SEKALI LAGI TENTANG WAHYU MEMANDU ILMU

(UINSGD.AC.ID)-Pada saat ini (penghujung tahun 2021), perjalanan Wahyu Memandu Ilmu (WMI) sebagai paradigma keilmuan di UIN Sunan Gunung Djati Bandung sudah memasuki fase implementasi dan pematangan. Fase perdebatan terkait apa itu WMI sudah lama dilewati. Sekarang bukan saatnya lagi diperdebatkan, apalagi diragukan atau bahkan ditolak, tetapi sudah saatnya sama-sama diimplementasikan.

WMI—sekedar mengingatkan saja—adalah mazhab integrasi keilmuan model UIN Bandung. Intinya paradigma keilmuan UIN adalah mazhab integrasi antara Ilmu-Ilmu Dirasah (ilmu-ilmu agama) dengan Ilmu-Ilmu non-Dirasah (ilmu-ilmu umum). Keduanya bukan saja terintegrasi, tetapi juga terkoneksi dengan baik. Ada hubungan saling melengkapi.

Bagaimana implementasi WMI dalam kurikulum? Sejumlah fakultas di UIN Bandung sudah melaporkannya. Semuanya bersepakat tidak menempatkan WMI sebagai sebuah mata kuliah mandiri, tentu dengan alasan beragama, di antaranya efisiensi sks. Dan ini diperbolehkan dan diizinkan, sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam salah satu buku Trilogi WMI yang telah diterbitkan oleh Konsorsium Keilmuan UIN Bandung. Buku yang dimaksud adalah Kebijakan dan Pedoman Penerapan WMI.

Lalu bagaimana fakultas mengimplementasikannya? Insersi. Ya, nilai-nilai WMI dimasukkan ke dalam kurikulum. Di CPL, CPMK, atau di profil lulusan. Jika nilai-nilai WMI dengan metode insersi ini dikawal dengan sempurna, baik oleh dosen sebagai pengampu MK, atau oleh Prodi sebagai pengawas proses pembelajaran, atau oleh fakultas sebagai penanggung-jawab akademik, maka nilai-nilai WMI dipastikan akan terimplementasi dengan baik.

Ya. Pokoknya semua civitas UIN SGD Bandung harus punya mindset bahwa semua ilmu itu terintegrasi. Tidak boleh ada dikotomi. Ini berarti mahasiswa prodi umum harus memanfaatkan ilmu-ilmu agama untuk mengantarkan pengetahuannya tentang ilmu-ilmu umum kepada nilai-nilai ketauhidan. Sebaliknya, mahasiswa prodi agama harus memanfaatkan ilmu-ilmu umum untuk memperkokoh pengetahuannya tentang ilmu-ilmu agama.

Bagaimana contohnya? Mahasiswa biologi menguasai pengetahuan tentang biologi bukan semata-mata pengetahuan ansich, tetapi—dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama—juga mengantarkan kepada kekuasaan Allah (tauhidullah). Mahasiswa IAT perlu memanfaatkan ilmu-ilmu sosial untuk mendalami kronologi turunnya ayat. Atau, ilmu Psikologi untuk memahami ayat-ayat tentang tasawuf.

Nah, inilah perlunya ada kolaborasi. Kolaborasi dalam perkuliahan. Kolaborasi dalam riset. Dan kolaborasi dalam pengabdian kepada masyarakat. Ke depan, bisa didesain agar tugas-tugas akhir mahasiswa bersifat kolaboratif. Mahasiswa IAIN melakukan riset bersama dengan mahasiswa Psikologi mengenai prilaku buruk manusia, contohnya.

Apa yang menjadi ruh MB-KM adalah ruh kolaborasi ini. Jadi, jika paradigma WMI sudah dijalankan dengan baik, sebenarnya esensi MB-KM sudah terlaksana. Sebab, salah satu implementasi MB-KM adalah bahwa sesorang mahasiswa dapat mengambil kuliah di luar prodinya, mata kuliah yang dapat memperkuat kompetensinya (sikap, pengetahuan, dan keterampilan).

WMI sebagai Atribut

Selain implementasi sebagaimana dijelaskan di atas, pengimplementasian WMI yang bersifat atribut rasanya penting pula. Ya, bentuknya bermacam-macam. Memunculkan logo WMI di dokumen-dokumen resmi. Atau, tife arsitektur gedung yang mencerminkan WMI. Atau, membuat tugu WMI di tempat-tempat strategis. Bahkan, ini yang saya kira penting, membuat gedung Musium Sains Islami. Gedung itu akan berisi deskripsi tentang kolaborasi ilmu umum dan ilmu agama yang melahirkan sejarah Peradaban Islam yang luar biasa besar.

Saya sangat sepakat bahwa ujung dari kearifan orang yang menerapkan WMI adalah akhlakul karimah. Sebab, sehebat apapun pengetahuan dan penemuan manusia, ujung-ujungnya adalah kebesaran dan kemahakuasaan Allah. Kebesaran dan kemahaan Allah ini dengan sendirinya akan memposisikan manusia sebagai makhluk kerdil dan serba tidak maha. Inilah akhlakul karimah.

Tapi, atribut juga penting. Seorang muslim perlu juga memunculkan identitasnya melalui pakaian, gaya hidup, dan sebagainya.

Jadi, atributisasi WMI di UIN Bandung sebagai bentuk formal rasa-rasanya penting juga. Shalat berjamaah. Berpakaian rapih. Disiplin. Bertutur kata baik. Jujur. Itu contoh lain atributisasi WMI di UIN Bandung.

Paparan di atas adalah sekelumit tentang WMI. Tiga buku tentang WMI yang telah diterbitkan oleh Konsorsium UIN Bandung merekam lebih banyak lagi tentang WMI ini.

Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *