UINSGD.AC.ID (Humas) — Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggelar Seminar Internasional bertajuk AI, Media Sosial dan Gen Z dalam Konteks Globalisasi: Tantangan dan Peluang yang berlangsung di Aula FISIP, Selasa (3/12/2024).
Dengan menghadirkan dua narasumber: Prof. Dr. K.H. Nadirsyah Hosen, LL.M., M.A. (Hons), Ph.D., Guru Besar di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia; Dr. Wisnu Uriawan, S.T., M. Kom. (Dosen Fakultas Sains dan Teknologi UIN Bandung) yang dibuka oleh Rektor, Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., dan dipandu oleh Direktur Centre for Asian Social Science Research (CASSR), Asep Muhamad Iqbal, Ph.D.
Dalam sambutannya Rektor menegaskan pentingnya memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) untuk kemaslahatan umat, termasuk meningkatkan kualitas pendidikan agar mutu perguruan tinggi tetap terjaga dan terhotmat marwahnya.
“Pertemuan pertama saya dengan Gus Nadir yang harus diabadikan. Terima kasih atas kerja sama karena sama-sama alumni Pondok Pesantren Buntet, sering nulis tafsir di medsos. Bedanya saya nulis tafsir mengikuti peristiwa. Kalau Gus Nadir nulis apa aja banyak yang ngomentar, ngeshare karena terkenal, pendekatan lebih milenial, berdebada dengan saya masih kolonial. Selama ini kita kenal Pa Wisnu hanya berkutat pada ranah akreditasi, padahal kita punya mutiara terpendam yang ahli dalam bidang AI. Untuk itu, saya tugaskan beliau dalam pemanfaatan AI di UIN Bandung,” tegasnya.
Mengenai tema yang diangkat, Rektor menyampaikan “Ini temanya menarik, saya ingin melihat bahwa persoalan kecerdasan buatan bukan hanya di medsos, tapi sudah masuk dalam proses pengajaran, tri dharma Perguruan Tinggi, khusus di UIN Bandung yang kecenderungan pada aspek digital mahasiswa lebih cerdas dari dosennya. Oleh karena itu, kahadiran ChatGPT dalam penyelesaian tuags akhir harus diantisipasi, dibuatkan aturan, mekniasme agar tidak melanggar, sehingga perkembangan teknologi, AI dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, peningkatan kampus,” harapannya.
Sungguh tak terbayangkan jika AI berwujud manusia benar-benar sudah hadir di tengah-tengah kita yang telah memiliki sense of human. Pasti AI akan merontokkan semua asumsi kita selama ini tentang pendidikan. Nanti, sumber pengetahuan tidak lagi terkonsentrasi pada guru, dosen, ustad, pengajar pada umumnya. Kita dapat memperolehnya dari mesin-mesin pencarian yang dikendalikan oleh AI yang kecepatan dan keakuratannya melebihi kecerdasan manusia.
“Bentuk yang paling menghawatirkan dari AI ini contohnya dalam urusan Imam dan Khotib yang dari bahan bacaan, materi lebih menarik dan tidak akan terganggu saat jadi jadi Imam, Khotib dengan pekerjaan kantor, rumah karena sudah dibuat, diatur sedemikian rupa, teratur, canggih. Oleh karena itu, manfaatkan seminar ini dengan baik, saya sangat senang, beruntung bisa hadir dan membuka acara bersama Gus Nadir dan Pa Wisnu, pembicara yang luar biasa, keren, hebat,” paparnya.
Dekan FISP Prof. Ahmad Ali Nurdin, Ph.D. menyampaikan seminar internasional ini terselenggar berkat kerja sama antara CASSR, UIN Bandung dengan Yayasan Khazanah GNH (Global Nalar Hakekat) dalam rangka menyikapi perkembangan AI untuk mencipatakan atmosfir kampus yang lebih baik.
“Alhamdulillah kita kehadiran tamu dari Melbourne Australia, saya sangat senang, terimakasih Yayasan Khazanah GNH atas segala kepercayaannya, karena dari persahabatan kami yang sudah berteman lama dengan Gus Nadir bisa mengelenggarakan seminar,” tuturnya.
Ketika perkembangan media sosial semakin berkembang Gus Nadir mengelurakan buku Tafsir Al-Qur’an di Medsos. Dulu, ketika kita ingin belajar agama maka kita harus mendatangi seorang alim ulama dan belajar langsung kepadanya. Di era media sosial, seseorang bisa ngaji dimana dan kapan saja. Tinggal buka gawai pintarnya, mereka akan disuguhi informasi keislaman yang sangat melimpah-ruah. “Jika dulu keluar buku Tafsir di Medsos, saya berharap dari seminar ini hadir Tafsir di AI, tulisan Islam yang cerdas, sejuk sesuai kebutuhan, akrab dengan anak-anak milenial, gen Z,” tandasnya.
Ibrahim Ali Fauzi, Wakil Yayasan Khazanah GNH menjelaskan seminar ini menjadi ikhtiar bersama antara UIN Bandung dengan Yayasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, memperluas kesempatan bagi mahasiswa dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.
“Terimakasih kepada FISIP UIN Bandung, Yayasan GNH berdiri baru 2 menjelang 3 tahun berjalan, masih balita, bergerak di bidang pendidikan, keagamaan. Kolaborasi seperti ini menjadi keniscayaan dan tak bisa diabaikan dalam meningkatkan pendidikan, pemahaman keagamaan yang santun,” bebernya.
Bijak Menggunakan AI
Dalam pemaparannya, Wisnu membasaah tentang Artificial Intelligence (AI) sebagai teknologi yang dirancang untuk membuat sistem komputer mampu meniru kemampuan intelektual manusia.
Perkembangan AI saat ini sudah semakin pesat, terlebih dengan adanya dukungan dari kemajuan perangkat keras komputer yang terus tumbuh secara eksponensial. Upaya menciptakan komputer yang memiliki kecerdasan ini harus dilatih menggunakan algoritma tertentu dengan sejumlah data-data latih. Tentunya, proses pelatihan ini memerlukan spesifikasi hardware komputer yang tinggi agar prosesnya berjalan cepat, tepat dan lancar.
“Mari kita memulai dari tebakan gambar ini, ada yang mendeketsi ibu-ibu, nenek-nenek dengan akses yang sama. Maka hati-hati terhadap AI, karena dapat merekam, membaca, mendeteksi dengan cara kerjanya ChatGPT yang beragama hari ini. Untuk sosmed, dulu bangun tidur, sarapan, tapi hari ini gen Z disuguhi secara terus menerus banjirnya informasi, termasuk yang negatif, maka referensi positif jadi penting, sebab secara otomatis algoritma informasi itu hadir tidak pernah diminta, tidak bisa ditolak, sehingga tingkat depresinya lebih tinggi gen Z ini daripada orangtua,” keluhnya.
Hadirnya chatbot telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam sektor bisnis, pendidikan maupun pelayanan public. Chatbot adalah sistem berbasis AI yang dirancang untuk meniru percakapan manusia dan memberikan respons otomatis dalam berbagai konteks.
“Saat mencari sesuatu justru kita dijawab dengan chatbot. Termasuk kehadiran avatar, padahal manusia itu khoerunnas, tapi rupanya kita lebih serang dan bangga sama avatar. Di sinilah pentingnya belajar, menggunakan dan memanfaatkan AI, jangan sampai tertinggal jauh, sebagai referensi dalam dunia pendidikan,” jelasnya.
Dalam konteks kampus, “Paling penting kita harus cerdas, AI hanya digenggam tangan, bukan dipikiran saya, artinya jangan sesekali dikendalikan oleh AI. Intinya ayo terus belajar seperti arti sesungguhnya dari AI yang terus belajar. AI, satu mesin pembelajar, mesin belajar, bekerja, rekognisi, makin dilatih, makin baik. Tolong gunakan AI dengan baik, otaknya terus dilatih dengan membaca, diskusi, mencari referensi biar tidak dikendalikan AI,” pesannya.
Pada prinsipnya ketika diinput langsung merekam, “Semaunya tergantung inputnya baik, golnya pasti baik, AI hanya menggabungkan pengetahuan. Apapun semuanya tergantung pada keputusan manusia, karena hidup kita harus normal, contoh penggunaan AI untuk di laboratorium tinggi, ruang angkasa, bom, gegana, yang punya resiko tinggi dibuat itu. Artinya dapat membantu, kepanjangan AI-lah yang solusinya.”
Wisnu mengajak kepada civitas akademik untuk terus berlatih, menggunakan akal sehat, hati. Adanya temuan baru dari algoritma cerdas melalui data-data yang terlatih para pemikir, ilmuwan yang dipublish secara terbuka membuat AI dapat menyelesaikan persoalan kasus yang dihadapi manusia.
“Otak kita sudah dibekali yang hak dan batil dalam menentukan atau menyelesaikan persolan, kita yang punya pilihan. AI bekerja sangat membantu dalam mempercepat pekerjaan hal-hal positif. Algoritma diciptakan sederhana, latihan luar biasa, saat mahasiswa dilatih secara terus menerus dari semester 1-8, dibekali pengetahuan, harusnya saat sidang tidak jadi masalah atau beban. Mari kita manfaatkan untuk kemaslahatan, paling tidak gunakan AI secara bijak, ketika semuanya digunakan anda pakai apa, mahasiswa kerja apa? Ayo cari ide originalnya jangan sampai dikendalikan AI. Ya kendalinya harus tetep manusia, mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir bukan malah menjiplak,” harapannya.
Gus Nadir memberikan contoh pada bidang hukum, bagaimana AI dapat membantu praktisi untuk memberikan solusi atas segala persoalan yang membutuhkan kepastian hukum. “Dalam 10 tahun terakhir saya punya kebiasaan ketika masuk kelas meminta mahasiswa untuk menanggapi informasi yang sedang berkembang dan meresponnya. Hasilnya pada waktu itu luar biasa, mahasiswa aktif diskusi, membaca, melakukan penelitian. Namun, belakangan 5 tahun ini jarang karena tergerus medsos, sering merasa cemas, sehingga ada praktisi ketika diminta menganalisis hukum dari kasus sebelumnya justru menggunakan sumber dari chatgpt, yang tidak dicek kebenaranya, justru ditangguhkan atau dikenai sanki akibat AI,” bebernya.
Jangan Asal Boikot
Dalam bidang hukum Islam, AI telah dimanfaatkan untuk membangun sistem chatbot yang mampu menghasilkan legal opinions (fatwa) dari permasalahan yang disampaikan oleh masyarakat muslim.
“Dari medsos sudah menjungkir balik, apalagi AI, karena selama ini kita hanya jadi user. Padahal punya kesempatan yang luar biasa untuk mengisi AI dengan ikut terlibat, mulai dari unsur rasa, seperti penafsiran ja`ala, dan khalaqa. Harus hati-hati dengan AI, dalam studi kasus, boikot produk Israel, belakang ini dari gerai dari perusahaan tutup, ribuan karyawannya tutup, memang saat melihat kekejaman Israel termasuk paling lemah iman, tapi bisa jadi salah sasaran ketika menyikapinya reaktif dan negatif,” keluhnya.
Dalam Fatwa MUI, “Modelnya tidak berubah, ketentuan hukum, pihak mendukung agresi Israel yang terafiliasi produk. Tidak ada kata-kata boikot. Namun saat mengecek ke web malah dikategorikan terafiliasi, ujung-ujungnya harus di boikot kan tidak begitu, harus dicari kebenaran infomasi atau beritanya agar tetap kritis, meskipun di tengah-tengah skeptis,” tandasnya.
Gus Nadir mengingatkan pentingnya ketepatan sasaran dalam gerakan boikot terhadap produk Israel. Masyarakat diminta lebih bijaksana ketika mengetahui suatu produk terafiliasi Israel. Jangan sampai karena emosi sesaat, maka melakukan aksi boikot yang justru merugikan perusahaan. Terlebih, ada faktor perekonomian yang juga perlu diperhatikan dalam gerakan boikot ini.
“Kita prinsipnya oke memboikot tetapi jangan sampai salah sasaran. MUI sendiri ketika mengeluarkan fatwa haram itu tidak mengeluarkan daftar perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Israel,” katanya.
Tahun 2023, PBB mengeluarkan daftar perusahaan yang pro-Israel dengan jumlah sebanyak 167. Faktanya, kata Gus Nadirsyah, dari ratusan daftar tersebut tidak ada produk yang ramai di Indonesia. “Yang mengejutkan ternyata itu tidak ada yang kemudian ramai di tanah air produk-produk ini, ternyata tidak masuk ke sana. Sehingga pertanyaannya akhirnya siapa yang membuat daftar itu dan apa kriteria juga metodenya? Itu yang menjadi persoalan, sementara masyarakat sudah sangat emosional, sudah sangat reaktif dan dampaknya dahsyat sekali,” lanjutnya.
Maka dari itu, ia memberi saran agar pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) duduk bersama mencari solusi. MUI harus mengeluarkan secara resmi daftar produk yang terafiliasi Israel, kemudian pemerintah membuat sebuah aplikasi yang bisa digunakan masyarakat untuk mengetahui produk yang diboikot.
“Dibuat aplikasi sehingga orang ketika berbelanja itu dia tingga men-scan saja. Ibu-ibu mau belanja mau apa tinggal scan barcode,” tuturnya.
Dampak dari gerakan boikot ini sangat berpengaruh pada perekonomian Indonesia. Banyak cabang perusahaan yang akhirnya melakukan PHK massal karena omzet yang terus menurun. “(Dampaknya) lebih ke dalam negeri. Kenapa? Karena setelah satu tahun ternyata perangnya masih terus, tidak memberi efek, tetapi justru produsen lokal kita yang kena. Apalagi perusahaan lokal kita yang franchise, yang bermasalah itu adalah perusahaan yang di pusatnya,” ungkapnya.
“Jadi menurut saya, dampaknya lebih kepada kita (Indonesia) sendiri. Kita ingin menyakiti Israel karena dia melakukan kejahatan kemanusiaan, tapi yang terkena dampak saudara kita sendiri,” tandasnya.
Bagi penulis buku Kiai Ujang di Negeri Kangguru ini memberikan tiga cara jitu untuk menjadikan AI agar bermanfaat. “Berikan data yang cerdas, harus banyak menulis di medsos, internet, ini untuk membantu yang benar. Mari kita jadi aktif user dengan data yang baik. Buktinya saya tanya diri sendiri di ChatGPt banyak yang keliru. Belum lagi banjir informasi tidak bisa dibendung,” paparnya.
Pertama, melakukan kerja sama. Dunia pendidikan harus membanyak melakukan kerja sama dengan dunia luar, instansi, yayasan, NGO, “Contoh sederhana kita sering melakukan gorong royong, beres-beres itu jadi kunci kelangsungan hidup,” ujarnya.
Kedua, merawat imajinasi, “Karena mesin dan robot tidak punya itu, jangan matikan imajinasi, kekuatan, masa depan, AI tidak bisa menjawab masa depan, kalau masa lalu iya,” tegasnya.
Ketiga, menjaga harapan, percayalah setiap kegagalan awal dari kesuksesan, “punya harapan bisa mengalahkan AI, chatbot, robot. Selama kebencian diproduksi secara sistematis, konten cerdas, bijak akan tersisihkan. Untuk itu, dosen, mahasiswa harus rajin menulis,” sarannya.
Direktur CASSR, Asep M. Iqbal menambahkan seminar internasional ini dilatarbelakangi dari khawatiran atas perkembangan AI yang menuntut civitas akademik untuk meresponnya.
“Beda kita dengan orang hebat, otaknya selalu diasah, diinput dengan latih membaca, berdiskusi, masukan positif supaya pintar, bijak dalam menggunakan AI. Ini sejalan dengan falsafah Sunda, miindung ka waktu – mibapa ka zaman. Dosen, mahasiswa tidak ketinggalan teknologi, informasi, globalisasi, tapi tetap berpijak pada khazanah lokal,” pungkasnya.
Seminar internasional ini menunjukkan betapa pentingnya memahami dan mengelola kecerdasan buatan untuk kemaslahatan umat, serta memperkuat kolaborasi antara pendidikan, teknologi, dan masyarakat demi masa depan yang lebih baik.