmu (alamiah, sosial, dan humaniora).

Apa yang dikemukakan di atas, merupakan hal yang biasa dialami oleh semua manusia secara universal, di mana pun dan kapan pun, selama kehidupan umat manusia berlangsung. Hal itu dapat dipandang sebagai cikal bakal pengkajian perubahan sosial (social change). Atas perihal itu, muncul satu pertanyaan: apa hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan agama? Manakala agama dipandang sebagai seperangkat nilai dan norma kehidupan manusia yang bersumber dari keyakinan, maka hubungan antara keduanya sangat erat. Keabsahan perkawinan, khususnya di Indonesia, didasarkan kepada hukum agama yang dipeluk oleh warga negara. Hak dan kewajiban suami isteri dan hak antara orang tua dan anak didasarkan kepada hukum agama yang telah memperoleh legalisasi produk kekuasaan negara. Demikian pula, proses peralihan (inisiasi) yang menjadi peristiwa terpenting dalam kehidupan manusia, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian memperoleh transendensi agama yang dipeluk oleh anggota keluarga.

Boleh jadi jumlah anak yang diinginkan oleh orang tua didasarkan kepada nilai-nilai dan norma sosial yang dianut oleh mereka. Berkenaan dengan hal itu, dalam pengkajian kependudukan, terutama keluarga berencana, agama yang dipeluk oleh satuan masyarakat dipandang berpengaruh terhadap fertilitas,[7] meskipun melalui beberapa variabel antara (intermediate variables), yakni faktor-faktor hubungan kelamin (intercourse variables), faktor-faktor kehamilan (conception variables), dan faktor-faktor kelahiran dengan selamat (gestation variables).[8] Berkenaan dengan fertilitas ini, terutama penggunaan alat kontrasepsi, khususnya intra uterine devices (IUD), dalam pelaksanaan program keluarga berencana di Indonesia, telah dikeluarkan fatwa MUI tentang penggunaan alat tersebut, sebagai pembatalan terhadap fatwa 11 orang ulama yang dikeluarkan sebelumnya (Lihat: M. Atho Mudzhar, 1993: 127).

Menurut hasil penelitian M. Atho Mudzhar (1993: 126), pokok-pokok isi fatwa MUI tentang keluarga berencana adalah sebagai berikut ini. Pertama, Islam membenarkan pelaksanaan keluarga berencana yang ditujukan demi kesehatan ibu dan anak, dan demi kepentingan pendidikan anak. Pelaksanaannya harus dilakukan atas dasar sukarela, dan menggunakan alat kontrasepsi yang tidak dilarang oleh Islam. Kedua, pengguguran kandungan dalam bentuk apa pun dan pada tingkat kehamilan kapan pun diharamkan oleh Islam karena perbuatan itu tergolong pembunuhan. Ini termasuk pengaturan waktu haid dengan menggunakan pil. Pengecualian hanya diberikan apabila pengguguran dilakukan demi menolong jiwa si ibu. Ketiga, vasektomi dan tubektomi dilarang dalam Islam, kecuali dalam keadaan darurat, seperti untuk mencegah menjalarnya penyakit menular atau untuk menolong jiwa orang yang hendak menjalani vasektomi atau tubek-tomi. Keempat, penggunaan IUD dalam keluarga berencana dibenarkan, asalkan pemasangannya dilakukan oleh dokter wanita atau, dalam keadaan tertentu, oleh dokter lelaki dengan dihadiri oleh kaum wanita lain atau si suami pasien.

Uraian ringkas di atas menunjukkan tentang suatu hubungan timbalbalik antara agama dengan pertumbuhan penduduk, sebagai salah satu dimensi perubahan sosial. Hubungan itu, secara umum, mencakup tiga unsur, yakni unsur norma sosial yang bersumber dari ajaran agama yang dijadikan dasar keabsahan perkawinan dan norma interaksi suami isteri; unsur perilaku manusia, yakni interaksi suami isteri dan antar ulama dalam proses perumusan fatwa MUI; dan unsur biologis, yakni proses reproduksi yang berawal dari hubungan kelamin suami isteri. Unsur norma sosial secara umum berpengaruh terhadap unsur perilaku manusia dan unsur biologis secara khusus. Unsur perilaku manusia secara umum berpengaruh terhadap unsur norma sosial dan unsur biologis secara khusus. Demikian pula, unsur biologis secara umum berpengaruh terhadap unsur norma sosial dan unsur perilaku manusia secara khusus.

Ketiga unsur tersebut dapat diartikan lebih luas, terutama ketika dihubungkan dengan konsep lain. Unsur norma sosial dapat diartikan sebagai kebudayaan; unsur perilaku sosial dapat diartikan sebagai pola-pola interaksi sosial, yang kemudian menjadi struktur sosial; dan unsur biologis dapat diartikan sebagai lingkungan alam fisik. McIver dan Page (1957: 508-635), misalnya, menyatakan bahwa perubahan sosial terjadi karena faktor-faktor: biologis, teknologis, dan kebudayaan (Cf. Selo Soemardjan, 1981: 304). Sementara itu, Remmling (1976: 266-271) menyatakan bahwa faktor-faktor perubahan sosial meliputi: lingkungan alam fisik (the physical environment), lingkungan kebudayaan (the cultural environment), kepribadian (personality), kependudukan (population), teknologi (technology), kekuasaan (power), ekonomi (the economy), berbagai ideologi (ideologies), serta orang-orang besar (great men). Apa yang dikemukakan Remmling itu, dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) faktor kebudayaan (lingkungan kebudayaan dan ideologi); (2) faktor pola interaksi (kepribadian, orang besar, dan kekuasaan); (3) faktor alam fisik (lingkungan alam fisik dan kependudukan). Sementara itu, faktor ekonomi merupakan relasi antara pola interaksi dengan alam fisik berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan terhadap benda (materi); dan faktor teknologi merupakan relasi antara unsur kebudayaan (penerapan ilmu) dengan unsur pola interaksi dan unsur alam fisik, berkenaan dengan kemudahan pemenuhan kebutuhan hidup. Selanjutnya, Remmling membagi teori perubahan sosial menjadi dua pilahan. Pertama, teori-teori umum, yaitu: degenerative theories, theories of progress, dan modern philosophies of history. Kedua, teori-teori khusus: monocausal determinisms, multiple factor theories, dan modern trend analysis.

Sementara itu, konsep perubahan sosial dapat diartikan lebih sempit terutama ketika akan dilakukan penelitian. Perubahan sosial dapat didefinisikan secara spesifik, dengan menggunakan tolok ukur tertentu (Lihat: McIver and Page, 1957: 523). Ia dapat berarti kemajuan, kemunduran, pertumbuhan, perkembangan, modernisasi, reformasi, revolusi, evolusi, transformasi, adaptasi, modifikasi, dan sebagainya. Kemajuan (progress) atau kemunduran (regress), merupakan perubahan sosial (terutama kultural) yang didasarkan kepada tolok ukur nilai tertentu. Ada unsur penilaian terhadap perubahan sosial, baik pada periode tertentu maupun secara kumulatif. Oleh karena itu, untuk melakukan penilaian dibutuhkan kriteria dan indikator tertentu.

Pertumbuhan merupakan suatu perubahan sosial (terutama struktural) dengan menggunakan pengukuran kuantitatif, yang biasanya digunakan untuk mengukur perubahan di bidang ekonomi dan kependudukan. Oleh karena itu, dalam penelitian ekonomi dan kependudukan digunakan model matematik dan model statistik. Perubahan itu berhubungan dengan variabel lain, baik hubungan searah maupun sebagai suatu matarantai perubahan. Laporan penelitian Meadows dkk. (1980), The Limits to Growth, tentang matarantai pertumbuhan “sistem dunia” dengan menggunakan model matematik. Laporan yang  diterbitkan pada tahun 1972, mengundang perhatian dan reaksi dari berbagai pakar, karena kesimpulannya yang mengejutkan. Salah satu kesimpulannya adalah: “Apabila arah pertumbuhan penduduk, industrialisasi, pencemaran, produksi pangan, dan penggunaan sumberdaya alam berjalan tanpa perubahan, maka batas-batas pertumbuhan di planet bumi ini akan terjadi dalam waktu 100 tahun yang akan datang. Kemungkinan besar, akibatnya adalah menurunnya penduduk dan kemampuan industri dengan mendadak dan tidak terkendali”.[9] Hoselitz, (1960) menghubungkan aspek-aspek sosiologis dengan pertumbuhan ekonomi, terutama sejak berakhirnya Perang Dunia Ketiga di negera-negara maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang. Sementara itu, Hagen (1963) menghubungkan afiliasi agama dan pola pengasuhan anak dengan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara: Inggris, Jepang, Kolumbia, dan Indonesia. Khusus tentang Indonesia, mengacu kepada hasil penelitian Geertz (1977), yakni di kalangan pedagang santri Muslim di Mojokuto, dan aristokrat Hindu di Tabanan.

Perkembangan merupakan suatu perubahan sosial (struktural dan kultural), yang dinyatakan secara kualitatif. Dalam bidang ekonomi dikenal pula konsep perkembangan sebagaimana digunakan oleh Widjaya (1982), Pudjiwati Sajogyo (1983), Boserup (1984), Suwarsono dan Alvin Y. So (1991). Boserup (1984) mendiskusikan tentang peranan wanita dalam perkembangan ekonomi di 42 negara, yang dibagi menjadi empat kawasan: Afrika di Selatan Gurun Sahara, Daerah Pengaruh Arab, Asia Selatan dan Tenggara, dan Amerika Latin. Meskipun dalam penelitian itu tidak secara khusus dihubungkan dengan afiliasi agama, namun dalam beberapa hal keempat “pola pekerjaan” itu berhubungan dengan agama yang dipeluk oleh masyarakat dalam kawasan masing-masing, terutama agama Islam dan agama Hindu.

Pembangunan merupakan suatu perubahan sosial (struktural dan kultural), yang disengaja dan dirancang. Pembangunan nasional yang dititikberatkan pada bidang ekonomi, dirancang dan diorganisasikan secara nasional dengan motor penggerak Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan badan serupa pada tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Ketika terjadi pengalihan sebagian besar wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, berkenaan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka corak pembangunan akan mengalami variasi meskipun masih dalam satu sistem. Sementara itu, pembangunan di bidang agama masih tetap menjadi wewenang pemerintah pusat. Di samping itu, ada pula pembangunan yang dirancang dan diorganisasikan oleh masyarakat, yang dapat disebut sebagai “pembangunan jalur bawah” (bottom up development). Prioritas pembangunan pada jalur ini, dalam berbagai hal dititkberatkan pada bidang agama dan kesejahteraan sosial (Lihat: Tim LPSP-IPB, 1973; Tjondronegoro, 1984; dan Cik Hasan Bisri, 1988).

Modernisasi merupakan suatu perubahan sosial (terutama kultural) dengan menggunakan jasa teknologi, baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Menurut Schoorl (1982), aspek yang paling spektakuler dalam modernisasi masyarakat ialah teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern, yang tertampung dalam pengertian revolusi industri. Oleh karena itu, modernisasi mencakup berbagai bidang kehidupan masyarakat. Pada dasarnya pembangunan (ekonomi) di Indonesia menggunakan konsep ini, yakni perubahan berencana (planned development) dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Namun penataan fondasi ekonomi “jalur bawah” kurang diperhatikan, disertai berbagai kebocoran (korupsi) di kalangan pengelola dan pelaku pembangunan yang sentralistis, sehingga mengalami krisis ekonomi. Modernisasi tentang berbagai bidang kehidupan di Amerika Serikat, didiskusikan dalam Myron Weiner (1966). Sementara itu, Boulding (1969: 150-167), menjelaskan tentang hubungan antara masyarakat dengan teknologi: “teknologi merupakan produk masyarakat dan masyarakat merupakan produk teknologi”. Sedangkan Makoto Aso dan Ikuo Amano (1972), menggambarkan tentang modernisasi sistem pendidikan di Jepang yang diawali sejak tahun 1872. Apa yang digambarkan oleh kedua pakar itu, ialah perkembangan sistem pendidikan di Jepang salama 100 tahun (1872-1971) yang disertai data kuantitatif.

Pembaruan (reformation), merupakan suatu perubahan sosial (dari struktural ke arah kultural) yang didasarkan kepada acuan nilai fundamental yang telah disepakati. Gagasan reformasi yang disponsori oleh mahasiswa, pada dasarnya merupakan suatu kehendak untuk melakukan perubahan kultural, yakni masyarakat demokratis yang terbebas dari praktik nepotisme, kolusi, dan korupsi. Namun demikian, reformasi itu dilakukan melalui suprastruktur politik yang memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan struktural. Perubahan suprastruktur dan infrastruktur politik, misalnya, telah dilakukan secara radikal, termasuk dua kali perubahan UUD 1945 (pada tahun 1999 dan 2000), namun kultur politik mengalami kemunduran karena tersentral kepada tokoh bukan kepada sistem. Di samping itu, reformasi dalam pengertian pembaruan (tajdid) yang bersifat kultural, lebih bermakna pemurnian (purifikasi) atas nilai dan norma kehidupan masyarakat.

Transformasi merupakan suatu perubahan struktural dalam konteks struktur dan kultur masyarakat tertentu. Hal itu bermakna suatu proses kontekstualisasi nilai, norma, dan informasi ke dalam struktur masyarakat tertentu. Misalnya, perluasan makna subyek hukum, dari orang (naturlijk persoon) menjadi orang atau badan hukum (rechtspersoon) antara lain dalam hukum perwakafan (wakif dan nadzir) dan pengelolaan zakat (muzakki dan mustahiq), merupakan suatu transformasi hukum Islam dalam konteks sistem hukum nasional (Indonesia) dewasa ini. Sebagaimana telah dimaklumi, menurut ketentuan pasal 215 Kompilasi Hukum Islam: (2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya; (5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan penguasaan benda wakaf. Sementara itu, menurut ketentuan pasal 1 Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat: (3) Muzakki adalah orang atau badan hukum yang dimiliki oleh orang Muslim yang berkewajiban menunaikan zakat; (4) Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat. Atau dengan perkataan lain, terjadi transformasi hukum Islam dimensi fiqh menjadi dimensi qanun dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.

Adaptasi merupakan suatu perubahan sosial (struktural dan kultural), berupa penyesuaian terhadap unsur yang lebih dominan. Atau penyesuaian diri dari subordinasi terhadap superordinasi. Terjadi akomodasi dari apa yang “dikehendaki” oleh yang lebih kuat kepada yang lebih lemah. Konsep ini dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan lebih gejala kebudayaan, gejala pola interaksi sosial, dan gejala biologis. Oleh karena itu, sering digunakan dalam penelitian ekologi manusia yang berbasis pada biologi, yang dihubungkan dengan pola budaya dan struktur sosial.

Selanjutnya, konsep perubahan sosial mengandung dimensi lain, yaitu faktor determinan, arah, pelaku, dan bentuk perubahan. Berkenaan dengan hal itu, dikenal teori perubahan sosial menurut perspektif linier atau perspektif cyclical.[10] Teori perubahan sosial merupakan bagian dari teori perubahan kehidupan makhluk Allah, dan dapat diturunkan menjadi teori perubahan agama dalam kehidupan manusia. Salah satu teori perubahan di bidang biologi adalah teori evolusi Darwin, yang menggunakan empat konsep: struggle for life, survival of the fittest, natural selection, dan progress. Teori ini didasarkan pada perspektif linier, yang dalam berbagai hal digunakan untuk menjelaskan perubahan sosial. Sementara itu, dalam wacana sosiologi dikenal unilinier theories of evolution, universal theory of evolution, dan multilined theories of evolution (Lihat: Soerjono Soekanto, 1996: 345-346). Berkenaan dengan hal itu, tipologi masyarakat primitif-tradisional-modern (masyarakat tradisional-praindustri-industri) didasarkan pada teori evolusi linier. Demikian pula tipologi masyarakat agraris-industri-informasi yang digagas oleh Alvin Toffler, didasarkan kepada asumsi dalam teori itu meskipun dipandang sebagai revolusi (rapid change).[11]

Di samping itu, perubahan sosial dapat dipandang sebagai peristiwa, atau proses, atau metode. Apabila perubahan sosial itu dipandang sebagai peristiwa, maka penekanannya pada berbagai unsur yang berinteraksi dalam peristiwa tersebut. Ia merupakan perwujudan interaksi sosial yang melibatkan berbagai pihak, baik dalam bentuk kerja sama, maupun persaingan atau konflik. Perubahan yang terjadi adalah sesuatu yang baru, yakni pertumbuhan atau perkembangan dari yang telah ada (existing). Apabila perubahan sosial dipandang sebagai proses, maka penekanannya pada tahapan perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan itu terjadi secara bertahap, baik kualitatif maupun kuantitatif, sebagaimana yang dimaksud dengan pengembangan masyarakat. Apabila perubahan sosial dipandang sebagai metode, maka penekanannya pada pencapaian tujuan berdasarkan yang telah ditetapkan, sebagaimana dikenal pada konsep pembangunan, yaitu suatu perubahan yang disengaja, direncanakan, dan diorganisasikan. Oleh karena itu, pembangunan bidang agama dapat dipandang sebagai metode,[12] walaupun terbuka untuk dijelaskan sebagai peristiwa atau proses.

Ketika konsep perubahan sosial dihubungkan dengan agama, berkenaan dengan penelitian “agama dan perubahan sosial”, maka diperlukan pemilahan tentang agama sebagai sasaran penelitian. Harsya W. Bachtiar (1992: 8-9), misalnya, memilah agama sebagai sasaran penelitian sebagaimana berikut: (1) kepercayaan yang dipeluk oleh individu atau kelompok masyarakat, (2) pranata keagamaan, (3) organisasi keagamaan, (4) kegiatan keagamaan, (5) agama dan pelapisan sosial, (6) agama dan golongan sosial, (7) gerakan keagamaan, (8) pengalaman dan perasaan keagamaan, (9) agama sebagai motivasi untuk bertindak, (10) peranan agama dalam perubahan sosial, (11) agama sebagai faktor integrasi masyarakat, (12) agama sebagai faktor pemisah dan pertentangan masyarakat, dan (13) hubungan antar golongan agama.[13] Berkenaan dengan hal itu, penelitian agama lebih diarahkan pada upaya menjelaskan agama dalam wujud pengalaman kultural dan kenyataan sosial. Ia mencerminkan hubungan antara “apa yang diyakini sebagai kebenaran” dengan “apa yang mengitari diri”, yang memberi bentuk dan irama dari dinamika sosial dan, sebaliknya, seberapa besar dinamika itu menentukan bentuk hubungan kedua hal itu (Lihat: Taufik Abdullah, 1983: v) .

Relasi antara sasaran penelitian agama dengan berbagai konsep perubahan sosial di atas, merupakan suatu wilayah penelitian “agama dan perubahan sosial”, atau secara lebih spesifik, penelitian “agama dan pembangunan”. Wilayah penelitian itu terbentang sangat luas (Cf. Kadir H. Din, 1996), mulai dari yang sangat abstrak sampai yang konkret, sehingga memberi peluang kepada pakar IAI untuk melakukan berbagai penelitian. Dalam penelitian itu, agama ditempatkan sebagai unsur dalam pola kebudayaan dan struktur sosial, yakni keyakinan, nilai, dan kaidah sosial; serta tercermin sebagai pola interaksi sosial dalam satuan masyarakat tertentu.

Memang patut diakui secara jujur, bahwa penelitian “agama dan perubahan sosial” akan menghadapi beberapa kendala. Pertama, kesediaan mental peneliti untuk menempatkan “agama sebagai unsur dalam sistem sosial” –yang secara teknis menjadi variabel dalam penelitian– sebagaimana yang menjadi pandangan para pakar ilmu-ilmu sosial. Hal itu berarti menggunakan pandangan tentang relativitas agama, dalam pengertian bervariasi dan dapat dibandingkan. Namun demikian, kendala itu akan dapat diatasi karena “pembangunan bidang agama”, bahkan “sektor agama” telah menjadi wacana dan bidang kehidupan masyarakat bangsa yang melibatkan para pakar IAI. Kedua, kelengkapan unsur informasi dan unsur metodologi bidang IAI masih sangat terbatas. Keterbatasan itu sangat tampak dalam hasil penelitian, yang seringkali terjadi “loncatan” (jumping) dari “apa yang dipahami”, bahkan dari “apa yang seharusnya”, “loncat” kepada “apa yang senyatanya”, tanpa penjelasan tentang rangkaian proses hubungan kedua gejala itu. Namun demikian, pembekalan teori dan metode penelitian yang diadaptasi dan dimodifikasi dari ilmu-ilmu sosial melalui proses pengajaran dan pelatihan, memberi peluang untuk diaplikasikan dalam kegiatan penelitian. Ketiga, penelitian tersebut sangat rumit dan membutuhkan waktu yang relatif lama, karena proses perubahan sosial berada dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Namun demikian, hal itu dapat dilakukan terutama dalam suatu kawasan yang relatif kecil, serta didukung oleh pengalaman sebagai “pelaku” dari satuan sosial yang mengalami perubahan. Dengan perkataan lain, dalam kapasitas sebagai anggota komunitas tertentu, pakar IAI memiliki posisi sebagai pelaku perubahan sosial.

C. Prioritas Penelitian

Apabila ditanyakan kepada seorang anak kecil tentang permainan sepakbola, maka jawabannya: sepak bola itu gampang oleh karena hanya memperebutkan sebuah bola oleh dua kesebelasan. Cukup dikejar, digiring, dan ditendang. Apalagi bagi penjaga gawang, hanya ditangkap dalam ruangan yang sangat terbatas. Namun demikian, hanya sebagian kecil pemain sepakbola yang memiliki kemampuan menjadi anggota kesebalasan berkaliber dunia. Sepakbola bermula dari hobi, kemudian prestasi, kemudian bisnis, kemudian gengsi. Demikian pula, apabila ditanyakan kepada seorang mahasiswa tentang penelitian agama, maka akan muncul jawaban yang serupa: penelitian itu gampang. Karena perubahan sosial itu dialaminya sendiri, baik dalam lingkungan keluarganya maupun masyarakatnya. Jawaban itu dapat dibuktikan dalam tulisannya, misalnya, skripsi, tesis, dan disertasi, yang sebagian besar dapat diselesaikan. Namun demikian, produk penelitian yang dilakukan belum tentu menemukan temuan baru, baik berupa teori atau paradigma, maupun model pengembangan masyarakat yang  terkait secara langsung dengan fokus penelitian.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa sepakbola atau penelitian memerlukan latihan, menguasai “aturan main”, dan memposisikan diri dalam seluruh kegiatan. Oleh karena itu, penelitian yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas pendidikan tinggi dapat dipandang sebagai media latihan bagi calon ahli pada bidangnya masing-masing. Ia dilakukan di bawah “pengawasan” pelatih, yakni pembimbing atau promotor. “Intervensi” pembimbing, tidak dapat dihindarkan, baik dalam pemilihan unsur-unsur penelitian yang dipandang tepat maupun hal lain yang bersifat teknis. Latihan itu dilakuan secara terus menerus sebagai persiapan untuk memasuki “arena pertandingan”, sebut saja, semisal, “penelitian kompetitif”, mulai dari yang diorientasikan bagi pengembangan ilmu sampai yang diorientasikan bagi pertukaran jasa keahlian yang bersifat komersial.

Atas perihal di atas, penelitian agama dan perubahan sosial dapat dilakukan secara bertahap, mulai dari tahapan pelatihan yang berkesinambungan sampai penelitian mandiri untuk mencapai titik puncak bagi pengembangan ilmu dan pengembangan masyarakat. Latihan itu dapat dilakukan secara individual dengan menggunakan jasa keahlian “pembimbing”; maupun secara kolektif, yang juga menggunakan jasa keahlian pembimbing. Manakala hal itu dapat dilakukan secara terus menerus, dengan sendirinya pengalaman penelitian akan dapat diraih. Dalam proses itu, “aturan main” dapat dikuasai, dan posisi diri dapat didefinisikan. Sementara itu, “aturan main” dapat berupa cara mengorganisasikan unsur-unsur penelitian, terutama unsur informasi dan metodologi yang akan digunakan,[14] dan prosedur penelitian serta aspek-aspek teknis yang ditetapkan oleh satuan instansi penyelenggara penelitian.

Untuk menuju ke arah penelitian yang menyeluruh dan memiliki kadar ilmiah yang tinggi dan bermanfaat, dapat dimulai melalui penelitian kecil yang mudah dijangkau dan terbatas. Kecil, dalam arti cakupan fokus penelitian yang sederhana dan spesifik. Kecil, juga dalam arti pada ruang dan waktu yang terbatas. Namun demikian, yang dijadikan sasaran penelitian merupakan gejala yang bersifat umum dan mudah ditemukan, bukang barang langka, agar penelitian dapat dilakukan dengan gampang. Sebagai tahapan awal, dapat dipilih dari gejala kehidupan sehari-hari yang berada di sekitar lingkungan kehidupan peneliti. Misalnya, di sekitar rumah; di sekitar tempat kerja; di sekitar mesjid; di sekitar majelis taklim; di sekitar pasar; dan seterusnya.

Apabila pada suatu pagi hari dua orang mahasiswi IAIN “berjilbab” dan “bercelana jean” lewat di depan rumah peneliti, ia dapat mengundang beberapa pertanyaan. Pertama, sejak kapan pemakaian jilbab itu dilakukan oleh mahasiswi dan perempuan pada umumnya? Pertanyaan ini diajukan oleh karena gejala itu relatif baru, terutama setelah revolusi Iran pada tahun 1979. Hal itu menunjukkan perubahan mode dalam menutup bagian aurat Muslimah. Dari pertanyaan ini dapat dikembangkan lebih lanjut, berkenaan dengan pemakaian jilbab di kalangan siswi sekolah menengah umum dan mahasiswi di berbagai perguruan tinggi. Kedua, sejak kapan pemakaian celana jean itu dilakukan oleh mahasiswi dan perempuan pada umumnya? Pertanyaan ini diajukan oleh karena gejala itu, juga, relatif baru, mengiringi gejala yang pertama. Dari kedua gejala itu dapat diajukan pertanyaan lebih lanjut, sejak kapan kedua mahasiswi tersebut memakai jilbab dan celana jean? Apa hubungan antara pemakaian jilbab dan jean itu dengan keharusan melaksanakan norma agama dan perkembangan mode menurut pandangan yang bersangkutan? Ketiga, dari kedua pertanyaan itu muncul pertanyaan lain, bagaimana proporsi mahasiswi pada angkatan yang bersangkutan dalam satuan program studi, fakultas, dan perguruan tinggi? Apakah proporsi itu mengalami perubahan dari tahun ketahun dalam masing-masing satuan itu? Apabila mengalami perubahan, mengapa hal itu terjadi? Keempat, oleh karena mahasiswi itu pada umumnya bertempat tinggal terpisah dari orang tua mereka, maka muncul beberapa pertanyaan. Bagaimana hubungan antara mereka dengan kedua orang tuanya? Bagaimana cara pengawasan kedua orang tua terhadap mereka? Bagaimana hubungan antara mereka dengan teman sejenis dan yang berlainan jenis kelamin? Bagaimana otoritas mereka dalam memilih dan menentukan calon suami? Bagaimana hubungan antara mereka dengan kedua orang tuanya dalam memilih dan menentukan calon suami itu? Jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut akan menemukan beberapa bentuk perubahan di kalangan agregat mahasiswi Muslimah, yang dalam berbagai hal, berhubungan dengan sosialisasi dalam keluarga, afiliasi paham keagamaan, tingkat pemahaman terhadap ajaran agama, dan apresiasi terhadap ajaran agama mereka.[15]

Sekelumit contoh di atas dapat dikembangkan menjadi penelitian yang lebih besar, atau lebih spesifik. Ia dapat dikembangkan menjadi penelitian tentang hubungan antara revolusi dengan aliran paham keagamaan. Atau sebaliknya, tentang hubungan antara aliran paham keagamaan dengan revolusi. Ia juga dapat dikembangkan menjadi penelitian tentang perubahan mobilitas vertikal di kalangan Muslimah dalam bidang pendidikan dan lapangan kerja. Di samping itu, ia dapat dikembangkan menjadi penelitian tentang hubungan antara durasi dan frekuensi pengawasan orang tua dengan hak prerogatif wali nikah dalam perkawinan. Tentu saja, amat banyak pilihan penelitian tentang agama dan perubahan sosial yang dapat dilakukan, yang berpangkal dari dua orang mahasiswi yang lewat di depan rumah itu.

Manakala penelitian agama dan perubahan sosial itu dihubungkan dengan kompetensi ilmiah peneliti, dalam hal ini bidang IAI, tinggal mengkonstekstualisasikan kompetensi itu ke dalam gejala kehidupan yang paling mudah ditemukan. Berkenaan dengan hal itu, terdapat beberapa topik penelitian yang ditawarkan, yang mencerminkan kompetensi ilmiah peneliti. Namun demikian, ada hal lain yang memerlukan pemahaman yang memadai, yakni pemahaman terhadap anatomi dan proses perubahan sosial. Hal itu menunjukkan bahwa dalam penelitian itu ada dua konsep yang akan dihubungkan, yakni konsep operasional tentang agama (lihat: agama sebagai sasaran penelitian) dengan konsep perubahan sosial (lihat: rincian makna perubahan sosial). Konsep agama, dapat ditemukan dan dirumuskan sesuai dengan kompetensi ilmiah peneliti. Sedangkan konsep perubahan sosial, dapat ditemukan dan dirumuskan dalam wacana sosiologi, atau ilmu-ilmu sosial pada umumnya.

Atas perihal di atas, terdapat berbagai topik penelitian yang ditawarkan sebagaimana berikut ini. Pertama, bidang Qur’an meliputi beberapa topik, antara lain: (1) Hubungan antara nuzÅ«l al-Qur’ān dengan perkembangan tugas kerasulan Nabi Muhammad Saw. pada periode Makkah dan Madinah; (2) Perkembangan penerjemahan dan penafsiran Qur’an dalam perspektif sejarah Islam; (3) Perkembangan pengajaran Qur’an dalam kelompok sosial tertentu;[16] (4) Proses transformasi Qur’an dalam penataan kehidupan bernegara dan organisasi kemasyarakatan;[17] (5) Perkembangan pengajaran tafsir dalam lingkungan pesantren dan PTAI; (6) Relasi antara tradisi pembacaan Qur’an dengan perkembangan kebudayaan lokal; dan (7) Perkembangan apresiasi terhadap Qur’an, antara lain melalui musabaqah tilawatil Qur’an.

Kedua, bidang Hadis meliputi beberapa topik, antara lain: (1) Hubungan antara asbāb al-wurūd (al-Sunnah) dengan tradisi lokal dan perkembangan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw.; (2) Proses pengumpulan dan pembukuan hadis (tadwīn al-hadīits) dalam perspektif tradisi besar (great tradition); (3) Perkembangan penyebarluasan kitab hadis dalam perspektif sejarah Islam; (5) Perkembangan apresiasi masyarakat terhadap hadis sebagai sumber ajaran Islam; (4) Perkembangan pengajaran hadis dalam lingkungan pesantren dan PTAI; dan (6) Hubungan antara penggunaan hadis dengan masalah dan peristiwa penting dalam kehidupan manusia.

Ketiga, bidang pemikiran meliputi beberapa topik, antara lain: (1) Hubungan antara matarantai intelektual dengan produk pemikiran kalam; (2) Hubungan antara paham teologi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi; (3) Hubungan antara kebudayaan dengan perkembangan tasawuf; (4) Hubungan antara keanggotaan tarekat dengan dinamika kebudayaan lokal; (6) Perkembangan tarekat dalam masyarakat desa dan masyarakat kota;[18] (5) Perkembangan tarekat dalam lingkungan pesantren; (6) Interaksi antar kelompok penganut aliran paham keagamaan; dan (7) Transformasi paham keagamaan dalam organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang berorientasi nasional.

Keempat, bidang hukum Islam dan pranata sosial meliputi beberapa topik, antara lain: (1) Perkembangan madzhab fiqh dalam perspektif sejarah Islam; (2) Hubungan antara penyebarluasan dan kepenganutan madzhab fiqh dengan struktur dan pola kebudayaan; (3) Internalisasi hukum Islam ke dalam pranata sosial di Indonesia; (4) Interaksi antara hukum Islam dengan kaidah lokal; (5) Difusi hukum Islam dalam tradisi lokal; (6) Transformasi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan; dan (7) Transformasi hukum Islam dalam berbagai bidang kehidupan domestik dan publik (ekonomi dan politik).

Kelima, bidang sejarah peradaban Islam meliputi beberapa topik, antara lain: (1) Hubungan antara gagasan dan tradisi politik dengan perkembangan imperium dalam perspektif sejarah Islam; (2) Hubungan antara Islamisasi dengan perkembangn intelektual di dunia Islam; (3) Hubungan antara perkembangan kehidupan beragama dengan kebudayaan lokal; (4) Hubungan antara perkembangan agama dengan basis orientasi kultural; (5) Interaksi antara agama dengan tradisi lokal; (6) Hubungan antara tradisi besar dengan perkembangan wacana intelaktual di dunia Islam; dan (7) Hubungan antara implementasi ajaran agama dengan gerakan sosial, pemberontakan, dan revolusi dalam perspektif sejarah.

Keenam, bidang bahasa dan sastra Arab meliputi beberapa topik, antara lain: (1) Difusi kebudayaan Arab dalam konteks kebudayaan lokal; (2) Transformasi bahasa Arab ke dalam kosakata bahasa daerah; (3) Transformasi bahasa Arab dalam institusi sosial di Asia Tenggara; (4) Tradisi pembacaan syi’ir Arab dalam perkembangan kebudayaan daerah; (5) Interaksi antara bahasa Arab dengan bahasa asing lain dalam proses pengembangan bahasa Indonesia; dan (7) Perkembangan pengajaran bahasa Arab dalam lingkungan pesantren dan PTAI.

Ketujuh, bidang pendidikan Islam meliputi beberapa topik, antara lain: (1) Proses integrasi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional; (2) Perkembangan kebijakan pendidikan agama dalam lingkungan sekolah; (3) Hubungan antara perkembangan teknologi dan masyarakat dengan perubahan kurikulum pendidikan agama; (4) Perkembangan pengajaran agama dalam lingkungan sekolah dan pesantren; (5) Perkembangan partisipasi masyarakat dalam program wajib belajar dalam lingkungan madrasah; (6) Perubahan pandangan orang tua terhadap pendidikan agama di sekolah dan madrasah, dan (7) Hubungan antara tradisi belajar dengan perkembangan psikologis di kalangan pelajar dan mahasiswa.

Kedelapan, bidang dakwah Islam meliputi beberapa topik, antara lain: (1) Perkembangan majelis taklim dalam masyarakat desa dan masyarakat kota; (2) Hubungan antara penyelenggaraan majelis taklim dengan solidaritas dan pengendalian sosial; (4) Perkembangan pengorganisasia tabligh lintas kawasan; (5) Perkembangan bimbingan agama dalam kelompok sosial tertentu; (6) Perkembangan penyelenggaraan dakwah di kalangan organisasi kemasyarakatan yang berorientasi nasional; (7) Perkembangan penyiaran dan penerbitan buku keagamaan dalam konteks perkembangan teknologi komunikasi dan grafika; dan (8) Perkembangan manajemen organisasi keagamaan dalam konteks pengorganisasian negara.

Kesembilan, lintas bidang keahlian meliputi beberapa topik, antara lain: (1) Mobilitas kepemimpinan agama dalam struktur masyarakat Indonesia; (2) Hubungan antara agama dengan dinamika politik; (3) Konflik dan integrasi antara pendatang dengan penduduk asli dalam proses urbanisasi; (4) Dampak industrialisasi terhadap kehidupan beragama; (5) Persepsi pemimpin agama tentang peranan perempuan dalam urusan domestik dan publik; (6) Partisipasi pemimpin agama dalam pembangunan “jalur atas” dan “jalur bawah”; (7) Dampak kegiatan keagamaan dalam lingkungan kampus terhadap perkembangan kehidupan beragama dalam masyarakat; dan (8) Partisipasi mahasiswa dalam kegiatan keagamaan dalam masyarakat kota.

Topik-topik di atas menckup ruang lingkup penelitian yang sangat makro. Oleh karena itu, ketika dipilih sebagai sasaran penelitian membutuhkan perumusan secara spesifik. Dalam proses perumusan itu dipilih konsep-konsep yang akan digunakan dalam penelitian. Berdasarkan hal itu, peneliti melakukan perjalanan ke “pasar” khazanah pengetahuan ilmiah untuk “membeli” atau “meminjam” teori yang akan digunakan dalam penelitian, kemudian dirumuskan dalam bentuk kerangka teori (theoretical framework), yang untuk selanjutnya dijadikan kerangka analitis (analytical framework). Belanja teori memang sulit, apalagi merumuskannya menjadi kerangka penelitian. Namun kesulitan itu akan menjadi mudah apabila bertitiktolak dari rasa keingintahuan terhadap gejala perubahan yang dihadapi sehari-hari. Atas dasar titik-tolak itu, maka penelitian dipandang sebagai kegiatan yang gampang dilakukan. Segampang permainan sepakbola menurut pandangan seorang anak kecil.

D. Kesinambungan Penelitian

Ketika suatu penelitian itu dirancang dan dilaksanakan, pada dasarnya ia merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Demikian pula, secara kumulatif, penelitian itu merupakan suatu kompleks yang terdiri atas berbagai kegiatan penelitian. Oleh karena itu, penelitian tentang agama dan perubahan sosial membutuhkan berbagai penelitian yang dilakukan secara berkesinambungan pula.

Suatu hubungan antara agama dengan perubahan sosial, baik perilaku maupun institusi dan pengorganisasian masyarakat, tampak secara kasat mata. Namun di balik itu, terdapat berbagai jalinan hubungan antar unsur –faktor perubahan, atau peubah– yang sangat rumit, dan  terjadi dalam jangka panjang. Ia bagaikan segelas kopi manis yang dapat diminum dan dinikmati, sambil menghisap sebatang rokok “gudang garam”. Namun perjalanan kopi manis itu melalui suatu proses dari kebun tebu, kebun kopi, dan mata air. Bahan mentah, bahan baku, kemudian menjadi barang jadi (cikopi), sekurang-kurangnya, terdiri atas tiga unsur (kopi bubuk, gula kristal, dan air matang) yang berkohesi melalui perjalanan yang sangat panjang, apalagi bila dimulai dari penanaman pohon tebu dan pohon kopi. Demikian amsal yang amat sederhana tentang hubungan antara agama dengan perubahan sosial. Oleh karena itu, untuk memahami dan menjelaskan gejala hubungan antara agama dengan perubahan sosial, membutuhkan pemilahan antara agama di satu pihak dan perubahan sosial di pihak yang lain. Agama ditelusuri sebagai ruh, atau aspek kultural dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan perubahan sosial ditelusuri sebagai jasad, atau aspek struktural dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, agama juga terwujud dalam struktur sosial, manakala ia didefinisikan sebagai perilaku keagamaan, institusi keagamaan, dan organisasi keagamaan. Demikian pula sebaliknya, arti perubahan dapat bermakna perubahan kebudayaan. Keduanya tercampur dalam sistem sosial, baik dalam satuan terkecil, yakni keluarga; maupun satuan terbesar, yakni masyarakat dunia (sistem dunia). Agama memiliki dimensi struktural, dan perubahan sosial memiliki dimensi kultural. Untuk melakukan pemilahan dan penjelasan kohesi antara agama dengan perubahan sosial membutuhkan penelitian yang berkesinambungan.

Kesinambungan penelitian agama dan perubahan sosial itu, sekurang-kurangnya memiliki tiga makna. Pertama, gejala agama dan gejala perubahan sosial masing-masing merupakan gejala yang sangat abstrak yang bertemali dengan gejala lainnya. Oleh karena itu, penelitian tentang hubungan kedua gejala tersebut dapat dijelaskan menurut sudut pandang yang beragam, yang masing-masing membutuhkan waktu yang relatif panjang. Kedua, produk penelitian tentang agama dan perubahan sosial membutuhkan penelitian lebih lanjut, oleh karena perubahan sosial berjalan cepat dan tanpa henti. Boleh jadi, ketika penelitian baru usai dilakukan, perubahan sosial mendahului proses penulisan laporan penelitian tersebut. Oleh karena itu, untuk mengikuti gejala perubahan sosial menuntut penelitian berikutnya, sehingga gejala tersebut dapat dipantau secara cermat dan terus menerus. Dengan cara demikian anatomi dan proses perubahan sosial dapat dijelaskan, yang memungkinkan adanya perumusan teori, model, dan metode baru. Ketiga, penelitian agama dan perubahan sosial hanya memiliki kegunaan praktis apabila hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan dalam proses pengembangan masyarakat. Atau dengan perkataan lain, produk penelitian agama dan perubahan sosial dapat dijadikan salah satu instrumen bagi perubahan sosial yang disengaja dan direncanakan, yaitu pembangunan. Sementara itu, perubahan sosial sendiri membutuhkan instrumen lainnya, yakni kemauan politik, sumberdaya manusia yang tangguh, dan fasilitas material yang diperlukan.

Akhirnya, apa yang digagas oleh Mukti Ali, yang mengawali tulisan ini, tentang peranan agama dan pembangunan, hanya akan dapat diwujudkan secara aktual manakala terlebih dahulu dilakukan pemahaman yang mendalam terhadap dua unsur yang saling berhubungan itu. Ia, kemudian menjadi salah satu bahan dalam perumusan kebijakan nasional, kebijakan pembangunan, kebijakan sektoral, dan kebijakan operasional (teknis). Kebijakan pembangunan bidang agama merupakan bagian dari ranah kebijakan sektoral dan teknis yang digabung dengan kebijakan pembangunan regional. Produk kebijakan itu adalah aktualisasi pembangunan dalam arti luas: lintas sektoral dan lintas regional. Atas hal itu muncul pertanyaan, apakah dalam aktualisasi pembangunan itu agama telah menempatkan diri sebagai motivator, dinamisator, dan katalisator pembangunan?

Daftar Pustaka

Ali Munhanif. 1998. “Prof. Dr. A. Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru”, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (Editor), Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, hlm. 269-320. Jakarta: INIS Bekerjasama dengan PPIM.

Astrid S. Susanto. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Cetakan Keempat. t.tp: Binacipta.

Boserup, Ester. 1984. Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi (Diterjemahkan oleh Mien Joebhaar dan Soenarto), Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Boulding, Kenneth E. 1969. “Technology and the Changing Social Order”, in David Popenoe (Editor), The Urban-Industrial Frontier: Essays on Social Trends and Institutional Goals in Modern Communities, pp. 150-167. Bombay: Vakils, Feffer and Simons Private Ltd.

Burger, D. H. 1977. Perubahan-perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa, Cetakan Pertama. Jakarta: Bhratara.

Cik Hasan Bisri. 1988. Partisipasi Pemimpin Agama dalam Pembangunan Masyarakat Desa: Kasus di Desa Tapos II, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Tesis. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

____________. (Reproducer). 2000. Abstracts of Dissertation and Theses on Islamic Subjects. Bandung: Research Center of State Institute for Islamic Studies, Sunan Gunung Djati Bandung.

____________. 2011. Model Penelitian  Fiqh Jilid II. Bandung: Fakultas Syari’ah & Hukum dan Pusat Penjaminan Mutu UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Dadang Kahmad. 1998. Pengikut Tarekat di Perkotaan: Kajian tentang Perkembangan Kehidupan Keagamaan Pengikut Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Kotamadya Bandung, Laporan Penelitian. Bandung: Pusat Penelitian IAIN Sunan Gung Djati Bandung.

______________. 2000. Sosiologi Agama, Cetakan Pertama. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Davis, Kingsley dan Blak, Judith. 1978. “Struktur Sosial dan Fertilitas: Suatu Kerangka Analitis” dalam Masri Singarimbun (Editor), Kependudukan: Liku-liku Penurunan Kelahiran, Cetakan Pertama. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Fawcett, James T. 1984. Psikologi Kependudukan: Masalah-masalah Penelitian Tingkah Laku dalam Fertilitas dan Keluarga Berencana (Diterjemahkan oleh Eduard Jabarus dan Hendrik Kleden), Cetakan Pertama. Jakarta: Rajawali Pers.

Geertz, Clifford. 1977. Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia (Diterjemahkan oleh S. Supomo), Cetakan Pertama. Jakarta: Gramedia.

Hagen, Everett E. 1963. On The Theory of Social Change: How Economic Growth Begins, 2nd Printing. Illinois: The Dorsey Press, Inc.

Horikoshi, Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial (Diterjemahkan oleh Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa), Cetakan Pertama. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat.

Hoselitz, Bert F. 1960. Sociological Aspects of Economic Growth (An Adaptation). New York: Feffer and Simons Inc.

Jalaluddin Rakhmat. 1991. “Metodologi Penelitian Agama”, dalam Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (Editor), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Cetakan Ketiga, hlm. 91-96. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Judistira K. Garna. 1992. Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran.

Kadir H. Din (Editor). 1996. Development and the Muslims, 2nd Printing. Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia.

Kuhn, Thomas S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions, 2nd Edition. Chicago: The University of Chicago Press.

Makato Aso and Ikuo Amano. 1972. Education and Japan’s Modernization. Japan: Ministry of Foreign Affairs.

Mastuhu dan Deden Ridwan (Editor). 1998. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, Cetakan Pertama. Bandung: Nuansa dan Pusjarlit.

Meadows, Danella H., dkk. 1980. Batas-batas Pertumbuhan: Laporan untuk Kelompok Roma (Diterjemahkan oleh Masri Maris), Cetakan Pertama. Jakarta: Gramedia.

McClelland, David C. 1961. The Achieving Society. Bombay: Vakils, Feffer and Simons Private Ltd.

McIver, Robeert M., and Page, Charles H. 1957. Society: An Introductory Analysis. New York: Rinehart and Company, Inc.

Muhamamad Atho Mudzhar.  1993. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Edisi Dwibahasa). Jakarta: Indonesian Netherlands Corporation in Islamic Studies (INIS).

_______________________. 1998. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mukti Ali, A. 1980. “Penelitian Agama di Indonesia”, dalam Muljanto Sumardi (Editor), Metodologi Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, hlm. 18-27. Jakarta: Pusat Pengkajian Masalah Keagamaan dan Kemasyarakatan.

__________. 1991. “Metodologi Ilmu Agama”, dalam Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (Editor), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Cetakan Ketiga, hlm. 41-57. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Muljanto Sumardi (Editor). 1992. “Agama sebagai Sasaran Studi dan Penelitian (Religion as a Field for Study and Research)”, dalam Sudjangi (Penyunting), Kajian Agama dan Masyarakat: 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1975-1990, hlm. 1-3. Jakarta: Badan Penelitian dan Pegembangan Agama, Departemen Agama RI.

Munandar Soelaeman, M. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pudjiwati Sajogyo. 1983. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa, Cetakan Pertama. Jakarta: Rajawali Pers.

Remmling, Gunter W., and Campbell, Robert B. 1976. Basic Sociology: An Introduction to the Study of Society. New Jersey: Littlefield, Adams & Co.

Schoorl, J. W. 1982. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang (Diterjemahkan oleh R. G. Soekadijo), Cetakan Ketiga. Jakarta: Gramedia.

Selo Sumardjan  1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta (Diterjemahkan oleh H. J. Koesoemanto dan Mochtar Pabotingi), Cetakan Pertama, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soerjono Soekanto.  1983. Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial, Cetakan Pertama. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sudjangi (Penyunting). 1992. Kajian Agama dan Masyarakat: 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama 1975-1990. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama RI.

Suwarsono dan Alvin Y. So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia: Teori-teori Modernisasi, Dependensi, dan Sistem Dunia, Cetakan Pertama. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Taufik Abdullah (Editor). 1979. Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi, Cetakan Pertama. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

_____________. (Editor). 1983. Agama dan Perubahan Sosial. Cetakan Pertama. Jakarta: Rajawali Pers.

_____________. dan M. Rusli Karim (Penyunting). 1991. Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Tim LPSP-IPB. 1973. Laporan Survey Penjajakan Pembinaan Potensi Sosial Pembangunan Masyarakat Desa. Bogor: Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor.

Wagner, Stanley P. 1970. The End of Revolution: A New Assessment of Today’s Rebellions. Bombay: Vakils, Feffer and Simons Private Ltd.

Weiner, Myron (Editor). 1966. Modernization: The Dynamic of Growth. Washington D.C.: Voice of America Forum Lectures.

Widjaja, Albert. 1982. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi, Cetakan Pertama. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Zuidberg, Lida, C. L. (General Editor). 1978. Family Planning in Rural Java: The Serpong Project. Jakarta: Institute of Cultural and Social Studies – Djambatan.

[1] Biografi A. Mukti Ali, sebagai menteri agama kesepuluh, dapat dilihat dalam tulisan Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru”, dalam kumpulan biografi menteri-menteri agama sejak M. Rasjidi sampai Tarmizi Taher. Buku ini disunting oleh Azyumardi Azra dan Saiful Umam, dengan kata pengantar oleh Taufik Abdullah.

[2] Pernyataan Mukti Ali, menurut Muljanto Sumardi (1992: 1), dirujuk dari pendapat Selo Soemardjan (10 Juni 1975), yang menyatakan, “….. Keadaan ilmu-ilmu sosial selain ilmu ekonomi di Indonesia dewasa ini sangat lemah …..”. Berkenaan dengan hal itu, Selo Soemardjan (1984: 11) menyatakan bahwa sejak tahun 1967 cultural focus di Indonesia diarahkan pada bidang ekonomi. Sementara itu, cultural focus di Eropa pada abad 15 dan 16 adalah bidang agama; dan di Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno, adalah bidang politik.

[3] Salah satu kajian tentang “Perubahan Sosial dan Pembangunan di Inonesia”, berdasarkan teori-teori pembangunan, dapat dilihat dalam Suwarsono dan Alvin Y. So (1991). Dalam kajian itu dikemukakan tiga perspektif: modernisasi, dependensi, dan sistem dunia.

[4] Di antara para pakar yang ditampilkan pandangannya, hampir seluruhnya ahli ilmu-ilmu sosial di luar ilmu ekonomi. Sementara itu, tulisan Emil Salim (guru besar ekonomi) lebih mencerminkan pandangan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) ketimbang pandangan seorang pakar ekonomi.

[5] Gagasan Mukti Ali tentang penelitian agama mendorong kemunculan pembahasan dan penulisan metodologi penelitian agama, sebagaimana terlihat dalam Muljanto Sumardi (1980), Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (1991), Mastuhu dan Deden Ridwan (1998), dan M. Atho Mudzhar (1998). Namun demikian, gagasan Mukti Ali itu  tidak terlepas dari kritik dan kekurangan. Jalaluddin Rakhmat (1991: 92), misalnya, menyatakan bahwa pertanyaan Mukti Ali tentang metode penelitian agama secara khusus, dipandang tidak relevan. Demikian pula, pandangan Mukti Ali tentang “Metodologi Ilmu Agama” (1991b: 41-57) masih berputar di sekitar wacana metodologi penelitian yang sangat abstrak, tanpa jalan keluar menjadi formula metode penelitian agama yang dapat dioperasionalkan.

[6] Beberapa disertasi tentang hubungan Islam dengan ekonomi, perbankan, dan politik di beberapa negara Islam ditulis oleh: Muhammad Anwar (1985), A Macroeconomic Model for Interest-Free Economies: An Integrative Study of Western and Islamic Economic Systems (University of New Hampshire, USA); Mehrdad Valibeigi (1991), Islamization of The Economy: The Post-Revolutionary Iranian Experience (The American University, USA); Elias Kazarian (1991), Finance and Economic Development: Islamic Banking in Egypt (Lunds Universitet, Sweden); Osman Babikir Ahmed (1990), The Contribution of Islamic Banking to Economic Development: The Case of the Sudan (University of Durham, United Kingdom); Rachid Ali Mohamad (1990), The Role of Islamic Banks in Economic and Social Development with Particular Reference to the Sudanese Experience (Council for Na-tional Academic Awards, United Kingdom); Abdul-Rahim Abdul-Hamid al-Saati (1987), The Islamic Reform to the Saudi Arabian Financial System (University of Colorado, USA); dan Ramlan Surbakti (1991), Interrelationship between Riligious anad Political Power under New Order (Northern Illinois University, USA).

[7] Krich Suebsonthi (1980), The Influences of Buddhism and Islam on Family Planning in Thailand: Communication Implication, menyimpulkan bahwa agama di kalangan orang Thai Muslim dan Thai Buddhis berpengaruh terhadap pola komunikasi, struktur sosial, dan adopsi keluarga berencana pada kedua komunitas tersebut (Lihat: dalam Cik Hasan Bisri, 2000: 221-222).

[8] Analisis variabel antara dirumuskan oleh Davis dan Blake, 1956, “The Social Structure of Fertility: An Analitical Framework”, dalam Economic Development and Cultural Change (Lihat: Singarimbun, 1978: 1-47). Model analitis ini, kemudian dikembangkan dalam pengkajian kependudukan, di antaranya oleh Fawcett (1984). Kerangka ini juga digunakan dalam Serpong Project (kerja sama Universitas Indonesia dengan Leiden University) pada tahun 1972-1975, yang dikombinasikan dengan teori difusi inovasi (Rogers dan Shoemaker). Salah satu aspek yang dijadikan fokus penelitian adalah saluran kepemimpinan agama dalam proses inovasi keluarga berencana (Lihat: Zuidberg, 1978). Di samping itu, kerangka ini digunakan oleh Biro Pusat Statistik (1980) dalam menganalisis pola umur perkawinan di Indonesia.

[9] Apabila digunakan unsur perubahan sosial sebagaimana diperagakan dalam Gambar 13.1, laporan penelitian Meadows dkk., lebih ditekankan pada unsur lingkungan alam fisik yang dilengkapi oleh unsur pola interaksi sosial. Sementara itu, unsur kebudayaan tidak dijadikan salah satu unsur matarantai perubahan dalam sistem dunia. Oleh karena itu, muncul berbagai kritik dari berbagai pakar. Namun demikian, Meadows dkk., mengakui bahwa model yang digunakan mengandung kelemahan, tetapi diperlukan.

[10] Perspektif linier, dianut oleh Comte, Spencer, Hobhouse, dan Mark. Sedangkan perspektif cyclical dianut oleh Pareto, Sorokin, dan Toynbee (Lihat: Soerjono Soekanto, 1983: 17-21). Sementara itu, Ibn Khaldun dapat diidentifikasi sebagai pengenut perspektif cyclical.

[11] Revolusi merupakan suatu konsep tentang perubahan secara cepat (revolutionary change). Ia digunakan bagi berbagai bidang, di antaranya berkenaan dengan kekuasaan manusia (human authority), sebagaimana dikenal sebagai revolusi Perancis, revolusi Amerika, revolusi Rusia, dan revolusi Iran. Ia juga digunakan bagi revolusi industri pada akhir abad kedelapan belas dan ekspansi perdagangan dunia yang terjadi pada paruh akhir abad kelimabelas. Sementara itu, Wagner (1970), menggunakan konsep revolusi bagi urbanisasi yang terjadi di duina, yang kemudian disebut urbanism. Ia merupakan peubah dalam berbagai bidang kehidupan manusia, dari yang bersifat pemenuhan kebutuhan fisik sampai perkembangan intelektual. Demi-kian pula, revolusi digunakan untuk menjelaskan perkembangan ilmu (Lihat: Kuhn, 1970).

[12] Tampaknya pencapaian pembangunan bidang agama yang dirancang secara nasional meng-alami kesulitan untuk dijelaskan secara kuantitatif. Hal itu disebabkan karena kriteria, indikator, dan tolok ukur yang digunakan belum pernah “dibakukan”. Oleh karena itu, ada kesulitan untuk menjawab pertanyaan: apakah selama tiga puluh tahun terakhir pembangunan bidang agama telah mengalami kemajuan atau jalan di tempat atau mengalami kemunduran? Pertanyaan itu muncul oleh karena kerukunan (integrasi) umat beragama mengalami gangguan (konflik) meskipun, ia, menjadi mata program utama dalam pembangunan bidang agama.

[13] Rincian tentang sasaran penelitian agama –ditulis wilayah kajian sosiologi agama– dapat dilihat dalam Dadang Kahmad (2000: 93-112).

[14] Unsur penelitian yang perlu dikuasai adalah teori dan metode penelitian yang akan digunakan. Dewasa ini, teori-teori perubahan sosial yang relatif dekat dengan gejala kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, antara lain dalam Astrid S. Susanto (1983: 157-308); Judistira K. Garna (1992: 87-123); dan Munandar Soelaeman (1998: 113-178).

[15] Contoh di atas menunjukkan tentang agama dan perubahan sosial yang bertitiktolak dari pelakunya (Muslimah) dalam konteks kehidupan masyarakat secara makro. Ilustrasi tentang gejala jilbab di kalangan Muslimah ini secaralengkap dapat  dibaca dalam Model Penelitian Fiqh dan Perilaku Memola (Lihat: Cik Hasan Bisri, 435-466: 2011). Penelitian Horikoshi (1987) tentang Kyai dan Perubahan Sosial (A Traditional Leader in a Time of Change: The Kijaji and Ulama in West Java), bertitiktolak dari kedudukan kyai sebagai mediator antara kepentingan budaya “bawah” (masyarakat) dan kepentingan “atas” (pemerintah).

[16] Kelompok sosial dapat bermakna aliran paham keagamaan (madzhab), organisasi keagamaan, satuan masyarakat tertentu (desa-kota), kelompok jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), kelompok umur (anak-anak dan dewasa), dan seterusnya.

[17] Transformasi di sini dapat dijelaskan sebagai suatu wujud kesepakatan melalui proses interaksi antar elite masyarakat. Dalam proses itu terjadi serangkaian relasi, yang secra garis besar berupa konflik dan integrasi. Apa yang dikenal sebagai “asas tunggal” bagi organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan pada era pemerintahan Orde Baru, merupakan produk kompromi antara elite yang berkuasa dengan elite strategis, termasuk para pemimpin organisasi kemasyarakatan yang mengemban misi qur’ani bagi kehidupan masyarakat bangsa. Interaksi itu mencakup internal maupun eksternal.

[18] Penelitian Dadang Kahmad (1998) tentang Pengikut Tarekat di Perkotaan, merupakan salah satu produk penelitian yang menghubungkan antara modernisasi dengan perilaku keagamaan pengikut Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) di Kota Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *