RUU Pilkada & DPRD

Kontroversinya RUU Pilkada di antara tarik-menarik Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan dipilih langsung oleh rakyat, melengkapi nasib “tragis” DPRD, ibarat Roman: Tak Putus Dirundung Malang. Kontroversi itu berubah menjadi ajang penghakiman terhadap DPRD. Sejumlah Kepala Daerah was-was, bahkan banyak juga yang menolak jika kepala daerah dipilih kembali oleh DPRD. Mereka seolah jera, bahkan sebagian gamblang membeberkan kisah “kelam” nasib Kepala Daerah yang harus menjadi “ATM” oknum anggota DPRD. Seolah betapa buruknya perilaku anggota DPRD di mata mereka. DPR RI yang menanam bibit, DPRD yang harus mendera sakit. 

Padahal eksistensi DPRD sebagai lembaga legislatif daerah merupakan bagian terpenting dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Secara filosofis, DPRD merupakan perwujudan konsepsi pemerintahan daerah yang bersandar pada sistem demokrasi; DPRD merupakan wujud nyata dan terlembaga secara formal aspirasi rakyat dalam ikut serta merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pembangunan di daerah, sehingga prinsip pengelolaan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat terpenuhi.  

Secara sosiologis, DPRD menunjukkan tingkat partisipasi rakyat tinggi dalam pengelolaan pemerintahan daerah karena anggota DPRD dipilih secara langsung melalui Pemilu, sehingga setiap anggota DPRD merepresentasikan suara rakyat. Secara yuridis, DPRD merupakan penerjemahan lembaga Legislatif di daerah, sehingga keberadaannya dijamin UUD 1945 yang lebih rinci dalam setiap undang-undang tentang pemerintahan di daerah.

Namun, sepanjang sejarah NKRI, keberadaan lembaga legislatif daerah mengalami pasang surut sebagaimana pasang surutnya kebijakan politik nasional. DPRD seolah menjadi “boneka politik” yang nasibnya bergantung pada policy Legislatif dan Eksekutif (Pusat). DPRD “dipaksa” pada apapun yang menjadi kebijakan Pemerintah (pusat). Yang paling kentara berpengaruh langsung adalah berganti-gantinya UU, mulai UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 6 Tahun 1969, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No. 32 Tahun 2004 yang diperbaiki melalui UU No. 12 Tahun 2008 serta kini tengah digodok untuk disempurnakan. Salah satu di antaranya, muncul menjadi RUU Pilkada yang tengah hangat diperdebatkan.

Kebijakan yang paling berpihak dari sejumlah UU tersebut, yakni UU No. 22 tahun 1999 yang notabene lahir dari rahim spirit reformasi. DPRD dibentuk sebagai  legislatif dan pemerintah daerah sebagai eksekutif; DPRD dipisahkan dari pejabat dan badan-badan eksekutif daerah; DPRD lembaga perumus dan pembuat kebijakan, pemerintah daerah yang menjalankannya. Kedudukan DPRD sejajar dan bermitra dengan Pemerintah Daerah.

Salah satu fungsi penting DPRD, terdapat fungsi memilih dan menyeleksi. Penjabaran fungsi ini mengemuka dengan memilih dan menyeleksi kepala daerah. DPRD secara langsung menentukan siapa yang berhak menjalankan roda pemerintahan daerah. Mulai dari proses penjaringan calon, seleksi, sampai pemilihan berada pada wewenang DPRD. Bahkan, kandidat kepala daerah yang mendapatkan suara terbanyak anggota DPRD, menjadi jaminan akan menjadi kepala daerah. Pada era inilah, pengalaman kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Namun, kewenangan DPRD tersebut segera dicabut melalui UU No. 32 Tahun 2004 dengan dialihkannya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat daerah. Selain karena desakan euforia Pemilu langsung yang dipelopori sukses Pilpres 2004, tuduhan distori suara rakyat dengan pilihan DPRD dan aksi sejumlah oknum anggota DPRD yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan pun menjadi alasan penguat.

Kendati hal itu merupakan resiko politik yang harus ditanggung organisasi pemeritahan sebagaimana disampaikan pakar tata negara Logemaan (2006), tindakan yang dilakukan anggota dalam sebuah institusi negara acapkali dianggap sebagai tindakan lembaganya. Karena ulah buruk oknum anggota, citra DPRD pun buruk di mata rakyat. Namun, Teori Bayangan dari Stroink (2006) mengingatkan, tindakan yang dilakukan lembaga perwakilan, seperti DPRD, tidak terlepas dari proses yang dilakukan oleh yang mewakilkanya. Kalau ternyata rakyat banyak memilih anggota DPRD karena uang, sangat memungkinkan yang dilakukan DPRD pun karena uang karena mereka harus mengganti uang yang diberikan pada pemilihnya.

Sejak tahun 2005, pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi bagian dari kesibukan politik seluruh rakyat. Namun, Pilkada langsung pun tidak pernah lepas dari berbagai masalah sembari belum juga dapat memberikan dampak langsung pada perbaikan nasib rakyat. Bahkan, money politics makin berkembangbiak, konflik lokal terjadi di banyak daerah, anggaran rakyat tersedot besar, dan sejumlah permasalahan yang dijadikan alasan kuat bagi lahirnya RUU Pilkada kembali oleh DPRD.

Hiruk-pikuk ini bukan kesalahan DPRD, tetapi ketidakmatangan DPR dan Pemerintah (Pusat) yang tidak mampu mengakomodasi kehendak rakyat daerah. DPRD tidak dapat bertawar atas nasibnya karena tidak memiliki aksesitas yang memadai. Untuk mengatur kedudukannya sendiri pun DPRD harus menunggu lahirnya UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Bahkan UU MD3 No. 17 Tahun 2014 pun menuai kontroversi karena lebih fokus pada perbaikan DPR ketimbang penguatan DPRD.

Padahal, baik secara sosiologis maupun politis, anggota DPRD dan DPR dipilih rakyat dalam Pemilu yang sama. Mereka memiliki posisi yang sama sebagai wakil rakyat. Namun, sistem politik Indonesia menempatkan DPRD lebih banyak sebagai obyek ketimbang subyek. Inilah di antaranya yang membuat keberdayaan DPRD tidak optimal. Sejatinya, DPR memiliki inisiatif untuk memberikan penguatan pada DPRD, ketimbang menjadikannya sebagai “alat” politik. Banyak sekali ketidakberdayaan DPRD karena UU MD3 tidak memberikan landasan yang memadai untuk DPRD lebih eksis. Padahal, fasilitas itu didapatkan oleh DPR. []

Mahi M. Hikmat, Doktor Komunikasi Politik Unpad, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan Dewan Pakar ICMI Jawa Barat.

Sumber, Pikiran Rakyat 22 September 2014.
  

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *