(UINSGD.AC.ID) — Santri itu murid. Dengan begitu ia adalah pembelajar. Seperti yang konon disebutkan dalam pengertiannya, ia berasal dari bahasa Sansekerta, “shastri” atau “cantrik”. Seorang yang menekuni, bertungkuslumus dan mengetahui kitab suci dan beruswah pada jalan guru.
“Innata idea” atau “khitah” santri memang berporos pada dua hal itu. Pemahaman juga wawasan pengetahuannya berjejak pada kitab suci dan laku hidupnya berkiblat pada ucap dan tindakan pembimbingnya, kyai, guru atau mursyid.
Berjejak pada kitab suci adalah kepastian bahkan keharusan tapi pemahaman dan pengetahuannya tak boleh didaku sebagai kebenaran yang sudah final. Seumpama cermin besar dan menjadi mercusuar satu-satunya di sisi laut yang menerangi lajunya kapal.
Dalam peradaban yang kian cepat berubah. Ketika kehidupan mengalami disrupsi yang meniscayakan ketidakpastian. Ketika sains dan tekhnologi ikut membentuk watak dan sifat manusia, sikap mendaku diri sebagai yang paling benar akan disisihkan dan tidak akan memiliki tempat.
Berlapang dada pada yang berbeda akan menjadi energi yang bisa terus menghidupkan. Karena memang sejatinya kehidupan dan sejarah tak disokong oleh satu pengertian dan dituntaskan oleh satu-satunya definisi. Keberanekaan itulah hidup. Ketaksamaan itulah prinsip dasar kenyataan.
Santri yang tumbuh dalam peradaban yang berubah adalah dia yang tidak meniadakan bahkan mematikan kemungkinan-kemungkinan lain dalam membaca dan mengambil saripati yang berasal dari kitab suci.
Agama bukanlah bangunan teori yang beku dan kaku. Kitab suci bukanlah sekadar monumen sejarah yang tak boleh disentuh oleh cara pandang yang berbeda dan tak sama.
Santri sebagai pembelajar yang menginsyafi perubahan adalah dia yang mampu berpikir kreatif, memiliki energi dalam mengembangkan “critical thinking”, bersedia untuk berkolaborasi dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik.
Komunikasi yang baik bukan melulu keterampilan, keakuratan dan ketepatan menyampaikan pikiran dan gagasan. Komunikasi adalah juga soal dan kesanggupan untuk mendengar dan memahami yang “tak terkatakan” dari lawan bicara. Dengan itu, komunikasi adalah juga menyangkut kepekaan, simpati, empati dan bela rasa.
Selamat hari Santri Nasional. Allahu a’lam[]
Dr. Radea Juli A. Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.