Sakralitas Ramadhan di Tengah PSBB

SEJAK ditemukan kasus infeksi virus corona pertama di Indonesia pada Senin 2 Maret 2020, yakni seorang ibu (64 tahun) dan putrinya (31 tahun) yang tertular dari warga Jepang saat berkunjung ke Depok. Presiden menyatakan kesiapan pemerintah dalam menghadapi Covid-19. (Pikiran Rakyat, 2 Maret 2020, 12:24 WIB).

Salah satu upaya yang diambil Presiden Joko Widodo untuk memutus mata rantai penyebarannya Covid-19, adalah dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada hari Selasa 31 Maret 2020. Keputusan pemerintah Indonesia ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Berdasarkan data Jumlah pasien positif terinfeksi Covid-19 di Indonesia menjadi 5.923 kasus pada Jumat (17/04/2020 17:28 WIB); dirawat 4.796 orang; korban meninggal 520 orang; dan yang sembuh 607 orang.

DKI Jakarta menjadi provinsi pertama yang menerapkan PSBB sejak 10 April 2020, disusul dengan Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bekasi di Jawa Barat. Sampai saat ini terdapat 11 wilayah yang menerapkan PSBB: DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bekasi, Makasar, Kota Pekanbaru, Kabupaten dan Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan.

Marhaban Ya Ramadhan

Bulan Ramadhan 1441 H yang tengah dijalani umat Islam di seluruh dunia, merupakan bulan sakral bagi umat Islam. Walaupun Ramadhan tahun ini berbeda dengan biasanya, namun bagi umat Islam sakralitas Ramadhan tidak dapat digantikan dengan bulan lain. Maka, secara langsung dan tidak langsung dengan cara apapun, umat Islam mempersiapkan dan menyiapkan diri dengan baik untuk menikmati sajian Ramadhan.

Tentang sakral menurut Zakiah Daradjat akan lebih dapat dirasakan oleh seorang yang meyakininya, daripada harus melukiskannya. Anggapan mengenai benda-benda yang suci ini bermuara pada sikap yang akan menimbulkan sebuah kekaguman luar biasa dan juga ketakutan.

Perbedaan di kalangan masyarakat mengenai suatu yang sakral dan profan sudah menjadi hal yang lumrah dan dapat disikapi dengan bijak oleh masing-masing pemeluk kepercyaan tertentu. Misal, lembu yang disakralkan oleh Hindu, Hajar Aswad oleh Islam, tanda salib di atas altar oleh Kristen, dan sebagainya (Darajat, 1983: 68).

Manurut Mircea Eliade sesuatu sakral ini menjadi begitu penting dalam kehidupan beragama masyarakat yang benar-benar mengalami sebuah pengalaman sebagai orang yang beragama. Pemahaman sesuatu yang sakral disampaikan oleh Daniel L. Pals bahwa yang sakral adalah supernatural yang luar biasa, mengesankan dan penting; abadi yang penuh dengan subtansi dan relitas; keteraturan dan kesempurnaan (cosmos), rumah para leluhur, pahlawan dan para Dewa.

Selanjutnya, Mariasusai Dhavomony menyampaikan bahwa setiap agama, meskipun ditinjau dari realita agama yang plural, memiliki ide tentang yang sakral. Yang sakral, dalam arti yang lebih luas, tidak selalu berhubungan dengan agama, ia bisa saja sebagai tindakan-tindakan, tempat, kebiasaan-kebiasaan, dan gagasan-gagasan yang dianggkap kudus.

Kesakralan selalu memanifestasikan dirinya sebagai sebuah realitas yang secara keseluruhan berbeda tingkatannya dari realitas-realitas “alami”. Manusia yang hidup dalam masyarakat arkais cenderung untuk hidup sebisa mungkin dalam kesakralan (dekat dengan objek suci). Kesadarkan akan keberadaan yang sakral ini dikarenakan dapat memujud, menunjukkan pada dirinya (hierophany) sebagai sesuatu yang berbeda secara menyeluruh dari yang profan.

Ketidakmampuan manusia untuk menangkap ganz andere; segala yang berada di luar jangkaun pengalaman alami manusia, direduksi dengan bahasa untuk memberikan kesan terdalam, bermakna dan memiliki kekuatan membuat masyarakat sekuler meninggalkanya. (Mircea Eliade, 2002; 2-6)

Wujud Sakralitas Ramadhan

Sakralitas Ramadhan diejawantahkan umat muslim di Indonesia sejak awal kedatangannya. Misalnya, kita mengenal budaya Dugderan di Semarang, Nyadran di Jawa Tengah, Balimau di Minangkabau, Meugang di Aceh, Nyorog di Betewi dan Munggahan di Sunda. Budaya tersebut adalah sebagian dari ekspresi masyarakat yang tentu akan senantiasa dikontekstualisasikan dengan zamannya.

Sebagai contoh budaya munggahan di sebagian besar masyarakat sunda, yang menjadi momentum saling maaf memaafkan yang kemudian diiringi oleh makan-makan. Beberapa tahun terakhir, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, handphone (HP) menjadi salah satu alternatif.

Maka, kita menemukan model permohonan maaf sebagai ekspresi munggahan menjelang Ramadhan sebagai bulan sakral. Seiring dengan kondisi Bangsa Indonesia yang telah ditetapkan masuk dalam pandemi Covid-19 dan sebagian daerah telah ditetapkan dengan status PSBB, tentu akan berimbas pada ekspresi sakralitas Ramadhan.

Antar anggota keluarga yang berbeda tempat tinggal agak sulit untuk saling bertemu, karena harus mengikuti protokol kesehatan. Apalagi berkumpul untuk saling memaafkan dengan bersalaman. Shalat tarawih berjamaah menjadi ibadah langka, bahkan di beberapa tempat menjadi masalah. Buka bersama sekaligus santunan anak yatim, hampir dipastikan tidak akan terlihat.

Percepatan teknologi informasi “memaksa” manusia untuk menguasai teknologi, salah satunya gadget. Beragam aplikasi didowload untuk mempermudah hidup dan kehidupan manusia. Dan ini berimbas pada sakralitas Ramadhan dimana tausiyah, shadaqoh, zakat, dapat dilakukan secara daring.

Problemnya adalah,akan terjadi “degradasi” sakralitas ibadah Ramadhan, karena yang dikejar adalah bagaimana menjadi trending topic, viral, seberapa banyak like, dan jumlah followers.

Ibadah pada bulan Ramadhan dengan kondisi seperti ini, akan ditemukan model-model baru ekspresi muslim dalam merespons sakralitas Ramadhan. Dan hal tersebut merupakan bagian dari kaidah ushul fiqh. Menurut ibnu al-Qayyim al-Jauziyah: ”tagayyur al-fatawa wa ikhtilaafuha bihasbi tagayyuri al-azminah, wa al-amkinah, wa al-ahwaal, wa an-niyaat”.

Itulah sejatinya sikap muslim yang realistis. Tidak memaksakan sesuatu pada hal-hal yang memang memiliki udzur syar’i. Karena menurut Cak Nur bahwa berihsan itu adalah puncak trilogi ajaran ilahi setelah beriman dan berislam.

Pelajaran yang dapat kita petik, bahwa Ramadhan akan tetap menjadi sakral bagi umat Islam bagaimana-pun kondisinya. Perlu reaktualisasi atas kondisi yang ada dengan menghindarkan diri dari “godaan” gangguan kepribadian karena derasnya arus teknologi.

Mudah-mudahan kita di tengah-tengah upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19 melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mampu menjalankan puasa ramadhan sebagai wahana mengendalikan diri dari nafsu. Dengan demikian, kehadiran puasa diharapkan menjadi modal utama untuk pengendalian diri supaya berbuat Ihsan, hingga akhirnya menjadi bagian dari orang-orang yang bertaqwa. 

Dindin Jamaluddin
Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN SGD Bandung

Sumber, RMOLJabar Rabu 29 April 2020, Pukul 18:58 WIB

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *